2017 Dalam Catatan: Mengakar Semakin Dalam

2017 sudah tinggal menghitung hari. Apa yang sudah diperbuat tahun ini? Sudahkah resolusi dan mimpi-mimpi tergenapi? Janji-janji terlunasi? Rekonsiliasi dijalani?

Bagi saya, tahun 2017 ini adalah rollercoaster terekstrim yang pernah saya naiki. Hidup benar-benar dibuat naik turun berputar-putar dengan cepat, tanpa jeda, melelahkan jiwa dan raga, nyaris membuat roboh, dan menjadikan saya tak berani untuk memikirkan hal-hal yang terlihat jauh.

Jika boleh diibaratkan dengan jalan, tahun ini dipenuhi dengan turunan curam dan tanjakan terjal yang berkelok, kondisi jalan yang rusak serta penuh jurang di kanan dan kiri. Membuat saya harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Bahkan cenderung ingin berhenti karena terlalu ngeri. Namun berhenti juga  tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah hadapi. Tak peduli apa yang menanti di depan, pokoknya terus berjalan dan menggenggam harapan “yakin sampai”.

Awalnya saya membuka 2017 dengan penuh harapan. More Beyond, tema besar gereja tempat saya beribadah benar-benar saya imani. Pasti akan ada hal besar terjadi.

Januari semua masih berjalan baik-baik saja. Semua berjalan wajar. Bahkan kami masih bisa kumpul keluarga saat Renjana ulangtahun ke-2. Bapak dan Ibu saya datang ke Jogja motoran, demi acara tiup lilin sederhana dengan cucu satu-satunya. Dan rupanya, ini adalah momen terakhir kebersamaan kami.

Baca: Selamat Ulang Tahun, Renjana

Sejak saat itu kondisi fisik bapak mulai ngedrop. Ibu kerap telepon saya dan bilang bahwa bapak semakin kurus dan sering sakit-sakitan. Namun tiap kali diajak periksa tidak mau, bahkan marah-marah. Emosi bapak juga semakin tidak stabil. Perlahan masalah demi masalah datang silih berganti.

Awalnya saya percaya hal ini adalah sesuatu yang wajar. Tapi seiring berjalannya waktu kok kondisi tidak membaik. Bahkan bapak akhirnya ngedrop dan harus bedrest. Saat itu bapak masih ngotot tidak mau dibawa ke rumah sakit. Hingga pada satu titik, saat saya pulang ke rumah, bapak mau dibawa berobat dan opname serta  menjalani serangkaian tes lab.

Beragam diagnosa muncul, membuat nyali kami menciut. Ada satu momen saat saya sudah kembali ke Jogja hanya bisa terdiam menerima telepon dari bulik. Saat ini saya ingin menjerit dan menangis sejadinya, namun airmata enggan keluar. Saya hanya terdiam lantas menjawab seolah semua baik-baik saja. Bahkan saya berusaha menguatkan ibu dan adik semata wayang saya.

Lantas bulan demi bulan berjalan dengan sangat lambat. Jika posisi sedang di Jogja, saya selalu berdebar-debar tiap mengangkat telepon dari rumah. Kondisi bapak semakin memburuk. Ibu juga semakin ngedrop karena harus mengurus bapak seorang diri. Tak hanya fisik, keuangan keluarga kami pun berada di titik nadir.

Saya sendiri dilema. Jika saya tetap bertahan di Wonosobo dan membantu mengurus bapak, maka saya tidak bisa bekerja. Sedangkan diagnosa utama penyakit bapak adalah TB, dan saya memiliki bayi yang sangat rentan jika hidup dalam satu rumah dengan penderita. Untungnya keluarga besar (om, bulik, dan saudara lain) membesarkan serta menguatkan saya “kamu di Jogja aja nggak apa-apa. Ibu dan bapakmu kami yang jaga”.

Di tengah kondisi bapak yang semakin menurun, adik saya berujar bahwa ada benjolan di payudara kanannya. Namun saat itu berhubung kami masih fokus pada pengobatan bapak, maka kondisi adik kami abaikan, apalagi dia juga terlihat tidak apa-apa.

Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, namun Tuhan yang menentukan segalanya. Beberapa hari setelah ulangtahun pernikahan saya yang ketiga, bapak berpulang ke pangkuan Bapa. Momen menyakitkan itu masih benar-benar melekat di kepala saya. Saat itu hanya kami berdua, saya dan adik, yang menunggui bapak. Memanggil perawat jaga, melihat perawat berusaha sekuat tenaga, lantas mendengar mereka menyampaikan vonis bahwa bapak meninggal, kemudian menutupi seluruh tubuh dengan selimut.

Lagi-lagi saya tak kuasa menangis. Saya hanya memeluk adik saya erat-erat, mencoba menguatkannya. Dada saya terasa begitu sakit dan sesak. Hanya ada sedikit air mata yang tertumpah. Lantas saya mengabarkan berita duka ini kepada seluruh keluarga.

Peristirahatan terakhir bapak
Peristirahatan terakhir bapak

Jika sekarang kilas balik terhadap hari itu, rasanya saya tak sanggup untuk melewatinya. Membereskan semua barang di kamar rumah sakit berdua. Lantas membantu mengangkat jenazah bapak ke brankar dan berjalan melintasi lorong rumahsakit menuju kamar jenazah.

Baca: Pak, Saya (Tak) Baik-baik Saja

Selang beberapa waktu selepas pemakaman bapak, saya dan ibu pun mulai fokus kepada keluhan adik. Setelah cek di dokter dan mencari second opinion, akhirnya diagnonsa itu muncul. Benjolan harus segera diangkat. Lagi-lagi saya merasa limbung. Bahkan jauh lebih ngedrop dibanding saat mendengar kabar penyakit bapak.

Ibu saya yang kondisi fisiknya tidak begitu fit pun harus mondar-mandir mengurus administrasi operasi adik. Beruntung, dokter puskesmas mau memberikan rekomendasi untuk operasi di RSK Ngesti Waluyo yang berada di luar kota. Sebab jujur saja sayadan keluarga  masih trauma dengan rumah sakit Wonosobo. Akhirnya operasi berjalan lancar, dan puji Tuhan benjolan tersebut adalah tumor jinak.

Baru seminggu adik keluar rumah sakit, Renjana terkena bronkitis. Lantas ibu juga ngedrop. Saat itu saya pikir ibu akan segera membaik, sehingga saya balik ke Jogja untuk pemulihan Renjana. Ternyata setelah kami kembali ke Jogja, sakit ibu makin bertambah parah. Ibu juga sempat keracunan obat sehingga harus opname 2 kali. Sepulang dari rumah sakit kondisi ibu tak kunjung membaik, bahkan semakin ngedrop. 2 bulan lebih ibu hanya tidur di kamar tidak bisa melakukan apapun.

Kami pun meminta dokter untuk melakukan serangkaian tes. Dan saat itu ada kemungkinan ibu terkena TB. Saya ingat betul, saat itu tanggal 1 November. Begitu selesai menutup telepon dari adik mengabarkan diagnosa sementara dokter, saya menangis sejadi-jadinya di kamar. Bahkan saya berada pada satu titik menggugat Tuhan “Apakah Engkau benar-benar hadir? Katanya Engkau penuh kasih, namun mengapa bisa sejahat ini pada kami? Mengapa harus kami?”.

Mengakar semakin dalam

Tapi rupanya momen itu juga menjadi titik balik untuk saya. Tuhan menjawab gugatan saya dengan mengingatkan semua penyertaan yang Dia beri atas saya sejauh ini. Semua hal-hal baik yang sudah Tuhan kasih buat saya melintas begitu jelas. Membuat saya benar-benar malu karena sudah mempertanyakan rencanaNYA.

Lantas pada suatu ibadah minggu saya mendapatkan penguatan. Raja Daud adalah salah satu contoh sosok yang diuji Tuhan habis-habisan. Tapi dia bisa melewati itu semua, walau melalui berbagai kesalahan. Tuhan enggak pedulikan kesalahan Daud, karena Tuhan melihat hati Daud yang tulus dan terus berakar pada Tuhan.

Ya, kuncinya satu. Tetap menambatkan iman pada Tuhan. Terus mengakar semakin dalam. Jika akarmu kuat, sebesar apa pun topan badai yang menerpa tak akan membuah pohon mudah tumbang. Bahkan jika akhirnya pohon itu roboh, akar yang kuat akan menumbuhkan tunas-tunas baru.

Saya pun menjadi lebih lega. Pasrah. Semeleh pada kehendak Tuhan. Monggo kerso, Gusti. Kula pitados. Ke mana pun Engkau membawa saya turut. Apa pun yang akan Engkau perbuat dalam hidup ini, saya manut. Karena hidup bukan tentang saya, melainkan tentang Engkau. Jika semua hal yang terjadi dalam hidup saya ini untuk semakin menunjukkan kebesaranMu dan menjadikan saya serta keluarga saya sebagai saksiMU yang hidup, maka bertindaklah.

Ternyata pernyerahan hati, keikhlasan menjalani setiap ujian, dan rasa percaya serta tidak mempertanyakan lagi maksud Tuhan membuat saya jauh lebih nyaman. Dan seperti yang sering saya dengar, God works in mysterious way. Hasil tes terbaru menunjukkan TB ibu negatif. Sakit ibu pun berangsur-angsur pulih, dan natal kemarin saat saya kembali ke rumah, kondisi ibu sudah benar-benar fit.

More beyond

Selain tahun yang penuh air mata, tahun 2017 ini juga menjadi tahun penuh berkat buat saya. Dalam satu tahun ini saya beberapa kali menang lomba menulis. Bahkan untuk lomba menulis ini jaraknya cukup berurutan dan membuat kawan-kawan berujar “Ah kalau Mbak Sasha ikutan lomba atau kuis paling menang lagi”.

Untuk urusan ngeblog juga saya merasa lebih konsisten. Tahun ini saya lebih membuka diri dan bertemu banyak kawan-kawan baru yang akhirnya menjadi dekat, tempat curhat hal-hal remeh dan receh. Pertemuan-pertemuan dengan orang-orang baru membawa saya pada banyak hal tak terduga, termasuk kesempatan baru untuk menulis buku yang semoga lancar dan bisa terbit tahun depan.

Saya juga banyak mendapatkan limpahan job dari kawan-kawan baru, mulai dari buzzing, endorse, menulis konten, jalan-jalan, dan banyak hal menyenangkan lainnya. Dan yang paling membahagiakan tentunya pekerjaan baru yang saya dapatkan tepat di hari ulangtahun. Gusti memang Maha Cihuy.

Tahun ini satu buku keroyokan dengan nama saya didalamnya terbit. Kumpulan tulisan menang lomba di tahun kemarin sih, tapi terbitnya baru tahun ini. Lumayan lah buat portofolio. Dan sebagai pamungkas, tepat di tanggal 24 Desember kemarin saya dan Renjana nangkring di rubrik Familia Tribun Jogja dong, edisi travelling bersama keluarga.

Baca: Trekking Bersama Balita? Kenapa Enggak?

Jadi ya, selama ini kan saya yang sering interview orang-orang untuk urusan kerjaan. Saat gantian diwawancara ngerasa akward juga sih ahahaha. Tadinya mau norak, pamer kalo abis diwawancara dan bakal masuk koran, tapi ku malu. Akhirnya dipendam dalam hati saja. Niatnya mau pamer saat koran sudah terbit. Lha ndilalah, saat hari minggu koran terbit posisi saya lagi di Wonosobo, dan ternyata Tribun Jogja nggak beredar sampai Wonosobo, niat pamer pun musnah sudah ahahaha.

Gusti memang nggak suka dengan orang riya. Mas bojo dan adik yang sudah saya ceritain niatan pamer ini tentu saja ketawa ngakak dan ngejek habis-habisan dong. Kisah kami dimuat di tribun online juga, tapi sedikit beda dengan yang versi cetak sih kayaknya.

Ternyata benar, Gusti itu ngasih badai lengkap dengan pelangi. Tak ada duka yang abadi, bahagia pun ada masa kadaluwarsanya. Pada akhirnya di penghujung tahun ini saya menyadari bahwa semua “ujian” itu adalah berkat yang harus saya terima. Berkat yang membuat iman saya naik level, berkat yang membuat saya belajar menjadi sosok yang lebih tangguh, berkat yang membuat saya mengenal DIA lebih dekat.

Dan kini, jelang 2018, saya percaya DIA sudah menyiapkan skenario hidup yang jauh lebih dahsyat dan menarik. Apa pun yang terjadi saya tak akan takut lagi. Saya akan makin berakar, semakin dalam, sehingga tak akan roboh digoncang apa pun.

Terimakasih Gusti untuk 2017 yang sungguh luar biasa dan saya siap untuk akselerasi di 2018!

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

16 Comments

  1. Baca ceritanya kok aku jd ikutan kaya lagi naik roller coaster ya mb. Hiks hiks.
    Padahal sebagian ceritanya ud tau ya, tp tep aja mbrambangi lagi baca versi lengkapnya.
    Selamat juga untuk pencapaian2nya, semoga 2018 lebih shine bright like sunlight #eh lho

    • Hai nonaqieed, terimakasih banyak ya sudah menjadi salah satu orang yang bersedia membaca curhat-curhat galau enggak jelas selama ini 🙂

      Terus kuingin melumuri perutku dengan sunlight biar lemaknya luruh ahahahaha

  2. Yaampun mba… Tuhan maha membolak-balikkan hati ya. Banyak ujian tp jg gak sedikit kebahagiaan. Aku punya tahun yg berat semacam ini, 2009 lalu. Hiks semoga semua ujian2 itu menaikkan derajat mba sha dan keluarga ya. 🙂 Ku kangen breeeee… *Teteppp ???

  3. turut berduka cita mba… Cobaan dari Tuhan, hanya untuk orang-orang yang kuat menjalaninya…
    Semoga di tahun ini jauh lebih baik , semoga dilimpahi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga…

    • Kalau saya ngepukpuk adek saya sambil bilang gini “shit things happen for strong people”, hehe, buat menenteramkan hati.
      Amin, terimakasih doanya. Semoga doa baik juga berbalik pada Mbak Retno.

  4. Sama sama berat tahun 2017 ini, berurusan dengan rumah sakit sampai badai keuangan. kemarin ingin bisa membuat postingan yang sama, tapi entah mengapa setiap kata malah bikin mewek. Wis emboh, akhire bersawang dalam draft. hehehe

    Semoga ditahun 2018 lebih banyak kebahagaiaan datang menyapa. Aamiin.

    • Ah ternyata saya tidak sendiri. Peluk dulu, mbak 🙂
      Kemarin nulis ini juga sampai lama, selalu berhenti di tengah-tengah, enggak sanggup lanjutin. Tapi saya bertekad untuk keluar dari kepahitan, dan menulis menjadi terapi. Meski masih mewek tiap mengingatnya, tapi menuliskan ini membuat saya merasa lebih baik.

      Amiiiin, amiiiin, 2018 makin berpijar ya.

  5. Cobaan yang begitu beratttt. Aku mengalami juga, Ibu dirawat di RS sampai 2 minggu. tepatnya h-1 minggu sebelum lebaran, dan sesudah lebaran. Dan ini bikin sesaaaak, lebaran di Rumah Sakit. Hiks.

    Semoga bisa lebih menerima dan banyak berkah di tahun 2018 ya, Mama Breeee. 😉

    • Kayaknya 2017 emang tahun yang berat bagi banyal orang. Sini puk-puk dulu mbakyu. Semoga ibu nggak sakit-sakitan lagi ya.

      Amiiin, amiiin, pun begitu dirimu. Semoga 2018 jauh lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *