Mengejar Halimun di Candi Arjuna Dieng

“Pokoknya kita harus punya stock foto Candi Arjuna yang berselimut kabut, Sash!” kata kawan seperjalanan saya sebelum kami berangkat ke Dieng.

Saya hanya manggut-manggut mengiyakan. Kalau melihat foto-foto yang beredar di google image sih emang keren abis. Kompleks candi yang diselimuti selarik kabut tipis, sedang dibelakangnya berderet pegunungan dan langit yang masih gelap. Tak lupa juga titik-titik cahaya lampu yang berasal dari rumah-rumah penduduk semakin menambah syahdu suasana.

Tapi membayangkan proses untuk mendapatkan gambar itu sudah bikin saya males. Kalau mau dapat foto seperti yang ada di benak kawan saya, berarti kami harus keluar penginapan pagi-pagi buta, lantas berkendara menembus udara dingin Dieng yang terkadang bisa sampai nol derajat saat musim kemarau, kemudian dilanjutkan trekking dengan medan yang basah dan licin akibat embun. Brrrr, membayangkan saja saya sudah merasa gigil.

“Kalau mau dapat foto cakep emang seperti itu perjuangannya. Kan aku sudah sering bilang, best time buat motret landscape itu saat pagi sama sore” jawab kawan saya santai saat saya mengatakan apa yang ada di benak. Bener juga sih. Setelah beberapa kali jalan bareng, kami tak pernah menyia-nyiakan momen sunrise dan sunset.

“Fotografer itu nggak boleh males,” imbuhnya.

“Lah, tapi kan aku bukan fotografer!”

“Kamu kan selain penulis juga nyambi jadi asistenku, hahaha”

“Ouch…”

****

Sinar matahari sore yang teduh melingkupi kawasan Dataran Tinggi Dieng. Kami berdua masih terus survey mencari lokasi terbaik untuk menggambil gambar besok subuh. Kami tak ingin salah lokasi. Setelah mencoba berbagai cara mulai dari memanjat besi tribun, menyusuri ladang kentang, hingga naik ke beberapa bukit, akhirnya kami menemukan tempat yang dirasa cocok.

“Besok kita motret dari ini aja. Udah pas nih tempatnya. Moga-moga nggak banyak yang tau lokasi ini ya, jadinya kita nggak perlu rebutan tempat sama fotografer lain” kata kawan saya.

“Yaelah mas, kalo tempatnya mblusuk gini mana ada yang tau.”

***

Semesta masih teguh dalam semedi saat alarm ponsel saya berbunyi, tanda bahwa kami harus segera bergegas. Dengan malas saya pun menyingkapkan selimut dan bangkit dari kasur, lantas mengambil ransel yang sudah saya persiapkan sejak semalam. Senter, kamera, dan botol air panas sudah masuk semua. Tanpa cuci muka dan gosok gigi (lagian dingin-dingin gini cari penyakit amat kalau mainan air), cukup makan permen mint, saya mengetok kamar kawan saya yang rupanya sudah bangun lebih dulu. Sambil masih terkantuk-kantuk kami berdua mengeluarkan sepeda motor dan membuka pintu penginapan.

Suara motor yang digeber pelan memecah suasana pagi yang hening. Udara dingin yang menampar-nampar wajah langsung membuat mata melek seketika. Brrrr, pagi ini Dieng benar-benar dingin. Meskipun sudah memakai kaos kaki dobel, sepatu, celana panjang, jaket tebal, sarung tangan, syal, serta kupluk, hal itu tidak bisa menahan dinginnya udara pagi itu. Saya nyaris beku.

Setelah memarkir motor di kompleks parkiran Candi Arjuna, kami pun menyeberang jalan dan naik ke Museum Kailasa. Dari museum kami masih naik lagi menyusuri jalan setapak, lantas melintasi ladang kentang yang baru saja ditanami oleh pemiliknya. Dengan tercepuk-cepuk saya berusaha mengimbangi langkah kawan saya. Pagi itu kabut begitu tebal dan udara terasa basah. Hidung saya seperti dicubit-cubit, sakit.

Untunglah tak berapa lama kami tiba dilokasi yang dituju. Setelah memasang tripod dan kamera, kawan saya pun mulai asyik mengabadikan suasana. Saya pun ikutan. Bermodalkan kamera pocket pinjaman ikutan ceklak-ceklik pencet tombol shutter. Namun sepertinya kami datang terlalu pagi. Kabut masih sangat tebal dan langit masih gulita, sehingga figur candi belum nampak. Kami pun harus menunggu.

kabut-candi-arjuna-dieng-ranselhitam-3
Lautan Kabut
abut-candi-arjuna-dieng-ranselhitam-2
Mengabadikan yang sedang berusaha mengekalkan momen

Namun perjuangan kami tak sia-sia. Akhirnya kabut tebal mulai tersingkap dan rona warna pagi mulai muncul. Seperti bentangan layar, perlahan gambaran kompleks candi mulai terlihat, samar dan akhirnya menjadi jelas. Halimun yang tadinya begitu pekat berubah menjadi larik-larik tipis layaknya kapas halus. Nun jauh di belakang nampak rumah-rumah penduduk. Perfect! Inilah momen yang kami tunggu. Kami pun lantas mengabadikan momen ini sepuasnya.

Setelah mendapat semua stock foto yang diingkan, kami pun memutuskan untuk kembali dan menikmati semangkuk mie rebus serta segelas teh hangat di parkiran candi. Sluuurp.

***

“Sash, besok kita harus ngulang motret Candi Arjuna,” kata kawan saya setelah mengecek hasil hunting hari ini.

“Lah, kok bisa?”

“Ini candinya ketutupan kain putih yang buat prosesi pemotongan rambut gimbal. Mungkin besok setelah Dieng Culture Fest selesai kainnya bakalan diambil, jadi lokasinya clear”

“Oh…”

Yeah, ini berarti besok saya harus bangun subuh lagi, trekking lagi, dingin-dinginan lagi. Okay okay, gak masalah. Saya siyap kok. Untuk besok saya bakalan pake celana & jaket dobel biar nggak beku lagi seperti hari ini.

kabut-candi-arjuna-dieng-ranselhitam-4
Foto hari pertama. Sudah kece ternyata candinya ditutupi kain.
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

18 Comments

    • Ahahaha, kawan saya ini kalo soal foto emang kudu dapat seperti apa yang dia pengen. Saya sih maklum karena emang ini menyangkut kerjaanya dia hehehe. Saya mah seneng-seneng aja bisa ngikut dapat momen kece gini 🙂

  1. Dapet foto bagus memang butuh effort yang gede ya Mbak.
    Kemarin saya juga menyesal nggak dapat foto saat kabutnya menutupi setengah badan candi cetho ataupun pas sunsetnya.
    Habis, kalau pulang dah malam, ngeri sama jalannya. Emang harus nginep sih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *