Ngesot Jaya di Gunung Andong

Hosh hosh hosh. Nafas saya tersengal-sengal dan dada saya sesak. Seperti ada berkilo-kilo beban yang menghimpit paru-paru sehingga membuat saya sulit bernafas. Kepala terasa sedikit pening. Tapi saya tidak boleh menyerah begitu saja. Saya harus terus berjalan hingga mencapai puncak. Harus! Meski kaki terasa berat dan langkah semakin melambat.

IMG_7839
Gunung Andong yang seperti punuk onta

Saya ambil botol minum yang baru diisi dengan air pancuran di badan jalan. Glek glek glek. Kesegaran air yang diambil dari sumbernya langsung membasahi tenggorokan. Membuat saya sedikit lebih kuat. Sepertinya air pancuran itu memiliki khasiat. Ah, atau jangan-jangan itu hanya perasaan saya saja ya? Bukankah dalam kondisi terpuruk biasanya kita membutuhkan sesuatu yang kita anggap bisa menjadi obat atau pelipur?

Saya kembali melangkah pelan dan hati-hati. Tangan kiri bertumpu pada tongkat biru yang sudah piknik hingga Lembah Baliem milik Mas Danang. Sedangkan tangan kanan meraba-raba tumbuhan yang merambati dinding tebing. Jika sembrono melangkah bisa jadi saya terjatuh ke sisi kiri jalan berupa jurang dengan kemiringan 60 – 80 derajat.

Jalan setapak berdebu nan terjal itu terus saja meliuk-liuk di punggung gunung. Tiap saya menuntaskan satu tanjakan dan bertemu kelokan, langsung dihadang tanjakan berikutnya. Jalan zigzag ini seolah tanpa ujung. Saya lelah. Mentari pun seolah tak mau kompromi. Dia bersinar dengan terik, sangat terik.

“Ayo semangat, satu tanjakan dan satu tikungan lagi langsung datar dan ketemu puncak!” kata Mas Danang menyemangati. “Huh! Dari tadi bilangnya satu tanjakan lagi, tapi nggak sampai-sampai juga,” rutuk saya dalam hati. Saya melangkah dengan tertatih. Hampir tiap lima menit berhenti. Di salah satu tikungan saya memutuskan untuk ndoprok. Hosh hosh hosh ngiiik. Hosh hosh hosh ngiiiik.

_MG_5707_resize
Ndoprok jaya di salah satu kelokan

“Sudah mas, tinggal aja. Saya mau istirahat dulu. Hosh hosh hosh…” kata saya pada Mas Danang yang menjadi teman seperjalanan saya siang itu. Dia menatap saya dengan wajah kasihan bercampur geli. Mungkin karena terlalu capek dan ngantuk menemani saya yang berjalan seperti siput, dia pun akhirnya melangkah meninggalkan saya dan Mbak Rina.

“Terus aja mas, saya mau pipis dulu!” teriak saya dari bawah saat melihat dia yang akhirnya berhenti di kelokan selanjutnya, memastikan apakah saya baik-baik saja atau tidak. Begitu mendengar kalimat terakhir, dia pun lantas mempercepat langkah dan tidak menengok lagi.

****

Bukan tanpa alasan jika pada Senin siang yang mendung saya meninggalkan Jogja menuju Solo dan melanjutkan perjalanan ke Salatiga bersama Mbak Rina. Kami berdua yang tergabung dalam kelompok pemuda pemudi karang yo selo memutuskan untuk melancong menuju Kota Garnisun yang terletak di pinggang Merbabu itu.

Semua gara-gara si penebar racun, Mas Dhave Danang. Ya, kawan saya satu itu sering menebar racun dengan pamer foto-foto Gunung Andong yang oke punya. Ditambah kata-kata manis “Gunung pendek dengan pemandangan indah yang bisa didaki dengan mudah bahkan oleh pemula,” tentu saja membuat pertahanan iman saya goyah.

Saya yang merasa sok keren dan tangguh pun meminta Mas Danang untuk menemani naik ke Andong. Hingga hari yang ditentukan tiba, saya sama sekali tidak pernah latihan fisik. Padahal bulan-bulan terakhir aktivitas saya tidaklah banyak, saya jarang jalan kaki, tidak pernah berolahraga, dan jarang melakukan kegiatan outdoor yang menguras energi. Aktivitas berat saya pol mentok liputan di pantai atau jingkrak-jingkrak nonton konser hingga 4 jam.

Entah kenapa saya menjadi begitu sombong dan percaya diri bahwa saya bisa “menaklukkan” Gunung Andong dengan mudah. Mungkin gara-gara saya pernah mendadak diajak naik Merapi tanpa persiapan fisik dan akhirnya bisa sampai. Dan itu kesalahan pertama saya. Rupanya Tuhan tidak suka dengan orang yang sombong dan sok kepedean haha. Saya juga lupa, bahwa yang bilang “Trek Gunung Andong itu mudah buat pemula” adalah Mas Danang yang hobinya emang lari-lari dari gunung ke gunung. Mudah buat dia belum tentu mudah buat saya kan?

IMG_7864
Gigir gunung yang bikin jiper

Berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya yang saya mulai dengan riset kecil-kecilan, untuk perjalanan kali ini saya benar-benar buta. Saya pasrah sepenuhnya pada Mas Danang. Dan inilah kesalahan kedua. Jika saja saya mau mencari informasi tentang lokasi Gunung Andong lebih dulu, seharusnya saya bisa saja berangkat hari Selasa dari Jogja. Saya tidak perlu jauh-jauh ke Solo lantas ke Salatiga, melainkan bisa langsung naik bis dari Jogja menuju Muntilan lantas ganti angkot menuju Ngablak. Perjalanan yang jauh lebih singkat dan tentu saja irit. Tapi berhubung saya buta, makanya saya pergi ke Salatiga. Padahal lokasi Gunung Andong masuk Kabupaten Magelang #fiuuuuh.

Kesalahan ketiga, saya sama sekali tidak membawa logistik selain sebotol air putih. Bahkan permen pun tidak. Mas Danang yang tau hal tersebut lantas menyodorkan sebotol air mineral kemasan untuk berjaga-jaga. Entah kenapa saya menjadi begitu sembrono. Padahal biasanya saya menjadi orang dengan persiapan paling lengkap (logistik, baju ganti, hingga obat-obatan) saat hendak pergi kemana pun. Kesalahan demi kesalahan yang menumpuk akhirnya membawa saya menuju perjalanan pendakian yang tak pernah terlupakan.

*****

Menginap semalam di tempat adik sepupu, pagi-pagi sekitar pukul 07.00 WIB saya dan Mbak Rina meluncur ke kos Mas Danang. Jelang pukul 08.00 WIB, kawan-kawan Mas Danang yang akan bergabung sudah datang. Kami pun lantas memulai petualangan hari itu.

Sepanjang jalan menuju Pasar Ngablak sebagai titik mula pendakian, mata saya sudah dimanja dengan pemandangan yang elok. Sebagai bocah yang lahir dan besar di daerah pegunungan, saya tak pernah bosan memandangi puncak-puncak gunung tinggi serta merasakan denyut kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pemandangan dataran tinggi selalu mampu membuat saya terpesona. Terlihat begitu tenang dan damai.

Di depan saya Gunung Merbabu tampak begitu besar dan gagah dengan Merapi di baliknya. Di sisi lain ada Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Gajah Mungkur, bahkan puncak Sindoro Sumbing juga terlihat. Kepala saya sampai pegal karena sibuk tengok kanan kiri melihat gunung gemunung yang berderet-deret. Ladang sayuran menyebar dari kaki hingga pinggang gunung, berpadu dengan deretan pinus dan pohon-pohon lain.

_MG_5676_resize
Sarapan ala pejalan, bisa dimanapun

Sesampainya di Pasar Ngablak, kami pun turun dan membeli sarapan berupa nasi jagung lengkap dengan peyek ikan, urap, godogan kubis dan daun adas. Berbekal energi yang berasal dari iwak peyek sego jagung minus goyangan, kami pun mulai melangkah meninggalkan Pasar Ngablak menuju Dusun Sawit yang terletak tepat di kaki Gunung Andong. Tentu saja setelah sebelumnya membalurkan sunblock ke wajah dan tangan. Awalnya sih saya malas, tapi gara-gara Mas Danang bilang bahwa kulit bisa kebakar kalo tetap nekat tidak memakai sunblock akhirnya saya dan Mbak Rina manut.

Gunung Andong berdiri dengan gagah di tengah gugusan gunung-gemunung yang terlihat dari Ngablak. Tubuhnya terlihat mungil dibandingkan dengan gunung-gemundung di sekitarnya. Bahkan jika dibandingkan dengan saudaranya, Gunung Telomoyo yang puncaknya menjadi ladang tower, dia tetap terlihat lebih kecil. Tapi siapa sangka justru si kecil itulah yang mampu membuat saya hampir menyerah di tengah pendakian.

*****

“Atur nafas sesuai dengan ritme langkah,” saran Mas Danang saat melihat saya mulai kepayahan mendaki. “Selangkah tarik nafas, selangkah hembuskan. Ambil nafasnya bareng dengan kaki yang paling kuat, kaki yang biasa menjadi tumpuan,” lanjutnya sambil memberikan contoh.

Aha, inilah enaknya naik gunung dengan pendaki beneran, saya jadi diajari hal-hal baru seperti ini. Saya pun mempraktekkan langsung teori yang baru saya dapat. Ternyata benar, nafas saya menjadi sedikit lega. Ritme langkah saya juga mulai teratur. “Yang penting konsisten. Jangan terlalu cepat, jangan terlalu lambat,” imbuhnya.

Ini adalah pendakian siang pertama saya. Dan jujur saya merasa kepayahan. Selama ini tiap mendaki gunung atau bukit tinggi saya selalu melakukannya sore menjelang gelap, subuh, atau bahkan malam sekalian. Bahkan naik Gunung Nglanggeran pun selalu sore. Saya baru sekali naik Nglanggeran siang hari, itu pun karena terpaksa.

Menurut saya mendaki malam itu ada banyak keuntungan. Yang pertama jelas tidak panas, yang kedua jarak pandang saya terbatas sehingga saya tidak tahu kondisi trek yang saya lalui. Hal ini menjadikan saya tidak jiper duluan. Tapi semua pendapat saya disanggah oleh Mas Danang.

Manusia bukan mahluk nocturnal, sehingga malam itu harusnya untuk istirahat bukan untuk berjalan. Sedangkan masalah trek, justru jalan malam itu membahayakan karena kita tidak bisa melihat kondisi jalan yang sesungguhnya. Selain itu jalan malam akan sangat menguras energi. Ketika jalan siang energi tidak begitu terkuras, yang cepat habis adalah cairan tubuh. Ouch… Satu fakta lagi soal mendaki gunung. Sepertinya saya memang harus belajar banyak darinya.

“Lagian apa enaknya jalan malam? Kita nggak bisa melihat pemandangan. Kalau jalan siang kan saat kita capek dan istirahat kita bisa lihat pemandangan indah kayak gini,” tandasnya sembari memotret landskap indah yang terlihat dari ketinggian. Untuk yang terakhir ini saya mengamini.

_MG_5730_resize
Sampai juga di puncak yeiy!
IMG_7860
Turu-turu sek Jon!

Akhirnya, setelah dua jam pendakian bertabur peluh dan keluh, saya pun berhasil menapakkan kaki di puncak Gunung Andong dengan ketinggian 1780 mdpl. Saya yang tadinya hampir menyerah di tengah jalan begitu sampai puncak langsung terduduk di rerumputan. Wajah memerah bersimbah peluh yang mirip kepiting rebus langsung tersenyum lebar, bahkan tertawa mengingat semua keluhan konyol yang sempat saya utarakan. Ya, berada di ketinggian selalu menjadi obat yang ampuh untuk apapun. Saya bisa melihat dunia yang begitu luasnya dan kembali disadarkan bahwa saya ini bukanlah sesiapa di tengah semesta raya.

Saat energi sudah kembali pulih, kami pun bergegas mengemasi ransel dan bergerak untuk turun dengan rute yang berbeda. Dan ternyata jalan turun tak kalah menyiksanya. Gigir gunung dengan jalan setapak dan jurang dikanan kirinya membuat saya terpaksa ngesot, alias berjalan menggunakan pantat. Ngeri, Jon! Hahahaha.

_MG_5764_resize
Ngesot, Joooon!
_MG_5798_resize
Full team
_MG_5808_resize
Menunduk kala naik, tegak kala turun!

p.s. foto yang cihuy ini semuanya milik mas Danang

 

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

31 Comments

  1. Baru tahu soal Gunung Andong. Kemana saja saya. 😀 Dan oya, Gunung Andong bisa dimasukkan dalam list, nih.:)
    Btw, setuju sama Mas Danang (sok akrab gitu :p ) sama kalimatnya yang ini, “Lagian apa enaknya jalan malam? Kita nggak bisa melihat pemandangan.” Belum pernah sih mendaki malam hari, tapi buat pemula seperti saya, saya lebih suka mendaki pagi hari. 🙂 Dan suka juga kalimat yang ini… “Yang penting konsisten. Jangan terlalu cepat, jangan terlalu lambat,” Juara! Hehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *