Candi Dwarawati, Si Cantik Nan Kesepian di Atas Bukit

Mentari sudah jauh bergeser ke barat saat saya mengajak Ika untuk berjalan kaki menuju Candi Dwarawati, candi kecil yang terletak di ketinggian. Meski bahu terasa berat menggendong ransel , saya tetap berusaha menjajari Ika yang melangkah dengan cepat. Kami berdua menyusuri lapangan dengan rumput kering yang di beberapa tempat di penuhi kotoran biri-biri. Selang-selang air malang melintang di hamparan tanah yang kami pijak, beberapa diantaranya menimbulkan getaran yang cukup kencang dan suara yang bising. Awalnya kami kira itu suara motor, namun ternyata suara mesin genset yang terus mengalirkan air ke ladang-ladang di atas bukit.

Rute-menuju-candi-dwarawati
Berjalan Menuju Candi Dwarawati

Sesampainya di jalan raya saya sempat bertanya kepada seorang lelaki paruh baya yang tengah menimbang karung-karung berisi kentang tentang rute menuju Candi Dwarawati. “Lurus terus mbak,  nati kalau ada pos polisi belok kiri ikuti jalan desa,” jawabnya dengan ramah. Kamipun melanjutkan  berjalan kaki menyusuri jalan desa yang ditunjukkan bapak tua tadi. Udara sore itu belum begitu dingin, angin juga tidak terlalu kencang, sehingga kami menanggalkan jaket tebal yang kami pakai. Di sebuah gang kami berpapasan dengan pedagang bakso tusuk keliling yang mulai berjalan pulang. Senyum ramah ibu-ibu yang bercengkerama di beranda rumah silih berganti menemani perjalanan ini.

“Masih jauh mbak?” tanya Ika.

“Lupa, Ka. Soalnya dulu aku kesini naik motor sama bapak. Keknya sih udah deket,” jawab saya sambil nyengir.

Rupanya ingatan saya mulai tumpul. Maklum, terakhir kali datang ke Candi Dwarawati ini sudah belasan tahun yang lalu saat masih mengenakan seragam SMA. Yang saya ingat pokoknya candi tersebut terletak di puncak bukit, menyembul di antara hamparan ladang kentang, kubis, dan wortel. Kami pun terus melangkah sambil mengomentari apa-apa yang kami jumpai di sepanjang jalan.

Tak berapa lama kami memasuki jalan berbatu. Segerombolan bocah lelaki berteriak-teriak menyapa kami, sedangkan puluhan anak perempuan tampak asyik dengan celotehnya masing-masing. Saya dan Ika yang mendadak menjadi pusat perhatian hanya tertawa. Rasanya menyenangkan melewatkan sore dikelilingi bocah berwajah riang yang berceloteh tiada henti.

Anak-anak Dieng
Anak-anak Dieng

Mbak, hapan maring ngendi deke?” (Mbak, kalian hendak kemana?) tanya seorang bocah berbaju kuning sambil menjajari langkah kami.

“Nang candi,” (ke candi) jawab saya.

Dia lantas berteriak pada teman-temanya “Woi, wong kiye hapan meng candi, melu yo!” (Woi, orang ini hendak pergi ke candi, bagaimana kalau kita ikut?).

Saya dan Ika hanya tergelak melihat polah mereka. Bocah bocah yang terbalut baju warna-warni ini memilik wajah khas anak daerah dataran tinggi. Muka bulat, mata cerah, dan wajah bersih dengan pipi merah merona alami tanpa pemulas. Mirip dengan bocah-bocah lucu di Tibet sana.

Awalnya kami gembira saat tau bocah-bocah ini hendak turut serta. Namun begitu kami tau bahwa aslinya mereka hendak mengikuti TPA di masjid, maka dengan halus saya suruh mereka kembali.

“Deke TPA ndingin, mengko nek wis rampung agi wae nyusul,” (Kalian TPA dulu saya, nanti aklau sudah selesai baru menyusul).

“Tapi mengko ngong dipoto maning ya mbak!” (Tapi nanti saya dipotret lagi ya mbak!) seru seorang bocah yang paling besar. Saya hanya mengacungkan jempol tinggi-tinggi sebagai tanda mengiyakan.

Setelah kepergian bocah-bocah saya dan Ika semakin mempercepat langkah. Candi yang kami cari sudah terlihat di ketinggian. Ratusan anak tangga dengan perdu di kanan kirinya tampak mengular menuju candi tersebut. Kami pun mendaki satu persatu anak tangga dengan perasaan riang. Beberapa bunga rumput terlihat mekar, mempertontonkan kelopaknya yang cantik dengan jubah warna-warninya. Kupu-kupu dan serangga berterbangan di sepanjang jalan. Ah benar-benar sore yang menyenangkan.

Candi Dwarawati
Candi Dwarawati

Candi yang kami jumpai ini bernama Candi Dwarawati. Salah satu candi Hindu Syiwa tertua di Jawa yang dibangun oleh Wangsa Sanjaya pada akhir abad ke 7 hingga awal abad ke 8. Terletak di bagian paling utara dari kompleks candi yang ada di dataran tinggi Dieng, candi ini dibangun pada ketinggian kurang lebih 2000 m dpl. Berdasarkan catatan sejarah yang pernah baca, Candi Dwarawati ini dibangun berdekatan dengan Candi Parikesit, Candi Pandu, dan Candi Margasari namun sayang ketiga candi yang saya sebut terakhir sudah tidak ada lagi bekasnya. Dalam kisah pewayangan, Dwarawati adalah nama sebuah negeri di sebelah selatan Negeri Amerta.

Begitu memasuki halaman candi yang dikelilingi dengan pagar besi, saya langsung merebahkan badan di rerumputan. Pandangan saya tertumbuk pada bangunan candi yang berdiri di atas batur batu setinggi kurang lebih setengah meter. Candi berukuran sedang ini tampak gagah di antara bunga-bunga dan rerumputan yang mengering. Relung candi terlihat gelap, saat saya mendekat ada sedikit bunga kering di dalamnya. Entah siapa yang menabur. Di dinding luar candi juga terdapat relung yang seharusnya berisi arca, namun arca tersebut juga sudah tidak ada lagi di tempatnya. Konon ketiga arca yang menghiasi dinding candi tersebut sudah dipindahkan ke Museum Kailasa untuk menghindari tindak pencurian dari orang yang tidak bertanggungjawab.

Ingatan saya lantas melayang jauh. Berabad-abad yang lampau, pastilah candi ini menjadi situs yang penting di bawah kepemimpinan Dinasti Sanjaya. Entah fungsinya sebagai makam atau sebagai tempat pemujaan, yang pasti candi ini pernah memiliki masa kejayaannya. Kini Dwarawati hanya menjadi situs yang sepi tanpa pengunjung. Lokasinya yang jauh di atas bukit menyebabkan tak banyak orang berkunjung ke tempat ini. Padahal dari sini siapapun bisa menyaksikan pemandangan yang indah. Gunung gemunung, ladang penduduk, perkampungan warga, komplek Candi Arjuna yang terlihat mungil, hingga asap Kawah Sikidang dari kejauhan. Sayang Telaga Warna dan Pengilon itu tidak terlihat.

Candi Dwarawati
Senyum dikit cekrek 🙂

Berada di candi cantik nan kesepian ini mendadak mengingatkan saya pada hidup. Kini mungkin saya berada dalam masa kejayaan, dikelilingi oleh orang-orang terdekat. Namun, suatu saat nanti pasti akan tiba masanya dimana saya hanya tinggal seorang diri dan menjadi begitu kesepian layaknya si cantik Dwarawati ini. Duh, mengapa mendadak saya menjadi begitu melankolis?

…perlahan burung-burung terlihat  terbang bergerombol kembali ke sarang, awan berarak pelan ke barat, langit berubah warna,  senja membayang, dan kami bergegas pulang…

Traveler Notes

  • Candi Dwarawati terletak di bukit kecil di antara ladang kentang penduduk Desa Dieng Kulon. Untuk mencapai tempat ini kamu bisa berjalan kaki menyusuri gang di samping Pos Polisi Dieng. Jika bingung kamu bisa bertanya kepada penduduk yang dengan senang hati akan membantumu.
  • Dari jalan raya kamu hanya perlu 10 menit berjalan kaki, sedangkan jika kamu berjalan dari Kompleks Candi Arjuna waktu yang kamu perlukan tentu sedikit lebih lama.
  • Berhubung kamu harus lewat jalan kampung maka bersikaplah sopan. Tersenyumlah atau tegurlah orang-orang yang sedang duduk di pinggir jalan sebagai bentuk kesopanan sekaligus penghormatan.
  • Tak ada tiket yang perlu kamu bayarkan untuk mengunjungi Candi Dwarawati
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

29 Comments

    • Mari-mari piknik ke Dieng. Ada banyak tempat yang asyik untuk dijelajahi.
      Iya mbak disana semuanya pipinya merona merah mulai dari anak-anak, remaja, hingga ibu-ibu dan bapak-bapak. Sudah nggak perlu lagi blush on pokoknya hihihi.

  1. Salam kenal, mbak 🙂

    Wah kunjungan saya ke Dieng tempo hari malah melewatkan Candi Dwarawati ini. Tapi walaupun letaknya sedikit memencil, apakah kondisi candi ini baik-baik saja, dalam artian tak ada corat-coret atau ulah vandalisme? Soalnya di dinding Candi Bima malah ada ukiran nama segala :/

    • Salam kenal juga, Mas Gio 🙂

      Terakhir saya kesini sih baik-baik saja mas. Lokasinya yang agak tersembunyi biki wisatawan alay jarang berkunjung kesini hehe. kalau Candi Bima letaknya tepat di sisi jalan sih ya, dan kurang ada pengawasan jadi banyak pejalan jahil yang corat-coret disana.

  2. Waah, di dieng yaa… pas kesana kemarin aku memang ga datang ke candi2nya.. krn waktu sih , makanya kita sekeluarga lbh milih ke wisata puncak sikunir, sumur jalatunda, kawah candradimuka, kawah sikidang, dieng teater ama telaga warna dan pengilon. Pengen banget balik lagi ke dieng mbak… Aku selalu suka tempat wisata yg sejuk dan berada di ketinggian gitu 🙂

    • Wah berarti harus balik lagi ke Dieng mbak. Disana masih banyak tempat seru yang kudu dieksplore. Candinya juga banyak.

      Berkali-kali ke Dieng saya malah belum pernah ke sumur jalatunda hehe

  3. Dua kali ke daerah ini malah belom ke sana sayang sekali tapi tulisan ini ngasih tau jadi pengen kesana lagi… Salam historia vitae magistra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *