Pantai Pasir Putih Manokwari dan Sepiring Lotek Jawa Timuran

Sekembalinya dari Pulau Mansinam, perut saya yang belum diisi sejak pagi meronta-ronta kelaparan. Dalam benak saya sudah tergambar aneka hidangan laut yang lezat. Ikan kuah kuning, kepiting saos tiram, atau cumi-cumi bakar, semua terlihat begitu menggoda.

“Kita cari makan dulu ya, bang!” pinta saya pada Bang Aldi, driver yang setia mengantarkan ke sana ke mari.

“Mbak mau makan apa?” tanyanya.

“Aku pengen makan ikan laut nih,”

“Kalau makan seafood aku nggak ikutan deh,” sahut kawan seperjalanan saya.

Owalah iya, saya baru ingat, kawan saya yang satu ini tidak bisa makan seafood. Saya kurang tahu alasannya apa. Namun sejak kami bersama-sama ke Bima bulan sebelumnya, dia juga selalu menghindari makanan laut.

Daripada si kawan ini tidak mau makan, akhirnya saya yang ngalah. Apalagi saya bisa makan segala rupa. Jadi terserah saja lah mau makan apa.

“Oh, kalau gitu ganti aja deh. Silakan tentukan pilihan. Aku ngikut saja,”

“Di sepanjang jalan menuju Pasir Putih ada ada warung apa bang? Yang khas gitu?” kawan saya lanjut bertanya.

“Apa ya? Oh, ada, saya tahu. Di Pasir Putih itu yang paling terkenal loteknya. Mbak dan Mas mau coba kah?”

“Wah cocok, mau. Gimana Sha?” tanyanya sambal menengok pada saya yang duduk di kursi tengah mobil.

“Oke gapapa, beberapa hari ini juga nggak makan sayur. Tapi wagu banget nggak sih? Masak jauh-jauh ke Papua makannya lotek?” tanya saya sambal nyengir.

“Nah justru itu, bisa dijadikan bahan tulisan to? Makan lotek di Papua,” serunya sambal terbahak dan merasa menang. Yowislah mas, rapopo.

***

Perjalanan dari dermaga menuju kawasan Pantai Pasir Putih ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jalanan tidak terlalu lebar namun sudah aspal halus.

Berhubung saya datang ke tempat ini beberapa hari jelang natal, di rumah-rumah warga terdapat banyak ornamen natal. Salah satunya yang paling menarik tentu saja gubug-gubug yang dibangun lengkap dengan lampu warna-warni serta aneka hiasan.

Baca: Desember di Manokwari

Setelah melalui berbagai kelokan dan jalanan sedikit bergelombang, sampailah kami di kawasan Pantai Pasir Putih. Sesuai dengan namanya, pantai ini memiliki hamparan pasir putiih yang luas. Garis pantainya sangat panjang, hingga saya tak melihat ujungnya ada di mana.

Pantai Pasir Putih merupakan pantai yang kerap dijadikan jujugan wisata warga Manokwari. Saat hari libur, pantai ini akan dipadati wisatawan lokal. Meski menjadi pantai wisata, tapi kita tak perlu membayar bea masuk sebab pantai ini ada di pinggir jalan raya.

Siang itu pantai tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa rombongan remaja berenang dan bermain ban di tengah laut. Permukaan laut sangat tenang, hanya ada sedikit riak. Pantai Pasir Putih ini memang snagat cocok dijadikan tempat bermain. Airnya jernih dan gelombangnya tenang. Di sini juga ada penyewaan ban.

Jika tidak ingin berenang, pengunjung bisa jalan-jalan atau duduk di pinggiran pantai. Kawasan ini dinaungi banyak pohon besar (Ketapang laut atau bukan ya? Saya lupa). Pohon-pohon itu menjadi peneduh dari sengatan matahari Papua yang teramat garang.

Saya sendiri tidak terlalu banyak mengeksplor pantai ini sebab entah mengapa siang itu merasa sangat lelah dan mengantuk. Setelah mengambil beberapa gambar dan membasahi kaki dengan air asin, saya kembali ke warung lotek yang ada di pinggir pantai.

Menurut Mas Yobo, kakak kelas SMA yang sudah lama tinggal di Manokwari, Pantai Pasir Putih memang identik dengan loteknya. Para penjual lotek ini dulunya merupakan transmigran asal Jawa. Setelah lama tinggal di Papua, mata pencaharian mereka pun tak hanya bertani tapi merambah ke bidang lain termasuk jualan lotek.

Tanpa menunggu lama, lotek pesanan saya pun tiba. Meski sudah pesan separuh saja, ukuran yang saya terima tetaplah besar. Loteknya sendiri disajikan dalam piring rotan yang dilapisi kertas minyak. Telur rebus disajikan utuh dengan guyuran kuah kacang serta kerupuk yang melimpah.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka telur rebus, bahkan kalau di Jogja tiap beli lotek saya selalu pesan tanpa telur. Namun, untuk kali ini tak masalah. Awalnya saya tak memiliki ekspektasi yang tinggi akan lotek ini. Maklum, makanan yang dijual jauh dari daerah asalnya biasanya rasanya tidak terlalu otentik.

Nyatanya saya salah. Lotek yang satu ini benar-benar lezat. Kuah kacangnya terasa sangat luget dan lembut. Komposisi rasa gurih kacang, pedas, dan manis semuanya sempurna. Meski sayuran yang digunakan tidak selengkap dengan lotek di Jawa, tetap saja tidak mengurangi rasa yang otentik. Pantas saja lotek di sini terkenal, rasanya memang enak sih.

Sambil makan saya nguping pembicaraan penjual lotek dengan beberapa orang yang ada di sana. Saya amat-amati rupanya Bahasa Jawa yang digunakan adalah logat Jawa Timuran. Owalah pantas saja loteknya enak. Kan daerah Jawa Timur memang terkenal dengan bumbu kacangnya yang khas.

Berhubung hari ini kami masih harus melanjutkan perjalanan ke site Palapa Ring di daerah Amban, kami pun tak berlama-lama di Pantai Pasir Putih. Setelah makan dan membayar kami langsung bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan tempat ini.

Rencana saya makan seafood sebagai menu pembuka begitu menjejak di Papua memang batal. Meski begitu saya tak menyesal, setidaknya saya bisa mencicipi lotek Jawa Timuran yang enak di salah satu provinsi Indonesia Timur.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

14 Comments

  1. wah jauh2 ke papua makannya tetap makanan jawa mbak haha.. seafoodnya di sana mantep2, seger2,, tapi pasti udah makan juga kan di hari2 berikutnya? 😀

    anyway pantainya bersih padahal itu pantai yang ramai dikunjungi wisatawan yg biasanya pantai2 begitu itu kotor.. tapi ngga heran sih, Indonesia Timur 🙂

    -Traveler Paruh Waktu

    • Akhirnya aku icip seafood di malam harinya, mas, sama hari-hari selanjutnya. Mantap sih. Ikannya gede-gede, udang, kepiting, lobster, sampai perut ga muat hahaha. Bahkan ada kawan lain yang kolesterolnya sampai kumat kebanyakan makan seafood hihi.

  2. Porsi makanan di Papua jumbo banget ya, Mbak Sash. Saya shock pas makan nasi kuning, hari pertama di Papua, di Sorong. Porsinya bisa buat makan 3 kali! 🙂

    Entah kenapa pas di Papua saja malah jadi makin akrab sama bakso. Di mana-mana makan bakso. 🙂

    • Bener mas, jumbo. Bahkan snack-snack satuan pun porsinya jumbo. Pecel lele juga lelenya lebih besar dibanding lele yang biasa kumakan di Jogja. Wajar saja harganya lebih mahal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *