29 Dalam Catatan

6 November kemarin saya menjejak 29. Bilangan terakhir berkepala 2, sebelum nantinya garis lurus di bawah beranjak melengkung membentuk angka 3. Dulu saat melihat mbak-mbak berusia 29 saya kerap membatin gimana rasanya menjadi mereka yang sebentar lagi menanggalkan usia duapuluhan. Dan kini saya berada di titik tersebut.

Bagaimana rasanya? Biasa. Ya, biasa. Mau 29, mau 25, mau 21, rasanya tetap sama saja. Yang membedakan hanyalah isian di kolom belakang penanda usia. Entah kalau nanti masuk 30 dan muncul kerutan-kerutan di wajah, mungkin saya akan sedikit panik. Tapi percayalah, itu tak akan menghalangi saya untuk terus bergerak.

Sejak beberapa waktu lalu saya sudah berniat untuk menulis catatap panjang, semacam refleksi atas apa yang telah terjadi selama 29 tahun ini. Tapi lagi-lagi saya mengalami apa yang dinamakan man proposes God dispose. Tanpa ada gejala dan tanda-tanda, mendadak Renjana demam tinggi hingga 39,2 derajat. Saya pun akhirnya begadang menjadi emak siaga selama beberapa hari.

Akhirnya saya merayakan pergantian usia kali ini dengan sunyi. Tak ada tumpeng yang dipotong, tart yang dibelah, atau lilin yang ditiup. Yang terjadi di penghujung hari justru air yang menggenang di pelupuk mata dan siap untuk tumpah seketika.

Saya pernah merayakan 6 November dengan berlari-lari mengindari lontaran abu vulkanik Merapi yang menghantam Jogja, pernah juga melewatinya dengan ibadah pemberkatan kakak ipar tepat di samping peti jenazah ibu (kala itu calon) mertua yang dilanjutkan dengan ibadah pemakaman, pernah juga dengan rentetan kabar tentang kepergian abadi keluarga dan sahabat-sahabat baik, dan beragam peristiwa duka lainnya.

Tapi dari semuanya itu, kemarin sepertinya yang paling menyesakkan. Melihat anak sendiri terbaring sakit dan saya nggak bisa ngapa-ngapain. Tuhan memang Maha Gojek dengan segala skenario kompleksnya.

Banyak hal yang berkelindan di kepala saya. Banyak rasa dan ucapan yang ingin saya lontarkan. Tapi saya memilih untuk diam. Ternyata refleksi yang biasanya hanya saya tuliskan kini benar-benar saya lakukan. Dalam masa diam ada banyak hal yang saya pikirkan.

Tiba-tiba saya ingat satu frasa “Unlimited Eleos”, kemurahan Tuhan tak terbatas.

Meskipun ada banyak badai yang kerap menghantam hidup, tapi Tuhan selalu menjagai hingga detik ini. Ada banyak masalah menghampiri bertubi-tubi, gempuran demi gempuran yang kadang nyaris membuat menyerah, jalanan terjal yang membuat ingin berhenti melangkah, namun tak pernah sekalipun Dia tinggalkan. Dia selalu ada dan menjaga. PertolonganNYA selalu tepat, tak pernah terlambat maupun terlalu cepat.

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmatNYA, selalu baru tiap pagi besar kesetiaanMU (Ratapan 3:22-23)

Apa pun yang Dia ijinkan terjadi dalam hidup itu pasti yang terbaik. Suka duka datang berganti untuk memperkuat iman. Bukankah perahu yang kerap dihantam gelombang badai akan menciptakan nahkoda tangguh?

Kini saya bersiap melayari 29 dengan jiwa yang semakin kuat dan tahan banting. Saya tidak takut dengan semua yang menghadang di depan. As long as I have God, I have enough!

Sash, teruslah berkibar dan bersinar benderang di duapuluhsembilanmu!

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

9 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *