Negeri Dongeng: Hidup Adalah Perjalanan, Lakukan Perjalanan Untuk Kehidupan

Sepanjang hidup, baru 3 kali mata saya berkaca-kaca saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yang pertama saat konser paduan suara di auditorium RRI Jogja tahun 2009, yang kedua saat ibadah 17 Agustus di gereja, dan yang terakhir di gedung bioskop usai special screening film Negeri Dongeng beberapa hari lalu.

Bangga, haru, sedih, senang, optimis, semua bercampur menjadi satu. Apalagi ini untuk pertama kalinya saya menyanyikan lagu Indonesia Raya sembari menjunjung bendera merah putih berukuran raksasa di atas kepala, bersama ratusan orang yang memenuhi bioskop malam itu.

Tapi sebenarnya, sumber dari segala rasa yang bergemuruh di dada bukanlah lagu Indonesia Raya semata. Pemantik utama gemuruh itu adalah film Negeri Dongeng yang baru saja saya saksikan. Melihat secara langsung dari hal yang selama ini dinanti-nantikan dan juga diimpikan, tentu saja menimbulkan sensasi tersendiri yang sulit dilukiskan.

Saya lupa tepatnya siapa yang memberi tahu saya tentang proyek yang sedang dikerjakan kawan-kawan Aksa7 tersebut. Yang jelas itu sudah 3 tahun lalu. Kala mendengar bahwa mereka akan membuat film pendakian ke 7 titik tertinggi di Indonesia saya berjanji bahwa saya tak akan melewatkannya. Film ini bukanlah film pendakian biasa, sebab ekspeditor dan sinematografernya adalah orang-orang yang sama.

Makanya begitu mendengar bahwa masa produksi film ini telah usai serta akan dilangsungkan special screening di 7 kota, saya sangat gembira. Namun di sisi lain juga merasa cemas, takut jika Jogja tidak dikunjungi. Saya pun kerap bertanya-tanya di kolom komentar IG eiger yang memposting jadwal special screening di Jakarta, Bekasi, juga Bandung. “Kapan Negeri Dongeng tayang di Jogja”. Tapi tak pernah ada jawaban.

Hingga akhirnya ada satu DM masuk dari Issan, teman seperjalanan yang saya jumpai saat berkelana sendirian ke Pulau Kepayang Belitung 4 tahun lalu. “Special screening Negeri Dongeng di Jogja tanggal 17 September, mbak” katanya.  Rupanya Issan menjadi tim roadshow Negeri Dongeng ke berbagai kota. Yess, hati saya bersorak riang. Berarti harapan saya tak sia-sia. Sebentar lagi saya bisa melihat filmnya secara full, bukan hanya trailernya.

Setelah melewati sedikit drama dan keribetan, akhirnya saya bisa mendapatkan 2 free tiket dengan tempat duduk tepat di tengah. Perfect seat (terimakasih Issan). Percaya nggak percaya, semenjak 10 tahun memutuskan jalan bersama, ini adalah kali pertama saya kencan di bioskop bareng Mas Chandra. Tentu saja ini menjadi sangat spesial. Apalagi ini juga pertama kalinya saya mengajak Renjana nonton film di bioskop. Spesialnya nggak cuma dobel, tapi triple.

Terpesona Pada Negeri Dongeng

Saya sosok yang dibesarkan dengan aneka dongeng sejak masih kanak. Tiap malam jelang tidur, Ayah dan Ibu akan bergantian mendongengi saya dengan beragam kisah. Saat bisa mengeja, saya mulai membaca sendiri dongeng-dongeng indah dari penjuru negeri bahkan kisah dari negeri-negeri jauh. Nyaris semua dongeng memiliki kesamaan, tentang impian yang menjelma nyata, juga kisah-kisah yang berakhir bahagia. Tapi semua itu fiksi, tak nyata.

Tapi tidak dengan film Negeri Dongeng. Semua hal yang terekam dalam potongan gambar film ini, semua rintangan yang dihadapi, semua petualangan yang dijalani, semua gelak dan airmata, itu nyata adanya, bukan fiksi. Negeri Dongeng bukanlah FTV atau drama yang penuh kisah rekaan. Negeri Dongeng adalah kisah nyata, perjalanan pendakian ke titik-titik tertinggi di Indonesia yang benar-benar dilakukan oleh 6 ekspeditor Aksa7 dan 1 ekspeditor tamu untuk tiap-tiap gunung.

Enam ekspeditor Aksa7 adalah Anggi Frisca, Jogie Khrisna Muda Nadeak, Yohanes Christian Pattiasina, Rivan Hanggarai, Wihana Erlangga, dan Teguh Rahmadi. Tidak semua dari mereka adalah pegiat aktivitas outdoor, namun mereka semua memiliki latar belakang yang sama, yakni sinematografer jebolan IKJ. Sedangkan ekspeditor tamu adalah Mathew Tandioputo (pendaki cilik), Djukardi “Bongkeng” Adriana (pendaki senior), Medina Kamil, Alfira ‘Abex’ Naftaly Pangalila, Darius Sinanthrya, dan Nadine Chandrawinata.

negeri-dongeng-1
Tim Ekspeditor Negeri Dongeng (sumber: negeridongeng.co.id)

Sejak menit pertama layar menampilkan potongan gambar, perasaan saya langsung bergelora. Ada sesuatu yang seolah memanggil-manggil untuk kembali dihampiri. Mendadak saya merasa rindu yang teramat sangat. Rindu kecupan mentari pagi di tempat tinggi, rindu dinginnya embun basah, rindu kabut yang menyergap tiba-tiba, rindu bau edelweiss dan cantigi, rindu celotehan absurd dan gelak tawa bersama sahabat, serta rindu segala hal yang biasa saya jumpai di tiap perjalanan.

Seperti terpampang pada posternya yang sangat ciamik, Negeri Dongeng adalah sebuah film tentang ekspedisi tujuh gunung tertinggi di Indonesia. Pendakian di film Negeri Dongeng dimulai dari sisi barat Indonesia yakni Gunung Kerinci (Sumatera), lantas bergeser ke Gunung Semeru (Jawa), Gunung Rinjani (Lombok), Gunung Bukit Raya (Kalimantan), Gunung Latimojong (Sulawesi), Gunung Binaiya (Ambon), dan ditutup dengan gunung tertinggi di Indonesia, Cartenz Pyramid (Papua).

Meskipun genrenya film dokumenter, alur Negeri Dongeng sangat mudah untuk diikuti dan tak akan membuat bosan (kecuali sedikit pusing karena gambarnya yang goyang-goyang, etapi itu karena mata saya yang sepertinya bermasalah dan butuh pakai kacamata ding). Penonton pun akan dimanja dengan lansekap Indonesia yang tak perlu diragukan lagi keelokannya.

Dalam film Negeri Dongeng, Indonesia digambarkan secara polos dan apa adanya, bebas dari polesan dan tanpa gula-gula. Semua panorama alam yang disuguhkan itu alami, sesuai dengan kenyataan yang ada. Film ini tak hanya menyuguhkan lansekap yang menawan, namun juga bopeng-bopeng yang dijumpai di sepanjang jalan seperti rusaknya hutan-hutan di Kalimantan, sampah yang menumpuk di sisi gunung dan mengambang di lautan, hingga bentangan salju abadi yang perlahan mulai menyusut. Karena itu jangan harap kamu mendapatkan visual yang secetar dan sesempurna video promo kementrian pariwsata. Kita beda tujuan, bung dan nona!

Tak hanya soal perjalanan mendaki dan bagimana berdamai dengan ego sendiri, seperti kata Aksa yang berarti melihat, Negeri Dongeng berusaha melihat kehidupan yang ada di sekitar gunung. Bercengkerama dengan masyarakat lokal menjadikan mereka melihat hal-hal yang selama ini tertutup dari pandangan. Tentang betapa Indonesia adalah negeri yang sangat kaya, sehingga masyakarat tak mampu membeli hasil buminya sendiri (kisah teh premium di kaki kerinci). Tentang kentang di kaki Semeru yang begitu murah dan tak sebanding dengan modal bertaninya. Tentang perjuangan masyarakat di pedalaman untuk mendapatkan akses pendidikan. Dan banyak hal lainnya.

Narasi tersebut dikemas secara sederhana, tanpa berbusa-busa. Namun justru dari melihat potongan-potongan gambar itu semangat saya kembali dikobarkan. Ada mimpi tentang negeri ini yang harus terus dihidupi. Negeri Dongeng membuat saya kembali melihat ke dalam dan mempertanyakan tentang apa-apa yang selama ini saya lakukan. Apakah itu semua memberi arti? Apakah itu memang benar-benar yang dicari?

Buat saya, Negeri Dongeng bukan semata film tentang pendakian, namun jauh dari pada itu. Negeri Dongeng adalah kisah tentang mempercayai mimpi dan mewujudkannya, kisah tentang semangat gerak dalam energi yang saling menguatkan, kisah tentang bagaimana merangkai harmoni di penjuru semesta, kisah tentang saling menjaga, kisah tentang hidup sebaik-baiknya, hidup sehormat-hormatnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk negeri.

Belajar Dari Negeri Dongeng

Secara personal, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran yang berarti dari film ini. Yang pertama tentu saja tentang manajemen pendakian yang baik. Meski tidak digambarkan secara mendetail, namun saya bisa belajar bagaimana seharusnya pendakian itu dilakukan. Di tengah maraknya dunia pendakian yang banyak dijejali pendaki asal-asalan, film ini menjadi salah satu ruang edukasi yang sangat bagus. Bahwa mendaki itu bukan pekerjaan gampang. Mendaki itu membutuhkan kesiapan mental, fisik, juga logistik.

Janganlah tujuan mendakimu hanya untuk mendulang sebanyak mungkin hati merah di social media, atau semata mempercantik feeds instagram. Mendaki tidak sesederhana itu! Semakin kau jauh berjalan, seharusnya kau semakin melihat dirimu sendiri dan melihat betapa agungnya Sang Pencipta. Jadikan pendakian sebagai ajang untuk menempa diri, menempa karakter, supaya sesudahnya kau menjadi sosok yang lebih bijak dan lebih peka.

Negeri Dongeng memang film tentang pendakian, namun film ini justru saya sarankan untuk ditonton oleh orang-orang yang awam di dunia kegiatan alam bebas. Tunjukkan film ini pada ayah, ibu, kekasihmu, maupun siapa saja yang selama ini mempertanyakan alasanmu terus mendaki. Biar mereka tahu bahwa mendaki itu bukan pekerjaan tak ada guna, namun justru sebaliknya. Ada banyak hal yang hanya bisa dijumpai di atas sana.

Saya juga menyarankan para pemegang tampuk pimpinan di masyakarat untuk melihat film ini, biar mereka tahu bagaimana kondisi Indonesia yang sesungguhnya. Bahkan jika perlu ajak mereka naik gunung, supaya mereka mengenal rakyatnya dari dekat.

Seperti kata Soe Hok Gie “Patriotisme tidak tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang dapat mencintai sesuatu secara sehat jikalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indoensia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Pada akhirnya saya merasa sangat bersyukur bisa menyaksikan film sekeren Negeri Dongeng. Saya merasa baruntung bisa mengenalkan Negeri Dongeng sebagai film perdana yang Renjana tonton. By the way Renjana sangat terkesan dengan film ini. Sepulang dari nonton film dia minta bibuknya menyanyikan Indonesia Raya sebagai lullaby. Selain itu hal yang teramat lekat di ingatan bocah 2,5 tahun ini adalah “jangan buang sampah sembarangan”. Sebuah langkah edukasi yang ciamik bukan?

Terimakasih untuk kawan-kawan Aksa7 yang sudah membuat film seindah ini. Satu harapan saya, semoga film ini bisa segera tayang di layar bioskop supaya bisa dinikmati oleh lebih banyak orang lagi. Saya menunggu sebaran energi positif dari karya-karya terbaru kalian lainnya.

Tabik.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

17 Comments

  1. aku udah nonton, dan semua pendapat kakak bener semua. “Jadikan pendakian sebagai ajang untuk menempa diri, menempa karakter, supaya sesudahnya kau menjadi sosok yang lebih bijak dan lebih peka.” ah setuju banget!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *