Pantai Pasir Padi dan Perbincangan Hati

Baru kali ini saya lihat garis pantai yang teramat panjang juga tenang tanpa gelombang. Tak ada angin kencang yang membuat rambut kusut masai, muka terasa lengket, atau membawa butiran pasir menempel di tubuh. Sejauh mata memandang hanya ada ombak yang mengalun pelan dan teduh. Di sisi barat terlihat langit senja yang mulai berubah warna.

Namun berkebalikan dengan suasana Pantai Pasir Padi senja itu, di sebelah saya ada hati yang sedang gulana. Dari wajah dan ucapannya terlihat ada badai besar yang sedang berusaha dia taklukkan.

“Aku marah pada diriku sendiri Sha. Kok bisa-bisanya aku percaya lagi sama dia. Padahal kamu juga tau kan apa yang sudah dia lakukan padaku dulu. Aku ngrasa bego!” katanya sembari menahan emosi.

“Padahal sebelum itu aku sudah berjanji untuk menutup kisahku dengan dia rapat-rapat. Biar dia jadi masa lalu. Tapi dia terus ngejar dan berusaha meyakinkanku kalau kami tetap bisa jalan bareng. Saat aku sudah berani untuk jatuh cinta lagi ternyata dia ngilang dan tau-tau nikah sama orang lain. Sakit Sha!” imbuhnya. Kali ini dia tidak berusaha menyembunyikan kepedihannya. Wajahnya jelas menyiratkan duka yang mendalam, juga luka atas pengkhianatan.

Saya tetap diam dan masih menunggu kelanjutan ceritanya. Saya tahu, dia tak butuh dinasehati, dia hanya butuh didengarkan. Tatapan saya justru tertumbuk pada segerombolan remaja yang asyik bermain bola di depan. Tubuh mereka yang terperangkap cahaya senja menciptakan siluet yang indah.

“Menurutmu sekarang apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku nggak ngerti lagi harus gimana,” lanjutnya.

Kini mata saya menatapnya lekat. Sungguh, sahabat saya satu ini tak berubah. Sejak mengenalnya di hari pengambilan jas almamater di kampus bertahun-tahun lalu, dia tetap sama. Sahabat yang selalu mempercayakan kisah-kisah asmaranya pada saya dan meminta nasihat. Padahal saya sendiri adalah sosok yang buta soal cinta dan segala turunan masalah yang disebabkan olehnya. Tapi entah mengapa dia selalu percaya bahwa saya bisa membantu mengurai benang kusut yang ada dalam dirinya.

“Grace, sebenarnya kamu udah tahu apa yang harus kamu lakukan kok,” jawab saya pelan. Ya, saya tahu dia sebenarnya sudah tahu jawaban dari persoalan yang dia hadapi, hanya saja dia membutuhkan penguatan.

“Melupakan dia? Enggak semudah itu. Kisah kami tu dari SMA lho Sha. You know it! Gimana bisa aku lupa dengan cepat dan menganggap semua baik-baik saja?”

Lantas ada hening yang menjadi jeda. Dia pun menghela nafas panjang.

“Tapi emang bener sih. Aku harus move on. Sakit hati ini lama-lama bisa membunuh diriku dari dalam. Lupakan semuanya, buka lembaran baru,”

“Yes, go and get a new life!” seru saya. Kini dia terlihat tersenyum lantas merangkul pundak saya erat.

“Thanks for being here Sha. Terimakasih sudah mau jadi tempat sampahku ya. Aku nggak ngerti lagi mau cerita ke siapa kalo kami nggak mampir kesini,” katanya.

“Ini namanya konspirasi semesta Grace, mestakung. Semesta mendukung”

Lalu kami berdua tertawa. Di batas senja, di Pantai Pasir Padi. Tawa yang sama seperti bertahun-tahun lalu saat kami berdua tinggal sekamar di salah satu sudut kos-kosan Karangmalang, Jogja. Bertahun-tahun tinggal di Jogja, kami malah belum pernah melihat senja di pantai bersama. Kesempatan itu justru datang saat kami sudah terpisah jarak ribuan kilometer jauhnya.

Bukan tanpa alasan jika akhirnya saya mendatangi Grace di Bangka. Setelah rencana kunjungan tahun sebelumnya batal, akhirnya datang kesempatan kedua untuk menghampirinya. Dan tentu saja ini tidak saya sia-siakan. Terpisah jarak selama 4 tahun rupanya tak membuat persahabatan kami renggang dan canggung. Kami tetap bisa berbincang apa saja, mulai dari hal remeh temeh hingga hal-hal berat seperti masalah hati.

Sebenarnya senja itu saya juga menanggung banyak beban. Keputusan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang cukup menjanjikan rupanya berdampak besar dalam hidup saya. Lajur hidup lantas berubah. Membawa saya pada petualangan yang sungguh tak terduga. Kadang saya menyesali keputusan yang telah dibuat, namun lebih banyak lagi bersyukur atas keberanian memilih jalan.

“Kadang aku iri dengan hidupmu lho Sha. Sepertinya hidupmu begitu bebas dan lepas tanpa beban. Kerja asyik sesuai dengan passion, nggak ada atasan yang harus selalu disenangkan. Pengen deh punya hidup kayak kamu,” celetuk Grace tiba-tiba.

“Ahahahahahaha, yakin kamu ngiri dengan kehidupan nggak jelas kayak aku? Justru aku yang iri sama kamu. Karir bagus, nggak ada masalah finansial, hidup enak…”

“Tapi jomblo…” sahutnya cepat, muahahahahahahaha lagi-lagi kami terbahak bersama.

Ah Grace, Grace, andai kau tau betapa naik turunnya jalan hidup yang saya lalui pasti kau tak lagi iri. Semua tidak sebaik dan sekeren yang terlihat. Air mata saya sudah terkuras untuk menangisi tiap kepedihan hidup, hingga yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah mentertawakan semuanya. Saya tak mau berkubang dengan kepedihan dan meratapi diri.

Saya mendadak jadi ingat ucapan seorang kawan “Terkadang hidup yang kamu sesalkan saat ini adalah hidup yang diimpikan oleh banyak orang. Karena itu bersyukurlah atas semua hal yang terjadi dalam hidupmu,”. Kalimat itu pulalah yang selalu menguatkan saya.

Berada di tengah hamparan pasir yang begitu luasnya dan melihat laut lepas selalu membuat saya takjub sekaligus tenang. Di semesta luas ini masalah yang saya hadapi tak lebih besar dari sebutir pasir. Jadi untuk apa harus dikhawatirkan?

Senja itu Pantai Pasir Padi telah meluruhkan sedikit beban yang ada di pundak kami. Seperti halnya mentari yang surup dan berganti gelap, untuk kemudian terbit lagi keesokan harinya, saya percaya bahwa tiap persoalan pun ada masa terbit dan terbenamnya. Semua ada batas waktunya.

Post scriptum:

Bertahun-tahun setelah kami melewati hari itu, takdir membawa kami menuju hidup yang lebih baik. Grace menikah dua tahun sesudahnya dan kini sudah memiliki seorang bayi lucu. Begitu pun saya. Catatan ini ditulis untuk menjadi pengingat bahwa kami pernah mengalami banyak peristiwa luar biasa, dan kami tetap bisa bertahan.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

16 Comments

  1. deh kayak baca novel hehehe..
    seneng ya punya sahabat yg udah lama, tahu masing2 luar dan dalam. btw jd merindukan seorang kawan yg sudah lama tidak mengalami episode seperti dlm cerita ini :’)

  2. Baguus kak, suka sama kata – kata “Terkadang hidup yang kamu sesalkan saat ini adalah hidup yang diimpikan oleh banyak orang. Karena itu bersyukurlah atas semua hal yang terjadi dalam hidupmu,”, memotivasi bangeeet 🙂

  3. Setuju banget Mba… namanya hidup wang-sinawang. Kalau terus-terusan melihat orang lain yang (sepertinya) bahagia, kapan bisa menikmati hidup kita? heheheh

    Namanya juga hidup, kadang sih merasa paling menderita, tapi semoga ga lama-lama.

  4. Aku seperti membaca penggalan novel, mbak. Manis dan membuatku menghayati cerita ini.
    Apalagi gue juga masih jomblo, hahahahahaha. Dan mau move on. #ehkeceplos

    Hidup orang lain memang selalu lebih baik dari hidup kita sendiri ya…

    Tertanda,
    thetravelearn.com yang dulu nama blognya adalah siranselhitam.wordpress.com (penting banget)

  5. kadang aku jg suka ngerasa iri ama hidup org lain mba.. tapi dipikir2, buat apa toh yaaa.. belum tentu jg hidup dia sebahagia yg kliatan dari luar.. bisa jd dia hanya pinter nyembunyiin masalah2nya :).. Bener kata orang2 tua, mau bahagia itu gampang… syukurin aja apa yg udh kita punya 😀

  6. “Terkadang hidup yang kamu sesalkan saat ini adalah hidup yang diimpikan oleh banyak orang. Karena itu bersyukurlah atas semua hal yang terjadi dalam hidupmu,”…..- agree

    aku kadang malah nangis tnpo metu iluh-e mb sash..
    atau kdg iluh-e metu ndrejes tp ora iso metu suoro tangise..
    tapiiiiiii…itulah hidup..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *