Hutan Mangrove Kulonprogo, 2 Tahun Kemudian

Hari mulai menua, namun mentari masih meraja. Sinarnya menerobos ke segala penjuru dan menciptakan sensasi pedih di kulit yang terbuka. Tapi kami tak peduli. Di tengah guyuran sinar mentari yang cukup terik kami merendam kaki di anak Sungai Bogowonto sembari mengikat tajuk mangrove yang sudah ditanam ke potongan bambu supaya tidak rebah maupun hanyut terbawa arus.

“Sebelum menanam pastikan polibagnya diambil lebih dulu. Setelah itu plastik jangan dibuang di sungai tapi ditaruh di atas bambu yang menjadi penyangga pohon,” jelas Mas Rio yang mengomandani saya dan kawan-kawan. Kami pun mengangguk mengiyakan dan mengikuti apa yang dia pesankan.

“Selama ini banyak yang menanam asal tanam. Kalau plastik pembungkus bibit nggak diambil, nanti akan menghambat pertumbuhan akar bakau,” kata Mas Rio melanjutkan. O besar pun keluar dari bibir saya dan kerumunan.

****

Sejak Februari 2014 sebenarnya saya sudah kerap bertanya kepada Mas Rio yang anak Biologi dan juga pegiat Kanopi Jogja tentang pohon apa saja yang sebaiknya ditanam di kawasan Kalisuci, Gunungkidul. Saat itu saya dan kawan-kawan komunitas berencana ingin mengadakan bakti sosial. Berhubung saya awam soal jenis-jenis pohon maka saya ingin mendapatkan informasi dari orang yang paham. Bukankah akan sangat menggelikan jika pohon yang ditanam ternyata tidak sesuai dengan kondisi tanah yang dijadikan lokasi penanaman?

Baca: Weekend Asyik Cavetubing Kalisuci Gunungkidul

Untungnya saya bertanya kepada orang yang benar. Tadinya saya berniat menanam pohon trembesi (yeah, saya memang sedikit terobsesi dengan pohon yang gagah ini), namun rupanya pohon itu tidak cocok ditanam di daerah karst. “Saat musim kemarau itu trembesi bukannya menyimpan air, namun justru menyedot banyak air dari lingkungan sekitarnya,” begitu jawaban yang diberikan Mas Rio. Lagi-lagi O besar keluar dari mulut saya. Satu pengetahuan baru kembali diperoleh.

Namun manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. Meski rencana penanaman pohon sudah disusun matang, abu vulkanik Gunung Kelud yang menyebar hingga Jogja dan menjadikan kota ini abu-abu membatalkan semua rencana. Berhari-hari abu pekat menyelimuti Jogja dan menjadikan suasana begitu sendu.

Beberapa bulan sesudahnya, tepatnya akhir Mei 2014, gantian Mas Rio yang mengajak saya dan kawan-kawan untuk menanam bakau di Kulonprogo, tepatnya di daerah Pasir Mendit. Katanya kawasan ini adalah site mangrove alami di Jogja yang masih tersisa dan akan terus dikembangkan. Tanpa banyak pertanyaan saya pun mengiyakan. Aktivitas menanam pohon di bantaran sungai yang tak jauh dari kawasan pesisir itu berlangsung seru dan menyenangkan.

****

2 tahun kemudian saya mendengar bahwa ada banyak obyek wisata baru di Jogja bermunculan. Salah satunya yang ngehits dan cukup viral di social media adalah keberadaan hutan mangrove di Kulonprogo. Tentu saja saya penasaran dan bertanya-tanya “Apakah hutan mangrove yang ada di foto itu masih satu kawasan dengan tempat kami menanam?” Soalnya di foto terlihat berbeda.

Baca: 7 Tempat Wisata Baru di Jogja yang Seru Abis

hutan-mangrove-kulonprogo-1
Mba, besok lagi kalao piknik kesini pake baju yang warnanya cetar ya biar kelihatan gonjreng di foto.
Spot ini yang viral di facebook. Aslinya nggak seindah di foto. Trust me!

Akhirnya pada satu akhir pekan yang cerah saya pun meluncur ke Kulonprogo bersama Mas Chan, bRe, Bang Bend, dan Daru. Bermodalkan ingatan yang samar saya sok-sokan jadi penunjuk jalan. Dan endingnya sudah bisa ketebak, saya lupa jalan. Kami rupanya belok terlalu cepat hingga tiba di Pantai Trisik, padahal hutan mangrove masih beberapa kilo lagi, tepatnya di perbatasan DIY – Jawa Tengah.

Setelah menemukan jalan yang benar lagi-lagi kami dibuat bingung. Kawasan Mangrove Wanatirta yang saya cari seolah-olah menyembunyikan diri. Yang terlihat dengan jelas adalah kawasan mangrove yang dikenal dengan nama Jembatan Siapi-api. Daripada bingung muter-muter mencari Wanatirta yang belum jelas keberadaannya, kami pun memilih untuk mampir sejenak kesini. Setelah membayar retribusi sebesar Rp 4.000 kami pun segera masuk.

Seperti biasa, saat berkunjung ke tempat-tempat yang ngehits gara-gara socmed saya dan bang Bend kerap nyinyir “gini doang nih?”. Maklum saya kan anggota kelompencapir alias kelompok pencela dan pencibir ahahahaha. Jangan bayangkan akan menemukan hutan mangrove yang lebat dan rapat lengkap dengan satwa endemiknya. Yang saya temui di Jembatan Siapi-api ini hanya gerumbulan pohon bakau di tepi Sungai Bogowonto dengan area yang tidak terlalu luas.

Yang membuat kawasan ini menjadi ngehits bukanlah hutannya, melainkan kepiawaian pengelola untuk membangun berbagai sarana pendukung selfie yang lumayan asyique. Di tempat ini ada jembatan bambu yang panjang, ayunan, gazebo bambu, titian bambu, hingga bunga-bunga berbentuk love yang dipadai kawula muda #tsaaah. Jadi wajar saja kalau akhirnya tempat ini ngehits.

Buat anak muda yang kekinian dan gemar upload foto di instagram, tempat ini lumayan instagramable. Tapi buat emak-emak beranak 1 yang lagi rusuh-rusuhnya macam saya kayaknya tempat ini kurang cocok. bRe sempat takut dan teriak-teriak saat diajak jalan lewat titian bambu yang ada di tepi sungai. Saat jalan di antara pokok-pokok bakau yang tidak terlalu rapat pun dia sempat ogah dan minta keluar. Untungnya ada satu spot yang cukup nyaman untuk dia duduk dan makan bekal yang saya bawa. Begitu dapat makanan langsung anteng dan emaknya asyique main ayunan serta pecicilan sana sini. Maapkan mamak, nak! Ini tuntutan profesi #halah

Begitupula yang terjadi saat saya hendak naik perahu menyusuri Sungai Bogowonto hingga ke muara, bocah lelaki saya sudah kelonjotan nggak mau. Yawes sebagai mamak yang baik akhirnya saya ngalah nggak jadi naik kapal. Daripada di tengah sungai dia minta turun? Kan emaknya yang bingung. Mana emaknya nggak bisa berenang pulak(eh kok curhat).

Ngapain lo liat-liat?

Sebagai gantinya kami jalan menyeberangi Jembatan Siapi-api yang ngehits itu sambil poto-poto lalu berjalan lurus menlewati deretan tambak udang dan berakhir di Pantai Pasir Kadilangu. Pantai ini satu garis dengan Pantai Trisik dan Glagah hingga deretan pantai-pantai Gunungkidul. Namun bedanya pantai di kawasan Bantul dan Kulonprogo pasirnya berwarna hitam, beda dengan Pantai Wediombo, Pantai Nglambor, atau Pantai Pok Tunggal di Gunungkidul yang berpasir putih.

Dan ini adalah pertama kalinya bRe main ke pantai, yeiy. Yang tadinya uring-uringan sekarang teriak-teriak girang saat kakinya menyentuh butiran pasir halus dan kena buih ombak. Bahkan dia ogah diajak pulang.

Baca: Salam Kenal, Laut!

Sekitar pukul 11 siang kami memutuskan untuk menyudahi jalan-jalan di pantai dan kembali lagi ke parkiran. Niatnya saya ingin mencari Mbah Wito selaku ketua kelompok tani Wanatirta guna wawancara. Sayangnya beliau sedang bepergian. Yasudah mungkin memang belum berjodoh.

Betewe kalau teman-teman semua ingin main ke Hutan Mangrove Kulonprogo ada beberapa hal yang harus kalian ketahui. Yang foto-fotonya banyak beredar di instagram (termasuk gazebo di antara tajuk mangrove) adalah jembatan Siapi-api. Kalau niat kalian ingin foto-foto cantik, maka datanglah ke tempat ini. Disarankan si saat pagi, karena siang sedikit suasananya ruame banget bahkan harus antri jika ingin foto di spot-spot tertentu.

Sedangkan bagi kalian yang ingin melihat hutan bakau yang lumayan rapat dan juga belajar tentang ekosistem mangrove bisa datang ke Hutan Mangrove Wanatirta yang berjarak sekitar 300 meter dari Jembatan Siapi-api. Fasilitas Wanatirta memang tidak terlalu mentereng, sebab tujuan utama mereka bukanlah wisata melainkan konservasi kawasan pesisir. Jika kalian pengen ikutan nanam bakau juga bisa kontak pengelolanya.

Ini gayanya udah kaya keluarga seleb ke-gap paparazi belum? ahahaha

Nah, kalau kawan-kawan sendiri tertarik sama yang mana nih? jembatan Siapi-api apa Wanatirta?

Ps: Aslinya ada banyak spot yang instagramable, tapi saya nggak foto-foto disitu, ogah ahahaha.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

8 Comments

  1. Mengembangkan hutan mangrove sebagai daerah wisata emang ide keren yang sekarang mulai menular di banyak tempat. Keren sih jadi orang mulai belajar memahami manfaat bakau btw kesel juga masih banyak yang suka hura-huranya dan nyampah di tempat2 kece begitu

    • Berharapnya sih pihak pengelola juga memberikan edukasi kepada masyarakat yang datang bukan cuma ngejar materi semata. Harusnya ekowisata seperti ini melibatkan banyak pihak dalam pengembangannya.

  2. kawasan hutan mangrove emnag lagi kekinian banget n ide keren untuk menadi salah satu objek wisata,,bbuktinya semua bisa ngehiitts,,khusunya daerah saya di lombok,,,banyak para pemuda yg berkunjung dan di jadikan objek untuk foto preweeding,,
    pokoknya cocok banget untuk selfie2…
    di samping bisa melestarikan pohon mangrove juga bisa menambah anggaran pendapatan daerah dengan di tetapkannya tarif untuk masuk ke wisata mangrove tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *