Cerita Pagi dari Telaga Warna, Dieng

Laksana telaga kembar nan jelita, Telaga Warna dan Telaga Pengilon merupakan duo obyek wisata yang menjadi salah satu magnet penarik wisatawan untuk berkunjung ke Dieng. Menikmati kedua telaga ini di kala pagi akan menjadi aktivitas pembuka hari yang menyenangkan.

Telaga Warna Dieng Berkabut
Pagi Berkabut di Telaga Warna

Malam baru saja menjelma pagi. Langit fajar mulai berganti warna sebagai penanda dimulainya pertunjukan kolosal simfoni pagi. Perlahan langit mulai berubah, dari gelap, biru tua, lantas berubah menjadi merah muda, merah sepang, jingga dan kuning keemasan.

Bola emas raksasa pun muncul perlahan dari balik cakrawala. Pendar cahayanya membias ke segala penjuru, menimpa tanah dan rumput yang basah terkena embun. Nun jauh terlihat deretan gunung gemunung yang berdiri dengan gagah di antara samudra kabut. Dataran tinggi Dieng pun mulai menampakkan geliatnya.

Meski udara dingin bulan Juni terasa menggigit, hal tersebut tak menyurutkan niat saya untuk memulai petualangan pada hari yang masih pagi. Jaket tebal dua lapis, kupluk, sayal, sarung tangan, celana panjang, sebotol minuman hangat, serta kamera yang tersimpan di ransel menjadi peralatan tempur yang menemani perjalanan saya. Bersama seorang kawan, kami berdua berencana untuk hunting foto Telaga Warna di pagi yang tenang.

Dieng negeri di bawah kabut
Dieng, Negeri di Bawah Kabut

Setelah mengikat tali sepatu, kami pun meninggalkan penginapan menuju Telaga Warna. Sepanjang jalan saya disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Ladang kubis, kentang, carica, dan bawang menutupi perbukitan. Dandelion dan bunga liar tumbuh subur di antara rerumputan yang basah tertimpa embun. Di beberapa bagian, aroma belerang bercampur dengan pupuk kandang menguar dengan tajam, memaksa saya menutup hidung menggunakan syal.

Tak sampai 5 menit berkendara, kami tiba di areal parkir Telaga Warna. Suasana terlihat sunyi, belum ada pengunjung yang memadati area. Wajar saja, mengingat ini baru pukul enam lebih sedikit. Setelah meninggalkan motor di parkiran kami pun berjalan menuju salah satu bukit yang ada di sisi telaga warna untuk mencari angle foto yang menarik. Kami berdua  lantas mulai treking mendaki bukit dengan jalur tanah basah yang licin.

Udara pagi yang basah, cuaca yang dingin, dan angin pagi yang menampar-nampar wajah membuat trekking ini terasa sedikit melelahkan. Padahal bukit yang kami daki terbilang sangat pendek. Dengan terengah-engah akhirnya kami berhasil mencapai puncak. Seperti kata pepatah, no pain no nain, maka setelah berlelah-lelah berjalan kami pun disambut dengan pemandangan yang indah.

Telaga Warna nan jelita terbentang di hadapan kami dengan latar belakang Gunung Sindoro, perbukitan, dan langit biru yang cerah. Sedangkan saudari kembarnya, Telaga Pengilon masih tertutup oleh lapisan kabut. Pemandangan yang memanjakan mata dan sesaat membuat saya tercekat karena terpesona. Kami pun terus mengambil gambar hingga perlahan tudung kabut yang menyelimuti Pengilon menghilang sehingga terlihat rupa dua telaga kembar nan jelita tersebut.

teaga warna ransel hitam
Ketika musim kemarau debit telaga menyusut

Puas menikmati Telaga Warna dan Telaga Pengilon kami pun lantas turun guna menikmati kecantikan si kembar dari dekat. Setelah membayar retribusi di pintu masuk, saya lantas berjingkat melangkah di antara jalan paving yang mengitari dua telaga.

Menurut cerita, dua telaga ini dinamai sesuai dengan keberadaannya. Telaga pertama dinamakan Telaga Warna karena memiliki warna air yang berbeda. Saat saya masih kecil, saya ingat betul bahwa telaga ini benar-benar warna-warni ada hijau, biru, keunguan, dan merah. Namun kini hanya tinggal gradasi warna biru dan hijau. Sedangkan Telaga Pengilon bisa digunakan untuk bercermin (dalam bahasa Jawa pengilon berarti cermin).

Berjalan kaki menikmati kompleks telaga menjadi aktivitas yang sangat mengasyikkan. Pohon-pohon yang melingkupi dua telaga tersebut membuat udara terasa bersih dan segar. Padang rumput setinggi lutut juga menghiasi kompleks telaga. Tanpa sengaja mata saya tertumbuk pada rumpun buah strawberry liar yang saya kenal dengan nama ucen-ucen.

Sejenak saya merasa menjadi Laura Ingals dalam serial Litlle House in Prairie yang suka berlari di padang prairie. Jika dia berlari sambil memetik buah plum di tepi sungai yang ditumbuhi bunga Lonceng Biru, maka saya berlarian sambil memetik buah ucen-ucen di tepi Telaga Warna dan Pengilon yang dipenuhi bunga dandelion.

Dandelion
Dandelion

Puas menikmati ucen-ucen, saya pun kembali melangkah mengikuti jalan setapak di tepi telaga sambil meniup dandelion yang saya petik. Helai-helai dandelion berterbangan terbawa angin. “Ada kebahagiaan dan harapan di setiap helai yang terbang,” jawab saya ketika teman seperjalanan saya menertawakan apa yang saya lakukan.

Belum habis kegembiraan saya saat mendadak segerombol kupu-kupu berwarna biru berterbangan di depan wajah. Wow! Dieng memang super duper wow. Begitu banyak hal-hal ajaib yang membuat saya tercekat. Tadi pagi yang penuh magi, lantas telaga berkabut, lantas dandelion, lantas kupu-kupu biru. Nanti akan ada apa lagi?

Pantas saja tempat ini di namakan Dieng. Berasal dari kata Adi dan Hyang yang berarti tempat bersemayamnya para dewa-dewi. Sedangkan penduduk lokal lebih mengartikannya sebagai Edi dan Aeng. Edi berarti cantik dan Aeng berarti aneh-aneh yang bisa diartikan sebagai kecantikan yang aneh atau ajaib. Sedangkan saya memilih untuk menggabungkan keduanya. Dataran tinggi Dieng merupakan tanah para dewa yang menyimpan kecantikan ajaib.

Puas menikmati kecantikan telaga kembar nan jelita, saya pun kembali melanjutkan perjalanan menyambangi tempat-tempat lain yang tak kalah menarik. Sebagai kaldera gunung api yang telah berubah bentuk, Dieng menjadi dataran tinggi cantik yang  dipenuhi pegunungan, telaga, kawah, air terjun hingga peninggalan budaya masa lalu berupa kompleks candi Hindu tertua di Jawa.

Dataran Tinggi Dieng memiliki alam yang eksotis serta budaya dan tradisi yang terus dihidupi dan lestari. Mengunjungi tanah tempat bersemayamnya para dewa ini tak cukup hanya dilakukan sehari, sebab tempat ini menyimpan berjuta misteri dan keindahan yang mampu mewarnai sekaligus mengejutkan perjalanan kita semua.

Traveler Notes!

Akses:
Akses menuju dataran tinggi Dieng terbilang mudah. Dari bandara terdekat (Yogyakarta) Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi dengan waktu tempuh antara 3-4 jam. Angkutan umum pun sangat  mudah. Anda bisa naik bus jurusan Jogja-Semarang dari Terminal Jombor dan turun di terminal Magelang. Dari terminal Magelang silahkan naik mikrobus jurusan Wonosobo. Dari Terminal Wonosobo (Terminal Mendolo) Anda naik bus jurusan Dieng atau Batur dan turun di terminal Dieng.

Akomodasi:
Di Dieng terdapat banyak penginapan dan homestay dengan tarif rata-rata Rp 150.000 per malam. Salah satu penginapan favorit traveler adalah Penginapan Bu Jono yang terletak di samping terminal Dieng. Pastikan penginapan yang Anda tinggali memiliki fasilitas air panas dan tungku perapian khas Dieng yakni anglo.

Tips:

  • Jangan lupa bawa jaket tebal, syal, masker, kaos tangan & kupluk supaya bisa jalan-jalan dengan nyaman.
  • Kuliner yang wajib dicoba yakni Wedang Purwaceng, Mie Ongklok, Tempe Kemul, Carica, Kentang Goreng dan Jamur Crispy  ala Dieng, serta Kue Bandos.
  • Waktu terbaik mengunjungi Dieng adalah bulan Juni-Agustus. Selain ada Dieng Culture Festival, pada bulan-bulan tersebut Sunrise Sikunir sedang bagus-bagusnya.
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

5 Comments

    • Aha iya mas. Ini saya termasuk beruntung. Sekitar jam 6an – 7 langit masih bagus-bagusnya dan masih ada kabut. Siang dikit biasanya udah puanas banget di puncak. Ayo kesini lagi tapi pagi-pagi 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *