Mesin Waktu Itu Bernama Mataram Culture Festival

Malioboro, pukul setengah tiga sore. Langit terlihat abu-abu pucat dan awan tampak berat. Partikel hujan sepertinya enggan turun dan memilih bersembunyi di dalam gumpalan mega, menyebabkan udara begitu gerah. Asap kendaraan yang lalu lalang tanpa henti ditambah raungan klakson semakin menambah sumpek suasana.

Berlawanan dengan cuaca yang nampak kusut, wajah bocah-bocah yang sedang asyik bermain di bahu jalan Malioboro justru penuh dengan tawa. Keringat yang mengalir di kening tidak mereka hiraukan. Kaki yang kepanasan akibat tidak memakai kasut juga tidak dijadikan alasan untuk berhenti bergerak. Mereka terus melompat dengan lincah, berlari, juga menari.

Tiba-tiba terdengar suara tembang Jawa yang tidak asing di telinga.

Suwe ora jamu, jamu godhong tela
Suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gela

Penasaran, saya pun mendekat. Pandangan saya langsung tertumbuk pada rombongan gadis cantik berkebaya merah hijau serta memakai sanggul berhias janur. Sembil melantunkan tembang, tangan mereka tak henti memainkan batang-batang bambu yang berbentuk silang. Empat orang berjongkok sesuai arah mata angin sambil memegang bambu. Sedangkan empat lainnya menari serta melompat sesuai dengan irama lagu juga ketukan bambu.

Merah merona (dok: pri)
angkat, hentak, angkat hentak, lompat (dok: pri)

 “Aha! Ini kan permainan saya jaman dulu!” pekik saya dalam hati. Lantas ingatan pun melayang pada masa SD saat menjadi anggota Pramuka. Kala itu permainan lompat bambu menjadi ketangkasan yang wajib kami bisa. Biasanya permainan ini akan dilakukan sebagai ajang perkenalan dengan kelompok lain saat ada pesta siaga. Bedanya lagu yang digunakan untuk mengiringi lompat bambu kala itu bukanlah tembang Jawa, melainkan lagu-lagu Pramuka semacam “di tengah-tengah hutan, di bawah langit biru, kemah terpancang di tiup sang bayu”.

Duh, mendadak saya rindu masa lalu. Di tengah pertunjukan yang masih berlangsung, tangan mungil yang saya genggam erat sedari tadi menyeret menjauh dan mengajak pergi menuju kerumunan lainnya. Saya pun mengikuti langkah kecil lelaki berkaos hitam tersebut.

Tak berapa lama, tibalah kami di antara riuh bocah yang sedang bermain jamuran. Ya ampuuuun, ini kan permainan yang paling saya gemari waktu kecil. Berhubung saya tidak tangkas berlari, tidak pandai bermain egrang, dan selalu gagal saat lompat tali, maka jamuran adalah solusi. Yang perlu saya lakukan hanyalah  membuat lingkaran sembari bernyanyi.

Jamuran , jamuran, yo ge ge thok
Jamur apa, jamur apa, yo ge ge thok
Jamur payung ngrembayung kaya lembayung
Sira badhe jamur apa?

Begitu baris terakhir selesai dinyanyikan, maka bocah yang berada di tengah lingkaran boleh menjawab sesuka hati. Misalnya “aku njaluk jamur kendi borot”. Setelah mendengar permintaan tersebut, semua harus menjadi jamur yang diminta. Kendi borot sendiri merupakan kata sandi untuk kencing. Siapa yang gagal melakukan perintah, maka anak tersebut akan kalah dan harus berdiri di tengah menggantikan temannya.

Namun siang itu saya tak mendengar permintaan “jamur kendi borot”, yang terdengar hanyalah “jamur meja”, “jamur kethek”, dan aneka jamur yang saya tidak terlalu familiar. Biasanya permainan ini akan diulang terus menerus dan baru berhenti jika semuanya sudah lelah.

aku njaluk jamur kursi (dok: pri)
jamur kethek ogleng (dok: pri)

Bagi saya yang tumbuh besar dengan aneka permainan tradisional, menyaksikan kembali anak-anak memainkan dolanan yang makin sulit dijumpai ini menjadi kesenangan tersendiri. Parade Bocah Dolanan yang merupakan rangkaian acara Mataram Culture Festival seolah menjadi mesin waktu yang membawa saya bertualang menuju masa lalu, masa kecil yang indah, penuh tawa, dan jauh dari duka.

Rasanya sungguh menyenangkan melihat bocah-bocah yang biasanya menyendiri dan menunduk di depan gadget kini bersosialisasi dengan teman sebaya. Tak ada lagi wajah-wajah kusut dan raut muka muram akibat terlalu lama menatap layar. Hari ini semua berganti dengan wajah ceria dan gelak tawa. Semua bergerak lincah dan sehat, seperti seharusnya anak-anak itu ada.

Menurut Aria Nugrahadi selaku Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata Daerah DIY, tujuan diadakannya Mataram Culture Festival 2 ini adalah untuk mengingatkan kepada masyarajat bahwa Malioboro bukan hanya ruang transaksi ekonomi dan wisata, melainkan juga ruang ekspresi untuk para pelaku seni dan budaya. Termasuk di antaranya dolanan bocah yang kini mulai tergerus jaman.

Lebih lanjut Aria menjelaskan bahwa konsep Parade Bocah Dolanan ini memang disesuaikan dengan filosofi anak-anak ampir-ampiran. Tatkala kita masih kecil, biasanya pulang sekolah kita akan mampir ke rumah teman lantas pergi bersama-sama untuk menuju rumah kawan lain dan bermain bersama. Begitu pula yang diterapkan pada parade yang dilangsungkan Sabtu sore, 15 Juli 2017 lalu.

ada yang jago main egrang? (dok: pri)
“penyusup” kecil ingin bergabung (dok: pri)
Ancak Ancak Alis. Kalau di kampung saya namanya “ulo-ulonan”

Parade dolanan sendiri dibagi menjadi 7 titik di sepanjang Jalan Malioboro. Diawali dari egrang bambu, egrang bathok, lompat bambu, jamuran, lompat tali, ancak-ancak alis, dan sebagai pamungkas ada kelompok icipili mitirim di depan Gedung Agung. Kelompok yang sudah selesai bermain lantas akan menghampiri kelompok lainnya untuk bermain bersama.

Puas menyaksikan jamuran, saya dan Renjana melanjutkan perjalanan menuju kerumunan selanjutnya, yaitu bocah-bocah yang bermain lompat tali. Dengan penuh semangat mereka mengambil ancang-ancang, berlari, lantas melompati bentangan tali karet. Bermula dari semata kaki, lama-lama tali akan dipasang semakin tinggi.

“Sak merdeka” teriak lantang seorang bocah lelaki.

“Ojo, aku ora iso. Sak dada wae,” sahut bocah lainnya.

Generasi yang pernah main lompat tali alias yeye, pasti akan tahu istilah sak merdeka, yakni tali digenggam oleh tangan yang teracung seperti posisi orang yang memekik “merdeka!”. Hanya mereka yang lincah dan pemberani yang berhasil melompati tali setinggi itu.

Melihat bocah-bocah bermain lompat tali, anak saya pun langsung bergabung dalam permainan. Dia memaksa ingin ikut melompat dengan kaki kecilnya. Sayang, Renjana belum pernah saya ajari lompat tali. Dia kesusahan melewati rintangan. Saya sendiri aslinya ingin ikut bermain. Kaki saya sudah gatal untuk melompat. Namun melihat deretan pelukis cahaya yang terus menerus membidikkan kamera membuat saya mengurungkan niat. Mungkin lain kali.

Lompat tali (dok: pri)
ada yang merayu ingin ikut bergabung (dok: pri)

Sore itu saya benar-benar gembira. Jalanan Malioboro yang biasanya terlihat “biasa-biasa saja” kini menjelma istimewa dengan bocah-bocah yang asyik bermain. Mataram Culture Festival ini benar-benar menjadi proyektor yang mampu menampilkan potongan hidup saya di masa lalu lewat Parade Bocah Dolanannya. Sedangkan bagi Renjana, acara ini menjadi kesempatan pertamanya berkenalan dengan aneka dolanan bocah. Semoga pengalaman ini akan membekas untuknya.

Sesaat sebelum meninggalkan Malioboro terbit harapan di hati saya, semoga kegiatan ini bukan seremonial belaka. Saya berharap di hari-hari mendatang bisa menemukan bocah-bocah memainkan dolanan, baik di halaman rumah maupun di Jalan Malioboro. Dan Renjana salah satunya.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

36 Comments

  1. Iya kmrn nikmatin banget nonton mereka pada main. Sementara anak2 skrg cuma bengong liatin doang dg pandangan aneh 😀
    Tp banyak juga yg ikutan main sih ya, jadi ga cuma mainan gadget gitu :))

    • Ho’oh. Rata-rata anak jaman sekarang udah nggak kenal mainan ginian. Padahal jaman aku kecil tiap sore pasti ngumpul di halaman rumah teman yg paling luas terus main sampai lupa mandi dan dicari simbok masing-masing.

  2. permainan yg ngumpul rame2…udah jarang banget sekarang ya mbak… kl inget wkt kecil dulu memang beneran bikin kangen ingin balik ke masa2 itu

    • Iya mbak, anak-anak sekarang lebih seneng main di dalam rumah dan di depan gadget. Bahkan kalo saya mudik, di kampung pun anak-anak udah pada pegang tablet. Paling kalo sore masih ada beberapa dari mereka yang mancing di sungai, ciblon, atau badminton. Cuma kalau mainan tradisional gini udah nggak pernah lihat blas.

  3. Pertama, saya mau ngucapin selamat! Sekali lagi, hehe.

    Tulisannya mengalir, kentara sekali mbak Sasha memendam kerinduan sekaligus kegirangan menyaksikan aneka dolanan masa kecil itu.

    Apakah acara ini cuma sekali? Atau ada upaya lanjutan menggelar kegiatan ini beberapa periode ke depan? Disebar ke penjuru Jogja? Supaya lestari… 🙂

    • Ahay, terimakasi Rifqy

      Aku nggak tau acara kaya ginian akan terus dilanjutkan atau enggak. tapi setauku di Jogja emang ada acara festival dolanan bocah tiap tahunnya, cuma gaungnya kurang gede sih. Biasanya di alun-alun utara kalo enggak salah, dan masing-masing kabupaten ngirim kontingen.

  4. acara seperti ini seharusnya tetap terus ada dan terjaga, di samp[ing untuk melestarikan budaya yang ada juga menjadi salah satu cara untuk menarik wisatawan lokal maupun asing yang datang k jogja.

  5. Pertama, aku suka sama pembawaan ceritamu, mbak. Pilihan katanya kaya, kalimat pertamanya bahkan mirip sajak sebuah lagu, “awan tampak berat”, hehe.

    Festival ini mengingatkanku dengan TAFISA 2016 di Ancol. Sama-sama festival olahraga dan permainan tradisional, bedanya TAFISA ini diikuti oleh kontingen dari banyak negara.
    Di antara semua permainan itu, lompat tali jadi kesukaan, hihihi. Jangan salah, meski cowok, tapi aku cukup jago main lompat tali dulu. Dulu. 😀

    • Ahahahaha, ini daku obsesi jadi sastrawan gagal ya gini ini

      Wah malah baru tau soal TAFISA. Kayanya lebih seru ya, apalagi pesertanya dari banyak negara. Kalau aku pernah lihat berita itu di jawa barat apa banten ya, jadi semacam porseni tapi yang dilombakan permainan tradisional. kan seru banget tuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *