Bima dalam Pandangan Pertama

bima-1

Mata saya otomatis memicing saat pertama kali menjejak di Bandara Sultan Muhamad Salahudin, Bima. Terik mentari dan cahayanya yang membias di landasan pacu seolah menjadi suluk pembuka yang menyilaukan mata. Partikel debu yang berterbangan menjadi sambutan selanjutnya. Selamat datang di Bima, katanya andai bisa bicara.

Gegas saya mengikuti langkah kawan-kawan yang sudah lebih dulu berpose di depan bangunan bandara. Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke Sumbawa. Saya penasaran, kejutan seperti apa yang akan kota ini sajikan?

Baca: Panggilan #BAKTI dari Bima, Sumbawa

Saat kuliah, saya punya 3 kawan yang berasal dari Bima, salah satunya bernama Eka. Saya ingat dia pernah berucap “Aku kalau ke Gunungkidul serasa pulang kampung, mirip dengan Bima”. Saya tergelak tak percaya dan lantas menggodanya apa hal itu disebabkan karena dia sedang jatuh hati dengan pria Gunungkidul? Lantas dia tersipu.

Lebih dari satu dekade kemudian, saya membuktikan ucapannya. Ternyata kalimat yang dulu saya anggap sebagai candaan adalah realita yang ada. Begitu mobil melaju dari Bandara menuju Kota Bima, saya langsung merasa sedang melaju di jalanan Semanu, Gunungkidul, rute mudik menuju rumah nenek.

Tanah yang kering, udara panas, pohon meranggas, gugusan bukit batu kecoklatan, serta pokok-pokok jati yang masih menyisakan sedikit warna hijau. Ini benar-benar serasa sedang di Gunungkidul. Bedanya, gundukan bukit di sini lebih tinggi dan batuannya bukan batu karst. Seketika saya merasa pulang ke rumah.

Kota Bima, Kota Tepian Air

Sebuah gapura biru bertuliskan ‘Kota Bima, Kota tepian Air” menjadi penanda bahwa kami sudah meninggalkan wilayah Kabupaten Bima di belakang dan memasuki Kota Bima. Julukan Kota Tepian Air adalah benar adanya, sebab pusat Kota Bima memang terletak di tepi Teluk Bima.

Jalan menuju Kota Bima berada persis di tepi garis pantai. Hal ini membuat saya begitu menikmati pemadangan yang ada. Dari perbukitan yang coklat berubah menjadi lansekap pantai lengkap dengan tajuk bakau, kapal nelayan, pemancing ikan yang merendam tubuh hingga batas kepala, hingga lekuk daratan di seberang teluk yang tampak mengabur.

Setelah itu rumah-rumah warga mulai terlihat. Rumah-rumah yang biasa, sama seperti yang saya jumpai di Jogja. Di beberapa sudut saya lihat banyak proyek pembangunan. Sepertinya warga kota sedang gencar membangun. Bangunan tua dan bangunan baru berdiri berselang-seling. Suasana kota terlihat padat dan riuh.

Di sepanjang jalan saya melihat orang-orang mengendarai motor tanpa mengenakan helm. Bahkan beberapa di antaranya yang bonceng 3 hingga 4. Rata-rata mereka masih usia sekolah. Dengan percaya diri mereka melajukan motor tanpa mempedulikan keselamatan diri atau takut terjaring razia. Lagi-lagi saya ingat ucapan kawan saya “Jangan kaget ya kalau di Bima lihat orang naik motor sembarangan!”.

Lauknya nggak kefoto semua

Sebelum beristirahat di hotel, rombongan kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Kami menjatuhkan pilihan pada Lesehan Taliwang Puteri Lombok, salah satu tempat makan andalan Bima yang menyajikan ayam taliwang dan plecing kangkung. Selain itu, ada juga menu berbahan dasar ikan.

Sebagai penggemar berat ikan, tentu saja saya bersemangat untuk menikmati makanan yang tersaji. Nyatanya saya memasang ekspektasi yang salah. Berhubung sejak kecil terpapar masakan Jogja, lidah saya terbiasa dengan rasa gula. Kali ini saya harus kecewa, sebab saya tidak menemukan jejak rasa manis sedikit pun. Hanya ada kombinasi rasa asin dan pedas. Namun saya patut berbangga, sebab saya tidak merusak citarasa lokal dengan menambahkan kecap di atas pinggan.

Akses Komunikasi di Bima

Update status dulu, Lur

“Duh hapeku nggak ada sinyal” keluh seorang kawan di perjalanan. Saya tersenyum. Untung sebelum pergi saya sudah bertanya pada kawan saya provider apa yang paling kencang di Bima. Dia menjawab bahwa sinyal yang paling bersahabat adalah Telkomsel. Karena itu saya membeli kartu perdana, sebab saya tahu provider yang biasa saya pakai juga tidak akan bisa digunakan di tempat ini.

Beberapa kali berkunjung ke pulau-pulau di luar Jawa membuat saya paham bahwa akses komunikasi kerap menjadi kendala utama. Warga di daerah tidak bisa memilih provider sesuka hati seperti kita yang tinggal di Jawa, di tempat ini pilihan sangatlah terbatas. Biasanya hanya ada satu atau dua operator yang jaringannya kuat.

Di pusat Kota Bima, warga memang bisa mengakses informasi dan melakukan komunikasi via ponsel dengan mudah. Namun, saat sudah ke luar kota dan masuk daerah pedalaman, sinyal akan semakin sedikit lantas menghilang. Bahkan masih banyak desa yang menjadi wilayah blank spot alias sama sekali belum tersentuh sinyal.

Untuk itulah Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) hadir dan melayani anak bangsa. Sebagai ujung tombak Kementerian Kominfo dalam bidang penyediaan infrastuktur dan layanan komunikasi, BAKTI membangun BTS-BTS di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Bima menjadi salah satu sasaran pembangunan BTS Bakti Sinyal.

Di wilayah ini telah dibangun 16 BTS yang menyebar di berbagai tempat. Desa-desa yang tadinya sama sekali tidak memperoleh sinyal, kini sudah mendapatkan akses komunikasi. Sinyal tersebut tidak hanya bisa untuk menelepon, namun juga bisa digunakan untuk membuka internet. Walau belum sekencang seperti saat mengakses internet di kota-kota besar, namun langkah BAKTI ini sangat layak untuk diapresiasi.

Keberadaan sinyal bagi pejalan seperti saya juga akan semakin memperingan langkah. Sebab saat saya bisa mengakses informasi dan melakukan komunikasi melalui ponsel, semuanya akan terasa lebih mudah dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Saya juga lebih mudah untuk membagikan kisah dan foto-foto perjalanan melalui unggahan di media sosial. Jadi meski jalan-jalan ke daerah, saya bisa terus eksis dan tidak perlu takut terlewat hal-hal penting yang berlarian di lini masa.

Pada titik ini, rasanya Bima semakin terlihat menarik untuk dijelajahi.

Hello Bima, please be nice

Ps:
Perjalanan saya ke Bima akan saya tuliskan dalam kisah-kisah yang bersambung. Nantikan catatan selanjutnya berjudul “Perjalanan BAKTI ke Desa Campa, Menyalakan Harapan di Pelosok Negeri”

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

31 Comments

  1. Aku belum pernah ke pulau apa pun di Nusa Tenggara. Pengen eksplor nusantara tapi bujetnya lebih diprioritaskan buat ke negara-negara sebelah, hahaha.

    Jadi mbak ke Bima ini dalam rangka kerja/pelayanan di BAKTI, ya? Kerja di Kominfo, mbak?

    • Kemarin cuma nyobain yang standar-standar aja sih mbak. Cuma pas berkunjung ke desa nemu sop ayam yang enak banget, entah makanan khas sana apa bukan. Sama sambal mangga yang enak dan menggoda.

  2. Plecing kangkungnya itu bau terasinya khas banget ya mbak. Di Bandung ada resto ayam taliwang langganan. Kalo makan plecing kangkung di situ, bau terasinya beda dg yg biasanya ditemui di tempat makan lain di Bandung. Katanya sih, terasinya impor langsung dari sana 😀

  3. Wahhh keren mbak, aku pengen deh ke bima, aku pernahnya ke kupang. kwkwkwk kalau di kupang aku kebanyakan makan sei, tapi kalau di daerah timur emang pada hobi naik motor ngebut tanpa helem yaaa

  4. aku pengen ke bimaaa :(( liat foto foto dari mba sasa ini kaya mengobati kengidaman ((kengidaman ini bahasa apa)) buat jalan-jalan hehehe

    ya denger soal naik motor serampangan itu kayanya juga ngga di bima aja tapi di daerah2 3T lainnya, mungkin karena belom banyak yang punya kendaraan kali ya…

  5. Ow jadi ini yang cerita yang ke Sumba dan harus transit semalam di Lombok itu? Atau bukan? Hehe.

    Jadi benarkah Sumba itu mirip-mirip Gunungkidul? Kalau iya, pas saya bisa kesana nanti saya bakalan ngutip kata2nya temen mbak, “Aku kalau ke Sumba serasa pulang kampung, mirip dengan Gunungkidul”. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *