Melangkah Enam

Kamu adalah kata ganti untuk kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, doa-doa yang dikabulkan, serta masa depan yang tak lagi terlihat menakutkan.

“Ayo ikut,” katamu setelah muncul di depan pintu rumahku secara tiba-tiba, padahal belum ada lima menit yang lalu kamu pamit pulang. Aku yang terkejut karena kedatanganmu yang begitu mendadak hanya bisa bertanya “kemana?”

“Udah ikut aja, aku mau kasih lihat sesuatu,”

“Eh seriusan. Aku harus ganti baju dulu, nggak? Ambil dompet dulu sama hape,” kataku sambil beranjak menuju kamar. Tapi kamu dengan cepatnya mencegahku.

“Udah nggak usah ganti, nggak usah bawa apapun, gitu aja gak papa. Cuma sebentar kok. Kamu pasti suka,”

Bagai kerbau dicocok hidungnya. Aku segera mengambil helm dan memakai sandal lantas duduk di kursi belakang motornya sambil bertanya-tanya hendak pergi kemana. Dan dia hanya tertawa sambil berkali-kali bilang “Aku mau ngasih lihat sesuatu, kamu pasti suka”.

Sesuatu? Kejutan? Uhmmm, pikiran saya masih belum bisa mencerna kata-katanya. Dia hendak mengajakku kemana? Dinner? Ah nggak mungkin, ini tengah bulan. Dia lagi kere. Lagipula aku hanya memakai pakaian seadanya, sandal jepit, celana pendek, dan kaos butut yang belum ganti dua hari.

Jalan-jalan keliling kota? Sepertinya juga tak mungkin, karena aku tidak memakai jaket. Aku tau, dia adalah orang yang paling cerewet menyuruhku memakai jaket tiap hendak pergi keluar rumah. “Gak usah kelihatan keren, yang penting nggak masuk angin. Wong yo awakmu ki ringkih,” begitu omelnya tiap aku ngeyel tidak mau memakai jaket dan lebih memilih hem lengan panjang merah kotak-kotak yang menjadi baju favoritku dan membuatku selalu merasa keren tiap memakainya.

Lantas dia hendak menunjukkan apa? Uhmm, hal-hal yang aku suka apa ya? Kaktus? Ah gak mungkin, masak dia cuma mau ngasih lihat kaktus-kaktus lucu yang dijual di pinggir jalan? Serombongan pawai di kala senja? Ah itu nggak mungkin juga. Entah kenapa mendadak pikiranku ke orang-orang yang sedang melakukan aksi, lantas chaos, dan terjadilah huru-hara serta bakar-bakaran di pinggir jalan. Aku terkikik geli membayangkan hal tersebut. Entah, kadang pikiranku memang terlalu random dan absurd.

Mendadak dia mengarahkan laju motornya menuju selokan mataram tak jauh dari rumah. Sesampainya di perempatan Fakultas Teknik UNY dan Fakultas Perternakan UGM dia lantas menghentikan sepeda motor dan berkata dengan antusias “coba tengok sebelah kanan,” aku pun lantas menoleh mengikuti arah telunjuknya.

Oooopz. Sesaat aku hanya bisa terdiam. Speechless. Bulatan sempurna berwarna merah jambu terlihat begitu besar, bahkan sangat besar di langit senja sebelah timur. Ini benar-benar bulan purnama yang indah dan sangat besar. Dan seperti biasa, mendadak aku ingin menangis. Ya, entah kenapa tiap melihat pemandangan yang indah dan sangat epic aku selalu ingin menangis. Ini keren, sangat keren.

“Piye, apik to? Tadi pas mau pulang aku nggak sengaja nengok ke kanan dan lihat bulan bagus banget. Aku tau kamu pasti suka lihat ginian, makanya aku langsung balik lagi ke kosmu buat ngajak kamu lihat bulan,” katanya sambil tersenyum.

“Wuaaa, apik banget mas. Apik banget. Makasih ya udah diajakin lihat bulan yang cihuy banget,”

“Sekarang meh kemana, meh terus di perempatan ini aja atau jalan kemana?”

Aku pun lantas tertawa. Ya, dari tadi motor kami berhenti di perempatan. Sedangkan kendaraan lainnya terus melaju mengejar waktu berbuka. Kami tak peduli dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga menyuruh kami untuk minggir. Dengan cueknya kami tetap berada di perempatan sambil menunjuk-nunjuk bulan merah jamu yang sangat besar di sebelah timur. Hingga akhirnya beberapa orang ikutan menatap sebelah timur.

——-

Masih ingat jelas, bagaimana dulu banyak sahabat yang menentang hubungan kita. Bahkan, banyak juga yang menjadikannya sebagai taruhan. “Paling hanya bertahan dalam hitungan bulan,” begitu kata mereka. Dan aku serta kamu, dengan songongnya tak peduli akan omongan serta cibiran teman-teman. Kita terus melangkah bergandengan di jalan yang telah kita pilih.

Pernah kita terpisah ribuan kilometer jauhnya yang dikonversi ke dalam rupiah akan mencipta angka jutaan jika ingin bertemu satu sama lain. Hanya deretan kata di layar hp, email, chatting, dan sesekali telepon yang menjadi pembunuh rindu. Namun kita mampu melewati 7 purnama yang sangat berat itu. Sekali lagi, orang-orang yang telah mempertaruhkan hubungan kita mengaku kalah. Aku masih tetap bersetia, begitu juga dirimu.

Aku tau alasan mereka meragukanmu. Bagi mereka kamu bukan orang baik-baik yang cocok denganku. Kuliah berantakan, hidup berantakan, rambut gondrong, perokok, kadang mabuk, nggak pernah ke gereja, serta semua cap-cap tidak baik yang disematkan oleh mereka. Dan aku dengan cueknya menerimamu untuk menjadikanmu bagian dalam hidupku.

Aku tau kamu bukan orang yang sempurna, bahwa kamu bukan orang yang hidupnya lurus-lurus saja. Tapi aku juga tau, Allah yang aku sembah akan mampu menyempurnakanmu, akan mampu mengubah hidupmu. Aku tidak mengandalkanmu dalam hubungan ini, tapi aku mengandalkan Dia yang selalu menjaga.

Masih ingat jelas 6 tahun lalu, saat kamu yang nggak ada romantis-romantisnya bilang“Aku perlu kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?” aku pun menjawabnya “Boleh, asal mau jadi yang kedua.” Saat itu kamu mengernyit bingung, mungkin berpikir “Gila aku mau dijadiin selingkuhan,” tapi kemudian aku menambahkan “Aku nggak mau menjadikan mas yang pertama, karena kalo kamu yang utama aku pasti akan banyak kecewa denganmu yang tidak sempurna. Begitupun kamu. Aku pengen Tuhan kita taruh di tempat pertama dalam hubungan kita. Karena Dia tidak akan pernah mengecewakan”.

Dan terbukti benar. Dia Yang Utama mampu menjaga hubungan kita hingga sejauh ini. Banyak kekecewaan yang aku dan kamu rasakan tentang masing-masing kita. Banyak hal-hal berat dan menyakitkan yang telah kita lalui bersama. Pernah merasa hampir menyerah. Tapi Dia, dengan kasihNYA yang luar biasa menjadikan semuanya indah dan memampukan kita melewati semuanya hingga hari ini.

———-

“Mas terimakasih ya udah diajakin lihat bulan yang cihuy,” kataku saat dia mengantarkanku kembali ke kos. Seperti biasa, dia hanya tersenyum.

Dulu orang-orang bertaruh bahwa hubungan kita hanya bertahan beberapa bulan saja. Sepertinya mereka harus tahu, bahwa kita telah melewati 72 purnama serta akan ada ratusan purnama lagi yang akan kita lalui bersama.

Betewe terimakasih untuk terus merelakanku berjalan kemanapun dan percaya bahwa sejauh apapun aku melangkah pasti pulang kepadamu. Terimakasih untuk terus memberiku kepercayaan menjalani hidup yang menjadi pilihanku saat ini. Terimakasih untuk terus berada di sampingku, mendukungku, dan terus mendengarkan semua kesah dan kisah. Terimakasih untuk terus mau menjadi yang kedua dan selamanya akan tetap menjadi yang kedua.

SONY DSC
Puncak Gede, Nglanggeran
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

14 Comments

  1. nyossssssssss isuk2 moco ngene…
    ayo nduk, ndang cekat ceket !! *uncal janur

    Huahahahaha, sek yo mbak. Sabar. Jare simbok gak keno grusa-grusu hihihihi.

  2. Akh, mba sha…kamu sungguh menbuatku semakin merasa terpuruk!! Aku masih belum menemukan hati untuk berlabuh , huhuhuhu 🙁

    Duh, bukan maksudku Totos. Sini sini sini, come to mama. Tak pukpuk 🙂

  3. Hmmmmm…..nyeeesssss *narik nafas* (Lalu segera tutup halaman ini dan memandang langit senja, lirik kiri-kanan, ouch ternyata sendirian)

    Jadi kepengen bilang kampreeetttt nih Mbak Sasha bikin tulisan ginian! 😛

    Huahahahahahaha, gak tau kenapa ya Cha. Baca komenmu aku langsung ketawa ngakak khususnya pas di bagian kampreeet hahahahahaha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *