Di Balik Selimut Kabut Puncak Gede, Nglanggeran

Halimun bergerak demikian cepat. Menyergap kami dalam hening. Tak ada waktu untuk mengelak. Dalam hitungan detik, Puncak Gede telah terkurung selimut kabut yang mencipta gigil. Gunung batu tempat kami duduk terasa semakin dingin dan basah. Aroma hujan di pagi hari menguar dari kejauhan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah warna putih.  Bersih. Sunyi. Kosong…

sk 6
Di balik halimun

“Sudah sampai mana?” bunyi pesan pendek yang muncul di layar ponsel butut saya. Seolah ada nada bosan yang larut bersama pesan yang sudah dikirim berulang-ulang. “Sudah di jalan,” jawab saya. Ya, kendaraan kami memang sudah melaju di jalan. Tapi bukan Jalan Wonosari seperti yang diharapkan si pengirim pesan, melainkan masih di jalanan Kota Magelang yang berjarak sekitar 70 km dari meeting point.

Mobil yang kami kendarai melaju kencang, membelah jalan Jogja Magelang yang dingin dan basah serta lengang. Sisa-sia air yang tergenang di jalanan menciptakan warna-warni indah saat tertimpa cahaya lampu. Sesaat saya terjebak dalam melankolia dan romantisme sederhana.

Setelah mengambil beberapa barang yang ada di Jogja dan menjemput beberapa orang kawan yang turut bergabung, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Gunungkidul. Saya lirik jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Fiuh, semoga dua kawan yang sudah menanti dari tadi tak mati bosan terkubur sepi.

——–

Gunung Api Purba Nglanggeran. Begitu nama resmi yang tertera di papan petunjuk arah. Terletak sekitar 25 km dari pusat kota Jogja, atau sekitar 30 hingga 45 menit perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Jangan bayangkan sebuah gunung berhutan lebat dengan tinggi ribuan meter di atas permukaan laut. Gunung Nglanggeran hanyalah gugusan bukit batu raksasa yang dulunya merupakan puncak sebuah gunung api.

Tinggi Gunung Nglanggeran hanya kisaran 700 mdpl. Namun panorama yang disuguhkan tempat ini cukup memanjakan mata. Rutenya juga lumayan asyik. Mulai dari anak tangga yang sudah disemen, jalan tanah, lorong sempit menanjak di antara bukit batu besar, hingga mendaki tebing batu untuk mencicipi puncak. Tak jauh dari gunung ini juga terdapat Embung Nglanggeran yang tak kalah cantik.

Seperti Gie yang selalu memilih Mandalawangi untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk Jakarta, saya pun kerap menjadikan Nglanggeran sebagai tempat persembunyian dan pelarian dari segala kebosanan yang mengejar. Tak hanya itu, saya dan Ika Maria juga sama-sama pernah menjadikan Nglanggeran sebagai tempat perayaan pergantian usia.

Lebih dari hitungan jari saya mengunjungi tempat ini. Mendaki siang hari, jelang senja, tengah malam, hingga dini hari. Banyak kisah yang terangkai di sini. Bahkan bagi Komunitas Canting, Gunung Nglanggeran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang komunitas. Di tempat ini kami pernah mengadakan acara buka bersama sembari camping ceria, merayakan ulang tahun ke 2, hingga menanam beberapa pohon yang kini semakin tinggi.

——-

Dulu, tatkala pimpinan saya di pabrik kata-kata menugaskan untuk meliput tempat-tempat wisata di Yogyakarta yang belum begitu populer, saya langsung memasukkan Gunung Nglanggeran dalam daftar. Itu pula yang terjadi kala sahabat saya Mas Gugun7 meminta pendapat soal 7 tempat asyik di Jogja. Salah satu jawaban saya adalah Nglanggeran. Jawaban itulah yang menjadi alasan kami untuk berada di basecamp Nglanggeran malam ini.

Tepat pukul 11 malam, kami berdelapan mulai mendaki gunung api purba ini. Yula sebagai leader, saya di belakangnya, Mbak Ade, Mas Heru, dua teman Mas Heru, Paman Dori, dan yang terakhir Mas Gugun7. Meski hanya menginap semalam, bawaan kami lumayan banyak. Sebab selain membawa perlengkapan camping kami juga membawa perlengkapan syuting Mas Gugun.

Ini bukan kali pertama saya naik Nglanggeran di malam hari sambil memanggul carrier. Tapi ini pertama kalinya saya naik malam hari kala udara basah dengan jalanan yang sangat becek sisa hujan serta menggendong carrier penuh muatan dan tangan menenteng reflektor. Biasanya carrier saya hanya berisi makanan, selimut tebal, serta bantal jadi terasa enteng (iya, kalo naik Nglanggeran saya sering bawa selimut & bantal haha).

Malam ini keril saya berisi 3 sleeping bag, aneka rupa makanan, mantel, pakaian ganti, serta beberapa liter air mineral. Beban yang lumayan berat bagi pundak yang terbiasa manja. Sebenarnya saya ingin berbagi beban. Tapi saat melirik bawaan Yula, Paman Dori, dan Mas Gugun7 yang jauh lebih berat saya mengurungkan niat.

Perjalanan malam ini berlangsung dalam diam. Tidak banyak celotehan seperti saat mendaki bersama anak-anak Canting. Maklum, cuaca sedang tidak bergitu bersahabat. Energi untuk bercanda kami alihkan untuk menjaga langkah supaya tidak terpeleset di jalan yang licin dan becek. Pelan namun pasti, kami terus mengayunkan langkah. Setelah Song Gudel jalanan mulai sedikit sulit. Kami harus berpegangan tali supaya bisa naik bebatuan.

Tak berapa lama, kami akhirnya tiba di Lorong Sumpitan yang menjadi trek primadona Gunung Nglanggeran. Trek ini berupa jalan terjal berundak dengan lebar tak lebih dari satu meter. Kanan kirinya berupa tebing batu yang tingggi. Di salah satu titik terdapat batu besar yang terjepit di antara celah bebatuan. Kalau sudah nonton film 127 hours, konon mirip dengan setting tempat Aron Ralston terjepit batu.

Saat naik dengan kawan-kawan yang bertubuh tambun, biasanya saya akan mengejek mereka “Awas, badanmu nyangkut!”. Ya, karena bagi mereka yang punya badan besar trek ini tidak mengenakkan untuk dilalui. Malam itu Yula memutuskan untuk menghindari Lorong Sumpitan dan mendaki tebing batu sebelah kiri. Dalam kondisi biasa (masih terang, tidak hujan, dan tidak membawa beban), saya pernah lewat tebing itu. Tapi kali ini tidak.

Saya sempat mengkawatirkan Yula yang mulai merangkak menaiki tebing batu. Batu yang licin dan beban berat di punggung bukan perpaduan yang bagus. Namun rupanya kemampuan dia tak perlu diragukan. Dengan terampil dia bisa naik ke atas dan memberi penerangan dari atas untuk kami yang mulai memasuki Lorong Sumpitan.

Sebagai orang pertama gerak saya cukup lamban. Carrier yang tinggi dan besar lumayan merepotkan, sebab sempat membuat tersangkut beberapa kali. Belum lagi reflektor yang ada di tangan kiri, membuat tangan saya tidak bisa meraih kayu yang menjadi anak tangga. Tiba-tiba saya ingat Ika Maria. 2 tahun lalu, dia pernah mendaki Lorong Sumpitan dengan kondisi tangan kanan digips seusai tabrakan. Dan dia bisa sampai di atas dengan cengar cengir. Ika yang sakit saja bisa masak saya tidak? Hup, hup, hup, Dengan mengandalkan satu tangan untuk berpegangan, saya pun akhirnya bisa melewati lorong itu. Fiuuuh.

Satu persatu kawan akhirnya sampai di atas. Setelah sebentar menghela napas, kami melanjutkan langkah. Rupanya trek asoy lainnya menyambut. Jalan tanah naik yang kini berubah licin dan berlumpur harus kami lewati. Kami harus berpegangan pada tali supaya tidak tergelincir. Huh! Sepertinya malam ini Nglanggeran benar-benar tampil dalam wujud yang tidak saya kenal. Jika biasanya bisa naik sambil haha hihi, kali ini cukup menguras peluh. Untung saja saya belum mengucapkan keluh.

Salah satu hal yang paling saya sukai dari naik Nglanggeran adalah bisa melihat kerlip lampu kota Jogja dari kejauhan dan bintang yang bertaburan. Malam itu jelas tak ada bintang, tapi masih ada lampu kota. Sempat berhenti di beberapa kali di gardu pandang yang dibangun pengelola, kami pun melanjutkan perjalanan. Tubuh sudah terasa lelah, kami ingin segera merebah.

Jelang pukul 12 malam, kami sudah hampir mencapai camping ground di dekat Puncak Gede. Bersamaan dengan itu rinai hujan pun mulai turun. Kami mempercepat langkah. Namun rupanya masih ada 1 trek berupa tanjakan yang sangat licin. Disitu tidak ada tali untuk berpegangan. Yula yang menjadi leader sudah mencoba berkali-kali untuk melewati jalan itu namun selalu gagal. Bahkan di percobaannya yang terakhir dia tergelincir jatuh.

Sial. Kata saya dalam hati. Ini rintik hujan semakin besar dan kami masih tertahan disini. Akhirnya saya pun mencoba untuk naik. Sandal gunung yang saya pakai sudah tidak kuat mencengkeram tanah basah. Berkali-kali saya coba, berkali-kali melorot. Akhirnya saya memilih untuk berpegangan pada batu yang sudah sangat licin. Reflektor saya taruh di batu tersebut. Pun dengan carrier yang memberati. Mas Gugun membuatkan pijakan dari sepatunya. Hup. Akhirnya saya pun bisa naik dan menarik kawan-kawan lain.

Lepas pukul 12 malam kami tiba di camping ground dan langsung mendirikan 3 tenda. Rencana camping ceria sambil masak-masak pun buyar sudah. Kami memilih untuk bergegas masuk ke tenda dan bergelung di balik sleeping bag sambil mendengarkan suara hujan yang mulai membesar. Sesaat sebelum lelap saya melantunkan doa “semoga besok cuaca cerah dan bisa melihat sunrise”.

—–

Dering alarm membangunkan saya yang baru saja lelap. Rupanya sudah pukul 05.00. Dari dalam tenda saya pun berteriak memanggil Mas Gugun7 yang masih tidur bersama Paman Dori di tenda sebelah. Kemarin dia bilang ingin bangun pagi untuk mengambil foto timelapse sunrise. Sekitar pukul 05.30 saya memaksa diri untuk keluar dari sleeping bag yang nyaman dan bergegas menuju Puncak Gede.

Bersama Mbak Ade, Mas Heru, dan dua teman Mas Heru kami berjalan menuju puncak, termasuk naik anak tangga kayu yang sangat licin. Sesampainya di atas saya langsung menggelar matras dan berbaring lagi. Sepertinya tak ada mentari pagi ini. Meski Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sumbing terlihat dengan jelas, namun sisi timur tempat matahari terbit dipenuhi kabut dan awan.

Ini sudah kali ke banyak saya menikmati sunrise di Nglanggeran. Namun belum satu pun saya berhasil mendapatkan rona pagi yang sempurna. Selalu tak ada mentari. Termasuk pagi ini. Sambil menunggu Mas Gugun dan Mbak Ade bekerja (iya, tujuan mereka ke Nglanggeran memang untuk syuting Traveloegue), saya merebahkan badan di atas matras.

Tiba-tiba saya ingat Soe Hok Gie. Dulu dia kerap meninggalkan Jakarta yang ramai lantas menyusuri hutan-hutan basah Gede Pangrango dan menghabiskan waktu di pojokan Mandalawangi. Sambil ngemil coklat dan menatap hamparan edelweis dia akan menulis puisi, surat cinta, maupun catatan harian yang mengungkapkan kegelisahannya. Mungkin Mandalawangi adalah tempat yang benar-benar mengerti akan dirinya. Tempat yang sunyi, sesunyi jalan hidup yang Gie pilih.

Ketika sedang asyik berbaring, ngemil Chacha peanut, dan membayangkan Gie, mendadak ada lapisan putih yang bergerak sangat cepat. Dalam hitungan detik lapisan putih serupa asap pekat telah melingkupi Puncak Nglanggeran, membuat jarak pandang terbatas dan menciptakan gigil.

Sesaat menciptakan kepanikan dan takut. Namun sesaat, kemudian berubah takjub. Mbak Ade sempat berteriak senang “Aku baru pertama merasakan ini,” katanya. Sedangkan Mas gugun7 berujar bahwa ini seperti Negeri Sun Gokong. Saya tersenyum simpul. Ini kali kedua saya berjumpa dengannya, Selimut Kabut Puncak Gede.

sk 3
Kabut di kejauhan, serupa kue lapis
sk 4
Puncak Merapi terlihat dari sini
sk 2
Halimun bergulung dengan cepat
sk 5
Mereka bekerja. Saya? Tidur saja.
sk 1
Hai!

Ah, lagi-lagi saya teringat Gie. Gie, apakah kau pernah bertemu dengan selimut kabut seperti ini? Jika sudah bagaimana perasaanmu kala itu? Apakah kau merasa seperti yang kurasakan? Sepi, dingin, sunyi, gigil, kosong. Ya, kosong. Mendadak saya merasa begitu kosong dan tenang. Ketakutan itu telah berubah menjadi kekuatan.

Nglanggeran, 15-16 Januari 2014

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

22 Comments

  1. Karena dengan kembali kosong kita bisa bersatu, berselimut kembali dengan harmoni itu. I love this post…

    …”Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi. Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua”… – Mandalawangi-Pangrango, Soe Hok-Gie

  2. Mbaaaaaa jumat ini harusnya aku ke situu mumpung dpt liburr. Tp gak jd karna yg ngajakin kakinya keseleo parah.
    Thanks sharingnya lumayan banget dpt gambaran dan jd tmbah pengen. Hehehwhw

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *