Menyusuri Rel Tua Bersama Sepur Kluthuk Jaladara

1J

Minggu Pagi. Jam di layar ponsel belum juga menunjukkan pukul 06.30 WIB. Dengan tubuh yang masih capek karena sehari sebelumnya mengunjungi Candi Sukuh dan mata sembab serta berat akibat begadang hingga dini hari, saya dan beberapa kawan peserta ASEAN Blogger Festival Indonesia (ABFI) sudah bersiap di Stasiun Purwosari, Solo.

Bukan tanpa alasan jika pagi-pagi benar kami sudah meninggalkan hotel dan bergegas ke stasiun. Ada agenda menarik yang akan kami lakukan pagi ini, yakni naik kereta uap yang dikenal dengan nama Sepur Kluthuk Jaladara menyusuri rel tua yang membelah jalan utama Kota Solo, Jalan Slamet Riyadi.

Melakukan hal-hal baru untuk pertama kalinya itu pasti menerbitkan kesenangan dan antusiasme tersendiri. Dan pagi itu saya merasakannya. Saat melihat lokomotif tua berwarna hitam pekat dengan dua gerbong kayu jati yang dicat hijau dan kuning, saya langsung terpesona.

Ini memang bukan perjumpaan pertama saya dengan si hitam manis Jaladara. Beberapa kali bertandang ke Solo lewat Purwosari, saya kerap menjumpai kereta api uap ini teronggok manis di salah satu lajur rel kereta. Bahkan saya pernah melihatnya berjalan pelan sambil membunyikan lengkingan khasnya “tuuuuut, tuuuuut, tuuuuut”. Tapi perkenalan saya hanya sebatas itu. Oleh karena itu, ketika tahu bahwa salah satu agenda ABFI adalah naik Sepur Kluthuk Jaladara, saya begitu antusias.

2j

Dengan penuh semangat saya lantas melompat naik ke gerbong belakang. Ya, saya memang memilih untuk duduk di gerbong paling belakang supaya padangan saya tidak terhalangi oleh apapun. Sambil menunggu kereta siap untuk berjalan, saya melompat ke gerbong depan dan naik ke atas lokomotif yang cerobongnya mulai mengeluarkan asap. Tak berapa lama kereta mulai berjalan pelan, meninggalkan Stasiun Purwosari, melewati rel bengkong lantas masuk ke Jalan Slamet Riyadi.

Kereta yang namanya diambil dari nama kereta pusaka yang dihadiahkan para dewa kepada Prabu Kresna guna membasmi kejahatan ini akan membawa penumpang melintasi jalur legendaris yang membelah Surakarta, yakni dari Stasiun Purworasi menuju Stasiun Sangkrah yang berjarak sekitar 5 km. Kereta ini juga melewati beberapa landmark Kota Solo seperti Loji Gandrung (rumah dinas Walikota Solo), Ngarsopuro, Keraton Solo dan Gladak.

3j

Sepanjang perjalanan, saya disuguhi dengan pemadangan warga kota yang beraktifitas di Jalan Slamet Riyadi. Berhubung minggu ini bertepatan dengan Car Free Day, maka ribuan warga tumplek blek di jalan protokol tersebut. Berbagai aktifitas mereka lakukan mulai dari senam pagi, jalan-jalan, parade, hingga sekelompok anak muda yang ngeband di pinggir jalan. Di salah satu bagian nampak serombongan pesepeda yang memakai kostum pejuang kemerdekaan melakukan konvoi. Saya dan beberapa teman lantas melompat turun dan berpose bersama mereka.

Berdasarkan info yang saya baca, lokomotif kereta yang dulunya dioperasikan di Cepu ini dibuat pada tahun 1896 di Jerman. Sedangkan gerbong kayunya dibuat pada tahun 1906. Sudah seabad lebih euy. Tapi kondisinya masih bagus, terlihat klasik dan sangat elegan. Sesuai dengan namanya, kereta uap alias steam loco. Kereta Uap Jaladara ini berbahan bahar uap yang berasal dari pembakaran kayu jati. Pantas saja jika tarif yang dikenakan untuk naik kereta ini terbilang mahal. Sekitar 3 juta sekali jalan. Beruntunglah saya bisa naik kereta ini secara gratis, hehehe. Sebelum dijadikan sebagai kereta wisata, lokomotif tua ini disimpan di Museum Kereta Ambarawa.

Sesampainya di Stasiun Sangkrah, kereta pun berhenti cukup lama untuk membakar kayu dan memutar lokomotif. Begitu tahu kereta berhenti, anak-anak kecil pun lantas mengerumuni kereta dan naik. Sama seperti saya, mereka pun terlihat sangat antusias naik kereta uap tersebut walau dalam kondisi berhenti. Wajah polos dan ceria yang melongok dari balik jendela kereta itu tentu saja menjadi obyek sempurna bagi kawan-kawan yang membawa kamera.

5j

“Dik senyum dik. Sambil dadah-dadah ya!” teriak beberapa kawan yang lantas disusul bunyi jepretan kamera. Saya pun tak mau ketinggalan. Setelah memotret mereka, saya pun naik lagi ke kereta dan mengajak foto bersama. Mereka menerima ajakan saya sambil tertawa lebar, meski ada beberapa yang terlihat malu-malu.

Tak berapa lama, lokomotif tua yang telah selesai berputar sudah kembali menempel dengan gerbong. Bedanya, kali ini lokomotif tidak menghadap ke depan melainkan ke belakang. Sepintas terlihat aneh dan lucu. Sepur Kluthuk Jaladara ini pun lantas kembali menuju ke Purwosari.

Berhubung jumlah peserta ABFI mencapai ratusan, maka sesampainya di Kraton Solo penumpang yang telah naik dari Stasiun Purwosari diturunkan dan diganti dengan peserta yang telah menunggu dari tadi. Berhubung saya bandel, saya mengompori beberapa kawan untuk tidak turun. Rupanya mereka setuju. Akhirnya saya, Mbak Lina, Umi, Helda, Mbak Anaz, dan Mas Agustinus Wibowo tidak turun dan tetap di atas kereta melenjutkan perjalanan kembali ke Stasiun Purwosari hehehe. Minggu pagi yang sangat menyenangkan.

4j
Sepertinya kebanyakan makan gula, jadi pecicilan & gak bisa diem hehehe (pic: by Mb Anaz)

Apakah Anda tertarik untuk naik Sepur Kluthuk Jaladara?

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

6 Comments

  1. Pengeeennn…
    eh yg ambarawa juga pengen.. aaah pengen melulu 🙂

    Hahahaha, saya juga pengen nyoba semua kereta uap yang masih beroperasi jadi kereta wisata, Bu. Kereta yang di Ambarawa, Mak Item yang di Sawahlunto, sama Argo Raung di Jember. Kan asyik tuh kalau udah nyobain semuanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *