Payung Teduh dan Nada Keempat yang Hilang

Temaram langit senja menemani perjalanan saya meninggalkan Magetan untuk kembali ke Jogja. Kesiur angin menerbangkan anak rambut saya yang kala itu memilih duduk di sambungan gerbong. Di antara laju kereta yang terus menderu, saya dan Faa berbincang tentang banyak hal. Mulai dari langkah demi langkah yang telah kami tapaki, mimpi-mimpi yang ingin digenapi, hingga perdebatan demi perdebatan dengan orang terdekat yang kadang tidak memahami jalan yang kami pilih. Di kejauhan, Gunung Lawu nampak berdiri dengan kokoh.

Jelang malam, Faa memutar musik dari ponselnya. Dia memperdengarkan sebuah lagu yang langsung mencuri perhatian saya

Ku cari kamu dalam setiam malam, dalam bayang masa suram
Ku cari kamu dalam setiap langkah, dalam ragu yang membisu
Ku cari kamu dalam setiap ruang, seperti aku yang menunggu kabar dari angin malam

“Iki lagune sopo lik?”
“Payung Teduh. Apik yo?”

Dan itu adalah perkenalan saya dengan Payung Teduh. Penghunjung April 2012, di atas kereta Gaya Baru Malam.

***

Sebulan kemudian, lagu-lagu Payung Teduh selalu terdengar dari sudut kamar sebuah penginapan sederhana di kota kecil Tanjung Pandan, Belitung. Selain karena Payung Teduh menjadi satu-satunya band yang albumnya saya copy di laptop, musik yang diusung selalu mampu meneduhkan tiap keresahan yang muncul.

Dalam malam-malam sepi di tanah jauh tanpa kawan, Payung Teduh selalu menjadi teman setia kala saya berkutat dengan setumpuk deadline. Tiga minggu penuh lagu-lagu Payung teduh saya putar tiap malam dan menjadi semacam lulaby. Di tengah segala tekanan, kebimbangan, dan keresahan, musik Payung Teduh yang berbalut nuansa vintage dan klasik selalu menjadi penenang. Namun kerap pula liriknya yang puitis membuat saya terkapar kesakitan menahan rindu yang semakin dalam “Di malam hari menuju pagi, sedikit cemas banyak rindunya”.

Belum lagi deretan sms dari Mas Pacar dan kawan-kawan dekat “Kangen kamu. Cepet pulang,” semua makin menambah gumpalan rindu. Di malam-malam galau itu biasanya saya sms Faa dan berakhir dengan ujung bibir yang melengkung naik karena dia selalu menjawab apapun dengan absurd dan konyol. Akhirnya 3 minggu terlampaui dan saya kembali ke rumah.

Tak sampai 3 bulan dari perkenalan pertama saya dengan Payung Teduh, band itu kembali menjadi penenang kala saya memutuskan untuk melepaskan apa yang selama ini saya genggam, memilih pergi ketika bertahan hanya akan saling menyakiti.

Lantas, Faa, Mbak Rina, Ika, Izah, dan Yula mengajak saya mengunjungi Seruni. Di tengah malam bertabur bintang dan suara ombak, Cerita Tentang Gunung dan Laut menjadi soundtrack yang mengiringi tiap kesah yang dibagi.

Aku tak pernah melihat gunung menangis, biar pun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa, biarpun kesejukan bersama tariannya

***

13 Oktober 2012, 3 hari jelang ulang tahun Faa yang ke 24, Payung Teduh mengadakan konser di Taman Lumbini Borobudur. Sebenarnya bukan konser Payung Teduh, melainkan acara bertajuk Solarizing Borobudur yang diadakan oleh Green Peace Indonesia dan Payung Teduh menjadi bintang tamu. Saat itu kami sudah bersepakat hendak datang ke Borobudur. Namun entah karena alasan apa (saya lupa), kami berdua akhirnya batal datang.

Semalam, 18 Oktober 2013, 2 hari setelah ulang tahun Faa yang ke 25, sehari setelah 40 hari Faa, Payung Teduh kembali konser di Purna Budaya UGM. Dan saya untuk pertama kalinya menyaksikan penampilan Payung Teduh secara live.

Di buka dengan “Ku Cari Kamu” ingatan saya langsung mundur setahun ke belakang, mengingat perjalanan di atas kereta kala senja bersama Faa dan bagaimana dia mengenalkan lagu itu. Di tengah deru suara kereta, kami berbagi headset di sambungan gerbong sambil melihat Gunung Lawu di kejauhan. Lantas dia berujar “Romantis ngene kok yo ro kowe yo, Su!”dan saya hanya terbahak.

Kamudian lagu demi lagu dimainkan, mulai dari Angin Pujaan Hujan, Cerita Tentang Gunung dan Laut, Rahasia, Menuju Senja, Tidurlah, Untuk Perempuan yang Sedang Tidur di Pelukan, Berdua Saja, Resah, dan ada lagu baru yang saya belum tahu judulnya.

Mungkin ini adalah konser paling emosional yang saya rasakan. Tiap lagu selalu membawa ingatan saya menuju Faa. Bahkan di lagu Resah yang dinyanyikan bersama-sama tanpa iringan musik akibat gitar Is sempat mengalami masalah, saya hampir menangis. Ini lagu favorit Faa dan entah kenapa saya merasa Faa sedang turut serta menyanyikan lagu ini di samping saya “Aku menunggu dengan sabar, di atas sini melayang-layang, tergoyang angin menantikan tubuhmu”

Belum lagi ketika lagu Untuk Perempuan yang Sedang Tidur di Pelukan dimainkan. Saya dan Mbak Rina hanya saling lirik. Saya ingat, Faa suka dengan bagian “Sedikit cemas banyak rindunya” dan terkadang diplesetkan menjadi “Sedikit cemas, banyak galaunya”.

Jika tidak ingat bahwa malam itu saya berada di tengah konser, mungkin saya sudah menangis tersedu. Harusnya, semalam saya tidak hanya bersama Mbak Rina, namun juga ada Ika dan Faa. Bisa jadi konser semalam menjadi perayaan ulang tahun Faa ke 25 yang terlambat 2 hari, lantas sesudah konser kami akan makan-makan di suatu tempat.

Kami juga akan berteriak dan bernyanyi bersama-sama sambil melakukan hal-hal konyol seperti biasa kala berkumpul. Namun Tuhan berkehendak lain. DIA memanggil Faa pulang lebih dulu dengan caraNYA yang tak pernah kami duga. Dan semalam, adalah 40 hari lewat sehari kepergiannya. Fa, nada ke empat itu sudah hilang menjauh dan tak kan pernah kembali.

Semalam, meski tidak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulut akibat radang tenggorokan, saya tetap berusaha menyanyikan lagu demi lagu. Bernyanyi dalam sunyi. Semoga kau di kesunyian sana mendengarnya, Faa.

Faa, terimakasih ya telah mengenalkan saya pada Payung Teduh. Saya janji, kalau Payung Teduh konser di Jogja lagi sebisa mungkin saya akan selalu melihatnya, lantas saya tuliskan cerita untukmu. Faa, kini kami telah benar-benar mengikhlaskan kepergianmu. Melangkahlah dengan tenang ya.

524657_10201108760348971_94824648_n
Nanti, kita akan bertemu lagi di tempat tinggi.

Oya, semalam juga ada FSTVLST, dia nyanyi lagu “Menantang Rasi Bintang”. Ah aku tau, kau pasti menyanyikan ini keras-keras untuk kami dari surga sana. Iya kan?

Hidup itu sekali dan mati itu pasti, bisa jadi nanti atau setelah ini
Coba tulis ulang lagi, yang sejatinya kau cari
Maka sudahilah sedihmu yang belum sudah
Segera mulailah syukurmu yang pasti indah
Dan berbahagialah, bahagialah…
Sudahilah sedihmu yang selalu saja menantangmu

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

23 Comments

  1. Saya juga suka banget sama Payung teduh, terutama Untuk perempuan dalam pelukan dan Cerita tentang ganung dan laut.
    Salam kenal 😀

    Tos dulu dong, saya juga suka itu. Etapi suka semuanya ding hehehe.

  2. Ah Payung Teduh! *seketika galau di sudut kamar*

    Nanti kita berbagi headset dengarkan Payung Teduh ya, Nona…

    Lagu-lagu Payung teduh itu tidak baik didengarkan terlalu sering, apalagi sama orang yang lagi patah hati hahahaha. Boleh, boleh 🙂

  3. nada ke empat ga akan pernah hilang 🙂
    faa pergi dan pasti nanti kalian bertemu lg.
    Turut bersedih untuk kamu 🙂
    Turut bahagia untuk persahabatan yg indah yg kalian alami 🙂

    Aku jg penikmat payung teduh,aku ngebaca ini karna acount twit payung teduh ngeretweet ini 🙂
    Bless up 🙂

  4. dan dengerin payung teduh dari tetangga sebelah tenda, di savana merbabu-pos-berapaa-lupa: ‘tidurlah’ ketika baru bangun saat ‘menuju senja’ karena kehujanan.. njuk aku kudu piye?
    ya.. salam kenal sahaja juga buat Faa di sana.. God bless travelers.
    berbahagialah~ *kata FSTVLST

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *