Dear, Indonesia. Dirgahayu!

Dimanapun merah putih selalu berada di tiang tertinggi

Mentari belum sepenuhnya tenggelam saat kami duduk bersisian di pantai berpasir putih itu. Kami berbincang tentang hidup, karir, cinta, impian, isme-isme yang berjajar di rak buku usang, berbincang apa saja. Gelak tawa yang membuncah hingga kerut kemerut di dahi pun muncul akibat percakapan yang tak jelas juntrungnya itu. Mendadak dia mengajukan sebuah pertanyaan pada saya.

“Sash, seberapa cinta kamu sama Indonesia?”

“Hah?” saya tergagap, tidak siap dengan pertanyaan yang sama sekali tidak terlintas dibenak. “Uhmm,,, seberapa ya? banyak lah! gak bisa dijelaskan”

“Apa yang bikin kamu cinta sama Indonesia?” lanjutnya.

“Errr, kamu kenapa kok tiba-tiba tanya seperti ini? Kek gak ada pertanyaan lain saja,” jawab saya sambil berusaha mengalihkan topik.

“Jawab aja! Katanya tadi bilang banyak sampe gak bisa dijelaskan. Jadi harus ada alasannya dong!”

Saya hanya terdiam. Berpikir keras mencoba menerka kemana arah pembicaraannya.

“Sash, aku tuh kadang ngerasa gerah dengan keadaan sekarang. Tiap agustusan pasti banyak yang membahas tentang nasionalisme. Temanya selalu sama dan sifatnya template. Misal ‘apa yg bikin kamu bangga sama Indonesia?’ atau ‘seberapa besar cintamu sama Indonesia?’ ya sama kayak yang barusan aku tanyain ke kamu. Dan kamu tau? setali tiga uang dengan pertanyaan yang template, jawaban mereka pun template. ‘saya bangga karena Indonesia adalah negara yang indah, murah senyum, ramah, toleran’ atau ‘saya cinta Indonesia karena negara ini keren’ bla bla bla” terangnya. Saya masih diam, membiarkan dia terus bicara.

“Kalo bagi aku, semua jawaban itu bullshit! mereka nggak ngerti apa yang mereka omongin. Cuma ikut-ikutan apa. kata siapa Indonesia negara yang toleran? Orang ngediriin gereja aja dilarang padahal IMB sudah ada. Aku juga gak ngerti dimana tolerannya spanduk ‘dilarang keras makan minum di siang hari selama bulan puasa. Hormati warga muslim yang sedang menjalankan puasa’ oleh ormas Islam garis keras. Astaga, seramnya. Bukankah toleransi yang muncul atas dasar intimidasi hanyalah toleransi basa-basi?” lanjutnya sambil memasang mimik serius. Saya masih diam, mencoba mencerna tiap katanya. Hmmm,,, menarik dan masuk akal juga.

“Jujur Sash, aku nggak suka kalo urusan cinta sama negara ini ditemplatekan. kenapa nggak jujur saja? apa gunanya bilang Indonesia negara paling keren kalau bahkan rumput yang bergoyang pun tahu itu tak benar. Dimana letak kekerenan sebuah negara yang membiarkan korupsi bebas piknik kesana kemari, dihukum sebentar kemudian saat 17an & lebaran mendapat remisi. Namun seorang pencuri ayam atau coklat saja dihukum berbulan-bulan.”

“Kalo gantian aku nanya ke kamu, apa yang membuat kamu cinta sama Indonesia apa jawabanmu? yakin nggak template?” tanyaku iseng.

“Banyak Sash. Aku cinta dan bangga dengan Indonesia karena orang-orangnya berpikiran terbuka sehingga tidak menjadikan software bajakan sebagai barang haram. Aku cinta Indonesia karena listrik, sinyal HP & internet belum mengalir di seluruh negeri. Sehingga masih ada generasi yang terselamatkan dari virus video porno dan budaya lip-sync. Aku juga cinta Indonesia yang sebagian besar wilayahnya minim sarana dan prasarana, sehingga banyak tempat-tempat cantik yang masih perawan dan tak terjamah tangan-tangan asing. Ibaratnya makanan, cintaku ke Indonesia kek cintaku ke Indomie. Aku tau makanan itu nggak sehat, tapi tetep aja itu bikin candu. Yang menginginkannya di negeri orang menyebabkan nelangsa yang berkepanjangan dan rindu tak berkesudahan. Yah, cintaku ke Indonesia itu cinta yang minimalis tapi realistis. Datangnya memang dari perut, tapi jejaknya tertinggal di hati”

“Kek nasi padang dong?”

“Iya, bagi kamu nasi padang, Bagiku tetap Indomie. Orang lain pun bisa menggantinya jadi nasionalisme angkringan, nasionalisme papeda, nasionalisme ayam betutu, apapun. Beragam kan? dan nggak template. Indonesia itu bukan negara paling keren, bukan negara dengan kadar keramahan dan kedewasaan tertinggi. Wong nonton bola aja suporternya masih pada ribut. Dari 10 pria di Indonesia mungkin yang ganteng banget gak lebih dari 30%. Bukan angka yang memanjakan matamu, tapi anugerah bagiku karena cewek-cewek cantik gak punya banyak pilihan. Tapi Indondesia itu negeri tempatku dilahirkan. Indonesia itu rumah ku, tempat aku pulang. Mungkin aku bisa memilih mau beragama apa, tapi tidak dengan kewarganegaraan. Ini tanah airku Sash. Aku mencintai negeri ini dengan sederhana. Sangat sederhana malah, bahkan nasionalisme ku sifatnya praktis saja. Tapi yang pasti, aku nggak pernah ngikutin template. Negeri ini terlalu sayang untuk di templatekan!”

Di batas hari itu, saya mengangguk mengiyakan 100% kata-katanya. Saya bersyukur bisa mendapat pencerahan dari sosok seoptimis dia yang mencintai negaranya dengan sangat jujur. Saya berharap akan ada banyak orang yang memiliki pemikiran yang sama dan mau berjuang untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik. Saya jadi ingat, saat tujuhbelasan kemarin saya memutar lagunya coklat yang ‘Bendera’, tiba-tiba dia muncul dan berujar,

“Lagu ini terlalu romantis, Sash. Buatku lagu paling keren buat nggambarin Indonesia tuh ‘Garuda di Dadaku’. Tak merdu, tak romantis, amburadul, tapi selalu membuat jantung berdebar semangat.”

Ah, kamu memang unik dan benar-benar tidak template.

ps: ini tulisan 5 tahun lalu dan saya publish ulang di blog ini sebagai pengingat.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

3 Comments

  1. indonesia salah satu cips sususan pasel galaksi antariksa yang unik dan menarik… cerita masa lalunya kompleks… hingga kadang kita bingung menaruh cinta ke mana hehe… merdeka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *