Ngejazz di Suhu 4 Derajat? Ya Cuma Ada di Jazz Atas Awan Dieng

Malam semakin menua dan udara semakin dingin. Kaki saya yang terbalut dua kaos kaki dan sneakers serasa menginjak bongkahan es. Dingin dan kaku. Meski suhu telah berada pada titik 4 derajat C, kerumunan orang tetap memadati panggung Jazz Atas Awan yang terletak tak jauh dari Kompleks Candi Arjuna. Sapuan halimun, kerlip bintang, serta taburan lampion menambah syahdu suasana. Inilah panggung musik yang melebur dengan semesta.

“Jalanan macet total sampai Dieng. Mending putar balik atau lewat Menjer saja”, kata seorang bapak kepada rombongan kami yang terjebak di jalanan menanjak selepas Gardu Pandang Tieng. Ouch, sontak kami bersembilan yang ada di dalam mobil mengeluh serentak. Jam di pergelangan tangan saya sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB, dan jika berjalan sesuai jadwal kami harus main di Jazz Atas Awan pukul 20.15 WIB.

Rupanya magnet Jazz Atas Awan yang digelar dalam rangkaian Dieng Culture Festival begitu kuat. Ribuan orang berbondong-bondong memadatari dataran tinggi Dieng pada Sabtu malam (30/8-14). Selain ingin menyaksikan pagelaran Jazz Atas Awan, rata-rata pengunjung yang datang juga ingin menyaksikan pesta lampion dan kembang api pada malam itu.

Setelah terjebak macet hingga nyaris 1 jam, akhirnya kendaraan kami bisa bergerak meluncur ke Dieng. Namun masalah lagi-lagi muncul. Kami tidak berhasil menemukan tempat parkir yang strategis, padahal kami harud loading beberapa alat. Setelah kasak-kusuk dengan panitia kami pun dibantu untuk berjalan menerobos lautan manusia yang sudah memadati venue. Dalam kondisi yang ramai, gelap, dan membawa alat musik, kami pun berjalan tercepuk-cepuk mengikuti langkah cepat panitia.

Saat itu saya pikir kami akan dibawa ke ruang transit untuk sekedar say hi pada PIC Jazz Atas Awan atau briefing singkat. Namun dugaan saya salah. Kami langsung di bawa ke samping stage dan dipersilahkan menunggu disitu. Tak ada tempat yang memadai, tak ada alas duduk, tak ada apa pun yang bisa dimamah biak #halah. But its ok. Berhubung sejak awal kawan-kawan SNF niatnya bersenang-senang, ini bukan menjadi masalah yang berarti.

Rundown Jazz Atas Awan yang dikirimkan panitia pada saya rupanya hancur lebur porak poranda. Tak ada satu pun schedule yang tepat. Jika seharusnya kami perform pukul 20.15 WIB, rupanya pukul 19.30 WIB acara baru saja dimulai. Kemudian seorang panitia mendekati dan bilang “Sekawan & Friends nanti main setelah penerbangan lampion ya!”. Kami hanya mengangguk dan sibuk mencari tempat nyaman untuk buang air kecil haha.

Band pertama yang memanaskan panggung Jazz Atas Awan adalah band lokal yang saya lupa apa namanya. Satu-satunya yang saya ingat vokalis band tersebut namanya Rizki. Dia adalah bocah gimbal asli Dieng yang hingga besar kini belum mau dicukur rambutnya. Rizki ini termasuk salah satu incaran favorit fotografer. Wajahnya mudah sekali ditemukan di laman website yang mengupas soal Dieng. Gimbal, tatapannya tajam, dan wajahnya berkarakter. Sebenarnya sih saya pengen ngobrol sama dia, sayang dia keburu kabur. Suaranya juga lumayan lah, dia sempat nyanyi lagunya Padi #ihik.

Selepas band pertama tampil saya sudah tak mempedulikan panggung lagi. Saya lebih memilih untuk wira-wiri mencoba mencari obyek bidikan yang menarik. Sayang kamera saya bermasalah, huh! Menyebalkan.

Terbanglah lampionku
Terbanglah lampionku
Pesta Kembang Api
Pesta Kembang Api

Untunglah kekecewaan segera terobati. Satu persatu lampion yang dinyalakan peserta Dieng Culture Festival mulai berterbangan di langit Dieng. Ini adalah kali pertama saya melihat lampion berterbangan di langit malam. Kereeen. Meski halimun sesekali datang dan menghalangi pandangan, tetap saja tidak bisa mengurangi keindahan malam di tanah para dewa ini.

Belum juga semua lampion usai di terbangkan, semarak kembang api warna-warni menghiasi langit Dieng. Percikan cahaya berbagai warna seolah berlomba menjadi yang tercantik. Pekat pun sesaat menghilang berganti dengan kilat cahaya. Aaaaak, ini keren, super duper keren. Sayang saya sendirian, tidak ada siapa pun yang bisa saya peluk atau genggam tangannya #eh.

6

Band demi band bergantian tampil dari panggung Jazz Atas Awan. Dari yang membawakan “What a Woderfull World” hingga lagu-lagunya JKT 48, semua menampilkan yang terbaik yang mereka punya. Jelang pukul 23.00 WIB, SNF pun bersiap untuk perform. Tadinya jadwal SNF nyaris ditukar dengan Absurdnation, tentu saja saya protes ke panitia. Pokoknya harus sesuai dengan rundown, kami nggak mau ditukar-tukar. Btw tukar menukar dengan Absurdnation ini juga nyaris terjadi tahun kemarin. Capeek deeeh.

Kali ini SNF membuka pertunjukan mereka dengan salah satu lagu favorit saja “Mengejar Matahari”. Di tengah suhu 4 derajat, suara merdu Jalu dan saxophone Raka benar-benar membius. Kerumunan orang yang masih bertahan memadati venue pun sontak turut bernyayi “…selamanya kita, tak akan berhenti mengejar matahari…”

Sekawan & Friends in action
Sekawan & Friends in action

Usai Mengejar Matahari, kawan-kawan SNF memainkan lagu “Berlarilah” yang menjadi single ketiga mereka. Buat saya ini momen sakral #halah hahaha. Ini untuk pertama kalinya saya lihat dan mendengar lagu ini dibawakan secara live. Bilang saya norak, bilang saya lebay, tapi sweaaar saya seneng & bangga banget saat lagu ciptaan saya menggema di ketinggian 2100 m dpl dan didengar banyak orang hahaha.

Meski tidak mengetahui liriknya, tapi banayk orang yang terlihat bergoyang mengikuti irama musik. Enggak ngerti juga sih mereka goyang karena suka atau sekadar untuk mengusir udara dingin hehe. Lagu terakhir yang dibawakan SNF adalah “Senyummu Membuatku Tampak Bodoh”. Musiknya yang easy listening membuat lagu ini enak didengar.

“Gilaaaa, ini perform kita paling ekstrim,” kata Yoel kepada saya. Gimana nggak ekstrim, mereka harus tampil pada pukul 23.00 WIB di tengah suhu 4 derajat. Tanpa menunggu gelaran Jazz Atas Awan usai, kami langsung meninggalkan venue. Sayang, kemacetan yang parah di tempat parkir dan tidak siapnya panitia dalam mengantisipasi hal ini membuat kami harus tertahan 2 jam di gerbang masuk Candi Arjuna guna menunggu mobil yang tak kunjung datang.

Keluar dari venue pukul 23.40 WIB, mobil baru datang dari parkiran pukul 02.00 dini hari. Brrrrr. Jangan tanyakan bagaimana kondisi kami saat itu. Untunglah ada penjual mie instan yang menjadi penyelamat dari terpaan udara dingin dan perut yang kelaparan.

Bagi saya pribadi selaku penonton, terlepas dari kemacetan dan tempat parkir yang parah, pelaksanaan Jazz Atas Awan tahun ini jauh lebih meriah dan lebih baik dari tahun kemarin. Ruang untuk penonton jauh lebih lapang dan nyaman. Hanya saja kurang anglo hihi.

Sedikit sumbang saran bagi panitia, sebaiknya untuk tiap performer ada LO yang mengurus mereka hingga mereka tidak seperti bocah hilang yang datang numpang main. Terus kalau bisa mulainya dibuat ontime supaya tidak selesai terlalu malam. Festival jazz di Jogja selesai dini hari nggak masalah karena suhunya normal, tapi kalau di Dieng selesai dini hari itu benar-benar kasihan performer dan penontonnya. Dingiiiiiin brooo.

So far itu saja sih yang bisa saya bilang. Salut untuk kerja keras panitia. Berharapnya penyelenggaraan Jazz Atas Awan tahun depan bisa jauh lebih baik dan lebih profesional dibanding tahun ini.

Sampai jumpa di Jazz Atas Awan 2015!

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

8 Comments

  1. WoW emejing…
    jd inget lagu,”aku punya emejing kecil / kuberi nama bravo / dia suka menari-nari sambil berlari-lari…” 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *