Candi Sukuh, Eksotisme di Lereng Gunung Lawu

ABFI 5

Mendung menggelantung di angkasa, mengubah wajah semesta menjadi sendu. “Duh semoga tidak hujan,” harap seraut wajah cantik, Raisa, yang duduk tepat di sebelah jendela. Saya juga merapal doa yang sama. Rasanya akan sia-sia jika perjalanan menuju lereng Lawu yang telah saya nanti jauh sebelum acara Asean Blogger Festival Indonesia 2013 dimulai ini berhiaskan hujan. Duduk di depan saya, Kak Hani, Mas Hendra, dan KC terlihat asyik dengan obrolan soal perbedaan sistem pemerintahan di Indonesia dan Malaysia.

Sambil sesekali menimbrung pembicaraan yang sudah berganti topik menjadi kuliner unik di tempat masing-masing saya bolak balik menatap langit di luar jendela. Akhirnya mendung pun berubah menjadi titik-titik air yang menghunjam bumi. Sighh, helaan nafas panjang tanda kecewa sempat saya dengar. Duh, apa asyiknya jalan-jalan di candi kalau hujan? Mana tidak ada yang membawa payung, keluh saya dalam hati. Sesaat saya menyesali pilihan untuk ikut trip menuju Candi Sukuh. Tahu begini mending ikut rombongan lain yang mengunjungi Museum Manusia Purba Sangiran.

Saat hendak merutuk lebih lanjut mendadak saya teringat ucapan seorang kawan “kebahagiaan itu diciptakan nona!”. Upz, benar sekali. Saya lupa bagian itu. Saya yang awalnya kecewa pun lantas bersemangat “Gak papa hujannya di jalan. Semoga saat sampai di Sukuh nanti hujannya reda tinggal kabutnya yang naik. Kan asyik tuh di tengah candi yang berselimut kabut,” kata saya kepada Raisa dan Hana, dua kawan dari Akademi Berbagi Solo.

ABFI 2
Pemandangan dari Pelataran Candi Sukuh (pic: me)

Setelah kurang lebih satu jam berkendara melewati medan yang lumayan ekstrim dengan pemandangan cantik di sepanjang jalan rombongan kami pun menjadi rombongan yang pertama tiba di parkiran Candi Sukuh. Benar kata saya. Sesampainya di candi, hujan sudah reda hanya menyisakan jejak basah di rerumputan dan kabut yang perlahan mulai naik, menciptakan kesan dingin dan penuh magi.

Sejak dulu saya suka candi. Berada di antara tumpukan batuan yang disusun beratus-ratus tahun yang lalu selalu menciptakan kesan tersendiri yang tidak bisa terganti oleh apapun. Membaca relief yang terpahat pada dinding candi selalu memberikan kesenangan tersendiri. Meski jarang memahami artinya, tapi hal itu selalu membuat ingatan saya terbang ke masa lalu, mengagumi para seniman yang membangun candi-candi. Mereka mampu mendirikan bangunan semegah ini tanpa peralatan canggih. Harusnya kita yang sudah dimanjakan oleh teknologi bisa menciptakan mahakarya juga ya.

Berhubung menjadi rombongan pertama yang tiba saya pun lantas bergerak menuju candi yang memiliki gerbang di samping. Mumpung masih sepi, ini saatnya memotret candi dari berbagai sisi. Berada pada ketinggian sekitar 1.186 dpl, candi yang terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar ini memiliki kemiripan dengan candi-candi Hindu yang dibangun pada periode awal, yakni Candi Gedongsongo di Lereng Gunung Ungaran dan Kompleks percandian di Dieng. Kesamaanya yakni sama-sama dibangun di tempat tinggi, di lereng gunung.

ABFI 4
Teras pertama dan teras kedua Candi Sukuh (Pic: me)
ABFI 6
Relief dan Ornamen Candi Sukuh (pic: me)
ABFI 3
Sesaji di pelataran candi (pic: me)

Secara bentuk, Candi Sukuh memiliki gaya anti mainstream, alias beda jauh dengan candi-candi Hindu pendahulunya. Jika candi Hindu lainnya memiliki arsitektur yang menyimbolkan Gunung Meru, maka Candi Sukuh lebih menyerupai trapesium serta tidak memiliki relung di dalam candi. Sepintas lihat, Candi Sukuh lebih mirip dengan bangunan suku Maya di Meksiko, suku Inca di Peru, atau bahkan hampir menyerupai Piramida Mesir. Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, ada teori yang menyebutkan bahwa Candi Sukuh dibangun pada saat Majapahit hampir runtuh, karena itu dibuatlah candi yang sederhana dengan asritektur kembali ke jaman budaya Megalitikum mirip punden berundak. Sedangkan teori lain menyebutkan Candi Sukuh bukan dibangun oleh seorang tukang batu dari kalangan keraton melainkan tukang kayu dari desa dan dibangun dengan tergesa-gesa. Terlepas dari semua teori tersebut, bagi saya pribadi Candi Sukuh tetap merupakan peninggalan budaya yang sangat besar nilainya.

Selain unik dari segi arsitektur, Candi Sukuh juga memiliki ciri khas yang tidak dijumpai di candi-candi lain yakni adanya relief manusia tanpa busana dan juga patung-patung erotis. Oleh karena keberadaan relief dan ornamen tersebut, banyak orang menganggap bahwa Candi Sukuh merupakan candi “porno” dan dulu mungkin dijadikan sebagai tempat ritual. Tapi pendapat tersebut ditepis oleh Pak Jokosu yang menjadi guide kami kala itu,”Candi Sukuh dulu digunakan sebagai tempat persembahyangan dan pemujaan para dewa.”  Ada satu gerbang yang ditutup dan tidak boleh dilewati wisatawan karena itu disakralkan dan untuk menghormati umat Hindu. “Ini bukan tentang pornografi, tapi bercerita soal kasih sayang, kejahatan, dan kebajikan,” tandasnya.

BKAG7VOCUAAVpzM
Akhirnya ketemu penulis idola, Gus Weng (pic: babeh Helmi)
BKALhsnCQAIjNIo
Keluarga Canting Ceria 🙂 (pic: babeh Helmi)

ABFI 1

Tak terasa sudah satu setengah jam para peserta Asean Blogger Festival mengitari Candi Sukuh. Rasa hati belum puas dan masih ingin berlama-lama menikmati kemegahan salah satu candi yang paling menarik di Asia Tenggara ini. Namun pantia sudah menyuruh kami untuk kembali ke kendaraan dan mengikuti agenda selanjutnya berupa penanaman pohon di Urban Forest, Solo. Dengan berat hati saya pun bergabung dengan rombongan memasuki mobil masing-masing setelah sebelumnya melakukan photo session. Di dalam kendaraan yang melaju menuju Solo, saya melihat-lihat kembali foto-foto candi. Dan sesaat, aroma mawar serta hio yang tertancap di salah satu pelataran candi tercium dengan samar.

Traveler Notes:

  • Untuk mengunjungi Candi Sukuh disarankan menggunakan mobil diesel ber-cc besar karena medannya yang cukup ekstrim.
  • Bagi wisatawan luar kota yang ingin merasakan udara pegunungan yang sejuk dapat menginap di homestay yang terdapat di sekitar candi.
  • Candi Sukuh buka setiap hari mulai pukul 08.00-17.00 WIB
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

8 Comments

  1. “Candi Sukuh juga memiliki ciri khas yang tidak dijumpai di candi-candi lain yakni adanya relief manusia tanpa busana dan juga patung-patung erotis”

    Wah, bahasane vulgar, njuk serasa moco sepotong stensil, hehehe…

    nyesel aku ra kebagian Candi sukuh, jebul’e apik tenan….

    Hahahahaha, asyem mik, stensilan kok piye. Mesti dirimu wis biasa moco stensilan yo mas hahaha. Lah bukane Sangiran yo patunge podo2 gak nganggo klambi? #eh :p
    Tapi Candi Sukuh pancen apik ding.

  2. wah mantap, kemaren saya malah mainnya ke candi Ceto 4-6km dari sukuh :), dan jujur saya belum pernah kesana..hehehe

    Ahaa, saya malah penasaran sama Candi Cetho yang ada Dewi Saraswati-nya. Lihat dari foto-foto teman lokasinya juga cihuy ya 🙂

  3. Pernah baca di Intisari lawas tentang Candi Sukuh. uh, gak kesampaian ke sana. 🙂 Erotisme dalam pahatan candi konon merupakan ajaran moral. Seperti perzinaan, aborsi, dan hal semacamnya. Juga pengajaran tentang posisi bercinta? :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *