Gua Jomblang, Hattrick!

Beberapa waktu lalu seorang kawan berbagi foto dirinya yang usai melakukan perawatan jelang nikah di beranda facebook. Kawan lain membagikan undangan pernikahannya di group WA. Ada pula kawan yang tengah dag dig dug menanti hari bahagianya. Semuanya memiliki satu kesamaan, mereka akan menikah bulan Mei tahun ini.

Saya tak tahu kenapa banyak kawan yang memilih menikah di bulan Mei ini, mungkin karena ada long weekend ya. Dulu saya juga memilih untuk menikah di bulan Mei. Jadi saat ada kerabat atau kawan bertanya “Kamu nikah kapan?” saya akan menjawab “Mei” tanpa ada embel-embel “Maybe yes, maybe no” (halah itu mah iklan jaman dulu hehehe). Alasan saya sederhana, yakni mencari long weekend supaya kawan-kawan dari luar kota bisa datang.

Ngomongin soal persiapan pernikahan saya jadi ingat kisah 2 tahun lalu. Berbeda dengan calon pengantin lain yang sibuk merawat diri berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelumnya supaya terlihat stunning di hari H, saya sama sekali tidak melakukan hal tersebut. Eh saya sempat spa sekali ding, itu pun gara-gara diajak sahabat saya dengan iming-iming dapat harga murah kalau perawatan berdua. Selain itu saya tidak melakukan treatment khusus.

caving jomblang
Jomblang, saya datang! (pic by Mas Dhave)

Sebulan jelang hari H, disaat calon pengantin harusnya duduk manis di rumah atau bahkan malah dipingit, saya justru masih keluyuran masuk ke Gua Jomblang dan camping di Gunung Nglanggeran. Bahkan perjalanan ini terbilang nekat dan sedikit absurd.

***

Jadi ceritanya kawan saya, Mas Dhave, minta dianterin untuk turun ke Jomblang karena dia belum pernah caving di sana. Saya yang dasarnya pecicilan langsung saja mengiyakan, lagipula perjalanan ini akan membuat pengalaman caving di Gua Jomblang saya menjadi hatrick, alias 3 kali.

Akhirnya pada akhir pekan Mas Dhave, Mas Oecil, dan Bang Edi menjemput saya di kos-kosan. Saya pun mengajak kawan saya, Bang Bend, untuk bergabung dalam perjalanan ini karena dia ingin mengambil gambar ray of light Jomblang yang tersohor itu. Sejak awal saya sudah bilang ke Mas Dhave bahwa saya tidak membawa perlengkapan apa pun, pokoknya saya pasrah penuh. Dan Mas Dhave bilang “semua beres, bawa badan saja”.

Sesampainya di bibir Gua Jomblang hari sudah sangat siang, ray of light jelas sudah pecah. Tapi itu tak mengurangi semangat Mas Dhave & Mas Oecil untuk segera turun ke bawah. Bersama-sama kami pun lantas memindahkan peralatan dari mobil ke dekat jalur VIP yang akan kami turuni. Begitu matras digelar, satu persatu peralatan pun mulai ditata. Webbing, sit harnest, tali kernmantle, carabinner, jummar, helm, dan masih banyak lagi printilan-printilannya.

Hari ini rencananya kami berempat akan turun, sedangkan Bang Edi jaga peralatan di atas. Namun sesaat setelah mengecek jalur dan melihat kondisi, Bang Bend memutuskan untuk tidak jadi turun sehingga hanya kami bertiga yang akan caving dengan saya sebagai satu-satunya yang pernah menyusuri Jomblang dengan pengalaman paling minim. Fiuh, baiklah, 3 orang sudah menjadi batas minimal untuk melakukan penelusuran.

tiga manusia absurd (pic by Bang Bend)
gua jomblang
menunggu giliran turun (pic by Bang Bend)

Mas Oecil menjadi orang pertama yang turun sekaligus membuat lintasan, saya yang kedua, dan nanti Mas Dhave yang terakhir.  Begitu Mas Oecil sudah sampai bawah, kini tiba giliran saya untuk turun.Tapi kok saat mau turun saya merasa ada yang aneh ya, rupanya saya baru tahu bahwa kala itu saya tidak memakai auto stop, sebuah alat yang bisa digunakan untuk berhenti otomatis. Ealaaah, berarti ini ceritanya manual nih? Baiklah. Dengan hati-hati saya pun meluncur turun. Deg-degan banget sih, mana tali kernmantle-nya ukurannya kecil dan tidak seperti yang pernah saya gunakan. Akhirnya saya pun tiba di bawah dengan tangan pegel-pegel.

Tak lama kemudian Mas Dhave pun meluncur turun. Dasarnya fotografer, sebelum mulai menyusuri lorong menuju Grubug mereka sibuk mengambil gambar hutan purba. Setelah puas memotret, kami pun memulai penelusuran.

“Mbak, kamu yang depan jadi penunjuk jalan ya!” pinta Mas Dhave.

Saya hanya nyengir dan mengangguk pelan. Kami pun melangkah menyusuri setapak berlumpur. Maklum, kala itu hujan masih sering turun sehingga air terus menetes dari atap gua. Bahkan meski cuaca di atas cerah pun di dalam gua terasa seperti gerimis akibat tetesan air.

Saat hendak memasuki chamber besar saya sedikit dag dig dug, nyali saya menciut. Suasana di bawah terlihat sangat mistis akibat kabut yang memenuhi chamber. Rasanya saya ingin berbalik arah dan meminta Mas Dhave untuk berjalan di depan. Tapi sudah kepalang tanggung, meski takut saya tetap melangkah.

kabut jomblang
misty chamber (pic by Mas Dhave)

“Mas, aku nggak ada headlamp nih. Mana senternya?” teriak saya kepada Mas Dhave yang masih asyik memotret. Kabut seperti ini hanya bisa dilawan dengan cahaya. Selain itu kami akan memasuki relung yang gelap jadi satu-satunya cahaya penerang hanyalah dari senter.

“Lho, aku nggak bawa. Bentar aku tanya Oecil”, jawabnya sembari berteriak. Namun tak lama kemudian dia berujar bahwa Mas Oecil rupanya tidak memegang senter. Selidik punya selidik ternyata headlamp dan senter yang kami persiapkan tertinggal di atas. WHAAAATTTT? Seriuuuuuus? Jadi ini ceritanya nggak ada satupun dari kami bertiga yang membawa headlamp maupun senter?

Berhubung sudah tidak memungkinkan untuk naik lagi ke atas dan mengambil senter, akhirnya kami memutuskan untuk terus jalan tanpa penerangan. Edan, geblek, pekok! Saya terus merutuk dalam hati sambil sesekali terkikik geli karena kebodohan yang kami lakukan. Kala itu saya benar-benar merasa jadi si buta di gua hantu. Semua terlihat gelap dan samar. Berbeda dengan suara-suara di sekitar kami yang terdengar jelas. Harmoni piroklasi, deru aliran Sungai Kalisuci, kepak sayap kelelawar. Ahhh, ini yang saya cintai dari gua. Berada di tempat ini membuat saya bisa mengosongkan diri. Disini saya selalu bisa menyadari bahwa di hadapan Sang Pencipta dan semesta ini saya bukanlah siapa-siapa.

gua jomblang
melangkah dalam gelap

Setelah berjalan tercepuk-cepuk sambil meraba-raba selama beberapa waktu, kami pun tiba di Luweng Grubug yang menjadi sarang si cantik ray of light alias cahaya surga. Seperti dugaan saya sebelumnya, berhubung kami datang terlalu siang, cahaya yang turun dari atas sudah menyebar sehingga tidak ada lagi pilar cahaya yang menyilaukan. Yang tersisa hanyalah cahaya putih memenuhi ruangan laksana kabut tipis. Tak sampai 20 menit berada di Luweng Grubug, kami memutuskan untuk kembali.

Kata Mas Dhave sih yang penting dia sudah tiba di Jomblang – Grubug dan tahu medannya seperti apa. Kelak dia akan kembali lagi ke tempat ini guna mengejar cahaya lagi, tentu saja datang pada waktu yang tepat.

Mentari sudah semakin condong ke arah barat saat kami tiba kembali di hutan purba Gua Jomblang. Setelah berkutat di perut bumi, perut saya mulai terasa lapar dan juga haus. Sayangnya lagi-lagi kami lupa membawa turun logistik yang sudah dibeli di Wonosari. Yungalaaaaah! Nasib, nasib. Ini benar-benar caving terabsurd dan ternekat yang pernah saya lakukan. Tapi cerita tak hanya berhenti sampai disini. Kami masih harus berjuang untuk bergelantungan di atas tali guna tiba di atas dan melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Nglanggeran.

Jika saat turun tadi Mas Oecil menjadi pembuka jalan, kini dia gantian menjadi cleaner.  Mas Dhave menjadi orang yang pertama naik. Berhubung dia memang jagu dalam urusan panjat memanjat, dia pun bisa tiba di atas dalam waktu singkat. Kini giliran saya. Dengan sisa tenaga saya pun mulai mendorong jummar, menyentakkan kaki di footlop (ikatan tali yang dijadikan pijakan kaki), dan mengangkat tubuh. Satu hentakan berhasil, dua berhasil, tiga berhasil, empat berhasil. Mulai gerakan ke lima energi saya sepertinya sudah habis. Posisi saya saat itu tergantung di tali, puncak masih sangat jauh. Namun rasanya tangan dan kaki sudah tidak kuat bergerak lagi.

“Berhenti saja dulu mbak,” kata Mas Oecil sambil tersenyum melihat saya yang kepayahan.

Saya pun berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Tak lama kemudian saya berusaha sekuat tenaga untuk bergerak lagi. Meski pelan akhirnya saya tiba di pertengahan. Nah, daerah ini adalah daerah yang saya takutkan. Disini kernmantle menyentuh dinding tebing dan terjadi friksi. Biasanya teman-teman saya akan menaruh matras di bagian tersebut untuk meminimalisir terjadinya friksi antara tali dan batuan. Tapi kala itu kami tidak melakukannya. Menarik jummar di bagian dinding tersebut sangatlah sulit. Saya seolah-olah tertahan dan tidak bisa bergerak. Akibat sudah terlalu lelah, saya pun berteriak minta ditarik.

“Masss, rescue mas. Aku sudah nggak kuat lagi. Tolong doooong! Tariiik, tariiik!” teriak saya.

Eh bukannya nolongin Mas Dhave malah terus menggoda dan tertawa. “Ayolah dikit lagi, mosok minta ditarik,” katanya. Haish, dasaaar, pengen saya jitak tuh orang. Nggak tau apa kalo saya cuapek bingit dan lapar. Setelah melalui perjuangan dan drama akhirnya saya pun tiba di atas juga. Fiuuuuh! Maturnuwun Gustiiiii!

After Caving Gua Jomblang
Berusaha sumringah walau lelah (pic by Bang Bend)

Gara-gara caving absurd ini, kaki saya jadi biru-biru akibat terkena benturan. Saat cerita ke seorang kawan, saya bukannya mendapat simpati malah diomeli.

“Kamu tu calon manten kok masih pecicilan. Bukannya keluar masuk salon buat perawatan malah keluar masuk gua, untung kemarin nggak kenapa-kenapa!” katanya. Ahahaha, la saya kan calon manten rock en roll mbak! Betewe hingga hari H pernikahan, masih ada sedikit biru-biru di kaki lho hehehe.

Ini cerita seru saya jelang pernikahan. Teman-teman ada cerita seru juga tak? Kalau ada bagi cerita dong!

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

18 Comments

  1. Waah entah berapa puluh tahun lalu terakhir kali saya menyusuri gua, dan ini absurd beneran gak bawa lampu senter atau penerangan lain. Ah kalo ngomongin ngapain aja jelang hari H menikah, saya malah ngurus tenda karena kurang gegara tamunya nambah, gak romantis banget nih, hihiii

    Salam kenal dari Semarang 🙂

  2. Akak Caver? sudah beberapa posting aku membaca tentang Caving dirumah akak ini 😀
    Jomblang!! senior aku juga salah satu lulusan Hikespi hasil didikan Mas Cahyo Alkantana, dan aku pernah menikmati cerita tentang Surganya Jomblang dari dia.
    menarik dan fantastic.
    tapi aku tidak begitu tertarik untuk tualang di gelapnya perut bumi heheheh

    • Aha tak perlulah labeling caver. Saya suka menikmati keajaiban Pencipta baik di dasar bumi maupun di gunung tinggi. Wah berarti dia alumni KDKL ya? Jomblang memang juara. Selalu berhasil membuat jatuh hati. Kalau saya justru suka momen berada di perut bumi yang gelap. Menenteramkan 🙂

  3. Wahahaha, sebelum ke pelaminan malah ngalas dulu 😀
    Tapi seru ih, by the way, adrenalinnya lebih terpacu saat hari pernikahan apa pas nurunin gua Jomblang Mbak? 😀

    Kepengen saya ke Jomblang 🙂

    • Ahahaha, ini judulnya calon manten pecicilan.
      Kalau caving adrenalin yang terpacu, kalau nikahan lebih ke deg-degan pas pemberkatan dan janji nikah hihihi.

      Ayok ngejomblang, mas 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *