Believe in Your Rope!

rope 2

Senja baru saja menjelma malam. Langit terlihat cerah dengan bulatan sempurna yang tergantung di sisi timur, tanda purnama telah tiba. Sinar rembulan menerpa gedung-gedung tinggi dan pepohonan, menciptakan bayang-bayang yang semakin memanjang dalam gelap.

Saya melangkah pelan di antara bayang-bayang sambil menatap gedung lab kimia yang malam itu disulap menjadi “taman bermain” kawan-kawan Hancala. Dua utas tali nampak menjulur dari lantai tiga dengan ujung menyentuh tanah. Beberapa orang terlihat bercakap dengan volume suara yang keras mirip orang berteriak. Maklum, yang satu di bawah dan lainnya berada di lantai tiga.

Tak berapa lama, seorang perempuan muda dengan harnest dan carabiner di pinggangnya bergerak menuruni tali. Sesaat dia menjejak dinding lantai tiga, menoleh ke bawah memastikan bahwa di bawah adalah clear area. Lantas dia melangkah perlahan dan melentingkan diri. Dengan gerakan yang sangat cepat, hanya dua kali lompatan dan lentingan dia sudah menjejak di bawah. Kawannya yang di atas lantas menyusul melakukan hal yang sama.

Berkali-kali mereka melakukan hal tersebut. Beberapa senior melakukannya dengan cepat tanpa kesalahan yang cukup berarti. Sedangkan anak baru beberapa kali melakukan kesalahan. Entah lompatan yang kurang tinggi, lentingan yang kurang jauh, maupun pijakan yang salah yang hampir membahayakan diri mereka. Wajar, namanya juga masih belajar.

Setelah melakukan rapling dengan gaya standar, mereka pun mencoba teknik-teknik lain seperti rapling dengan posisi tubuh horisontal maupun rapling dengan kepala di bawah. Sempat juga mereka mendemonstrasikan cara merescue teman yang mengalami cidera atau kecelakaan di lintasan tali. Berbeda dengan biasanya. Malam ini saya tak terlalu pecicilan. Saya memilih untuk duduk di bawah sambil memperhatikan satu persatu kawan yang menuruni lintasan.

rope 1
Bocah-bocah selo hehehe. Don’t try this at home. Adegan diperagakan oleh orang-orang terlatih hehehe.

Mendadak saya teringat perkenalan saya dengan rapling ketika masih duduk di kelas 2 SMP. Pada suatu minggu yang cerah, dengan berseragam pramuka lengkap saya dan teman-teman dewan ambalan serta peleton khusus diajak menyusuri areal persawahan yang berhenti di tepian Sungai Serayu yang mengalir deras. Di salah satu sisi sungai terdapat tebing yang teramat tinggi dengan air terjun kecil mengalir. Kami pun setengah “dipaksa” untuk menuruni tebing itu menggunakan tali. Dengan kaki gemetar saya pun akhirnya berhasil menuruni lintasan tali dengan sungai deras di bawahnya. Kini saya tau bahwa aktivitas itu lebih dikenal dengan nama canyoning, karena kami rapling di antara deru air terjun.

Bermula dari hal tersebut, saya yang aktif di Pramuka hingga SMA pun ketagihan untuk menuruni lintasan demi lintasan tali. Jelang kuliah, saya mulai mengenal wall climbing dan rock climbing. Lantas sempat juga mencoba SRT ketika turun dan naik Gua Jomblang di Gunungkidul yang merupakan gua vertikal. Meski bukan anggota resmi Pecinta Alam, tapi saya terpesona dan jatuh cinta dengan keberadaan seutas tali panjang yang mampu menopang hidup ketika berada di ketinggian. Tak lupa juga saya takjub dengan teman-temannya yakni harnerst, carabiner, dan figure.

Seutas tali. Rope. Analogi hidup.

Ya, saya selalu membayangkan hidup ini laksana tali temali yang bergelantungan. Tali mana yang hendak kita pilih untuk menjadi lintasan untuk dijalani? Teman-teman mana yang hendak kita pilih untuk menemani perjalanan kita di atas lintasan tali? Carabiner ukuran berapakah? Harnest yang seperti apakah? Figure yang manakah? Semua harus pas dan nyaman bagi kita.

Believe in your rope! Entah itu ucapan siapa, saya lupa. Bagi saya kalimat itu maknanya sangat dalam. Apapun yang terjadi, seberat apapun rintangan, sesulit apapun jalan yang ditempuh, kita harus percaya pada tali, harus percaya sepenuh pada lintasan yang telah kita pilih. Tali adalah pegangan hidup yang menyelamatkan kita, yang menuntun kita untuk selalu berada di jalan yang benar dan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan. Kita bisa melompat, bisa melenting, bisa turun dengan cepat maupun naik dengan lincah. Selama kita tidak melepaskan tali itu kita akan aman. Namun sekali pegangan terlepas, kita akan terjun bebas. Beruntung jika kita memiliki belayer yang siap di bawah, yang mampu meminimalisir terjadinya kecelakaan.

IMG_7363
Selain percaya pada tali, percayalah pada kawan yang siap menjadi belayer di bawah.

Jangan pernah lepaskan talimu. Believe in your rope! Believe in your dream! Percaya penuh dengan apa yang telah dipegang teguh. Dan ketika suatu saat terasa hampir menyerah dan ingin melepaskan tali itu, percayalah bahwa di bahwa sana masih ada banyak kawan yang siap menopang kita untuk bisa bangkit.

believe
Mencoba rapling di gedung FE dan SRT di Gua Jomblang

Aish, kenapa saya mendadak jadi melankolis begini? Fiuh. Sepertinya saya harus mainan tali lagi. Yuk yuk yuk, siapa yang minat ngajak saya rock climbing di Siung atau Parangndog?

PS: dan momen mainan tali di depan lab kimia malam ini diiringi lagu “Tak kan ada gantinya” milik Ipang & “Someone Like You” punya Adelle. Heran deh, ini bocah-bocah pada gahar tampilannya tapi lagunya melo semua hehehe.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

14 Comments

  1. wah gawat yg punya phobia ketinggian :p

    Believe in your rope, mas! Hihihihi, dulu aku juga agak takut dengan ketinggian. Sampai sekarang bahkan. Kalo di ketinggian agak singunen. Tapi kalau udha pake alat mah tenang aja 🙂

  2. Aku taku ketinggian. Tapi, sampai sekarang tetap gak nolak main-main yang berhubungan dengan ketinggian. Alasannya? Pengen sawannya sembuh kalau di tempat tinggi. Hahahaha.

    Iya, ketakutan itu kudu dilawan, Cha. Bukan dipelihara 🙂

  3. aku udah lama nggak main tali. kayaknya lupa kalau disuruh bikin sit harness sendiri 😀 pingin lagi deh..

    Hehehe, ternyata dulunya juga suka main tali toh mbak 🙂
    Ayok dolanan lagi, sesekali hehe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *