Pendar Cahaya di Gunung Gambar

Renjana, kau tahu kenapa ibu menyematkan kata Suluh sebagai nama tengahmu? Karena ibu ingin kau mampu menjadi cahaya penuntun bagi orang-orang di sekitarmu. Cahaya yang menerangi dan bukan cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang mendamaikan dan bukan menceraikan. Cahaya yang menerangi semesta raya.

Selamat pagi dari Gunung Gambar

“Kamu yakin besok mau ke Gunung Gambar? Berangkat subuh lho dek, bRe kan belum bangun!” kata Mas Chandra setengah meragu saat saya pamit hendak pergi ke Gunung Gambar. Bukan tanpa alasan dia mengkhawatirkan kami, sebab ini untuk pertama kalinya saya liputan tanpanya, hanya berdua dengan Renjana.

“Nggak bisa minta diundur Sabtu aja gitu biar aku bisa nemenin? Nanti kamu capek harus gendong bRe dan nggak bisa fokus kerja,” lanjutnya.

Saya hanya tersenyum. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir mendengar dia mengeluarkan pernyataan-pernyataan bernada khawatir seperti itu. Mungkin dua atau tiga tahun lalu. Saat saya masih gemar bepergian sendirian berhari-hari hingga berminggu-minggu dan kadang ponsel tidak bisa dihubungi. Lantas begitu ponsel menyala dia langsung memberondong saya dengan rentetan pertanyaan dan terselip omelan. Ah, mendadak saya rindu masa muda.

“Sudah sih mas tenang aja. Aku sudah mengiyakan je, nggak bisa diundur. Lagipula kan besok ada fotografer. Oci juga aku ajak, jadi nanti biar dia yang jagain bRe,” jawab saya menenangkan.

“Lagipula kan besok juga dijemput mobil. Jadi meski berangkat pagi bRe nggak masalah, kan bisa tidur di mobil,” lanjut saya meyakinkan. Dan sepertinya ucapan saya berhasil. Mas Chan mengangguk tanpa berucap sepatah kata lagi. Bahkan dia membantu mempersiapkan beberapa barang yang harus dibawa.

Maklum, pergi bersama batita alat tempurnya beda dengan pergi sendirian. Mulai dari diapers, baju ganti, makanan ringan, makanan berat, minuman, dan mainan juga turut dimasukkan ke dalam ransel, berjejalan dengan kamera dan perlengkapan liputan lainnya. Tapi inilah seninya. Saya menikmati keruwetan ini.

****

Jangan bayangkan Gunung Gambar seperti Gunung Andong atau Gunung Merapi yang menjulang tinggi. Bahkan dibandingkan Puncak Sikunir atau Gunung Nglanggeran pun Gunung Gambar jauh lebih pendek. Mungkin lebih tepatnya bukit. Ya, bukit dengan puncak gugusan batu yang pernah menjadi tempat pelarian sekaligus pertapaan Ki Ageng Gading Mas. Sebelum dikenal dengan nama Gunung Gambar, kawasan ini bernama Alas Gempol.

View dari salah satu sisi Gunung Gambar.

Lantas sekitar abad ke-17, Raden Mas Said yang juga dikenal dengan nama Pangeran Sambernyowo lagi-lagi menggunakan puncak bukit ini sebagai lokasi pertapaan. Menurut kisah yang dituturkan juru kunci Gunung Gambar, Mbah Supodo, laku tapa Raden Mas Said ini bertujuan untuk mencari wangsit bagaimana caranya mengusir VOC dari wilayah Kartasura.

Dalam pertapaannya, Raden Mas Said mendapatkan wangsit berupa gambaran strategi yang harus dia gunakan untuk berperang. Dari situlah akhirnya tempat ini berubah nama menjadi Gunung Gambar. Di puncak bukit ini terdapat Batu Kong yang konon menjadi tempat duduk Pangeran Sambernyowo. Di Batu Kong tersebut juga terdapat jejak yang dipercayai sebagai jejak tangan dan kaki pangeran.

****

Setelah menempuh perjalanan menembus dinginnya udara subuh, kami pun akhirnya menjejejak di Kawasan Gunung Gambar. Sebenarnya, kendaraan wisatawan harus diparkir jauh di bawah dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan makadam dilanjut dengan menyisir anak tangga. Namun berhubung kami sudah kontak dengan pengelola lebih dulu, maka kendaraan kami diijinkan melaju hingga di depan pendopo utama. Kami hanya perlu mendaki anak tangga batu sebelum tiba di puncak.

Gunung Gambar Ransel Hitam
Spot untuk menikmati senja dan kerlip lampu kota Jogja. Jika cuaca cerah Merapi Merbabu terlihat jelas dari sini.

Kami tiba di pendopo sekitar pukul 05.00 WIB. Langit masih terlihat pekat. Dari pendopo ini terhampar pemandangan kota Jogja yang masih berselimut gelap. Meskipun samar, siluet Merapi dan Merbabu terlihat gagah dikelilingi kerlip cahaya hingga ke pinggangnya.

Cahaya yang riuh namun hening. Cahaya yang menenteramkan. Melihat ribuan pendar cahaya di pagi yang syahdu membuat hati saya merasa hangat.

Namun saya tak bisa berlama-lama menikmati lautan cahaya disini, ada cahaya lain yang akan segera terlihat dari puncak sana. Maka kami pun bergegas berjalan menapaki deretan anak tangga. Mula-mula saya merasa biasa saja meski harus menggendong Renjana. Namun di menit-menit selanjutnya saya merasa begitu payah. Udara pagi memaksa sayamenghirup nafas lebih cepat supaya bisa mendapatkan pasokan oksigen yang cukup. Kaki saya pun terasa semakin berat. Apalagi Renjana terus bergerak di gendongan akibat terlalu bersemangat.

Untunglah salah satu mas-mas yang menjadi pemandu kali ini menawarkan bantuan untuk menggendong Renjana. Dengan senang hati tentu saya iyakan. Dan untungnya Renjana mau digendong olehnya meski baru pertama bertemu. Kini langkah saya tak lagi berat, saya pun bisa merayap di salah satu dinding batu dengan mudah.

****
Meski muncul tiap hari, fajar dan senja tak pernah benar-benar sama. Selalu ada yang berbeda di tiap terbit dan tenggelamnya. Karena itu saya tak pernah bosan memandangi langit pagi juga senja.

Ibaratnya menyaksikan orkestra semesta, melihat langit yang berubah rona, mengamati gelap yang memudar berganti dengan warna-warni indah, semua teramat menyenangkan. Kadang langit berwarna biru, ungu, merah muda, hingga cerlang keemasan. Lantas jika awan sedang menjauh akan terlihat satu titik merah di horizon yang perlahan mendaki kaki langit, semakin merah, semakin besar. Hingga tanpa kita sadari dia sudah bertahta di singgasananya.

sunrise gunung gambar
Selamat pagi dari Gunung Gambar!

Pendar cahaya keemasan memancarkan sinar pagi yang lembut dan hangat, meluruhkan butiran embun di pucuk daun, membuyarkan kabut yang bersemayam sejak semalam, mendamaikan gundah yang melanda hati. Dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah bersyukur atas kesempatan baru yang Dia beri untuk saya berlaku lebih baik.

Pagi ini untuk pertama kalinya saya menikmati keindahan itu bersama Renjana. Padanya putra cahaya yang juga saya selipkan suluh pada rangkaian namanya, inilah cahaya yang ingin ibu kenalkan padamu. Cahaya mentari pagi yang indah, yang menenteramkan. Cahaya yang selalu dinanti oleh setiap orang. Jadilah kamu cahaya cinta yang menerangi semesta raya!

Selamat menikmati cahaya mentari pagi pertamamu dari tempat tinggi, lelakiku!

Traveler notes:

  • Gunung Gambar terletak di Dusun Gunung Gambar, Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul. Bisa diakses lewat Klaten maupun Piyungan. Jalannya sama-sama berlikunya sih.
  • Gunung Gambar berada di zona karst Baturagung dan sedang dikembangkan untuk wisata minat khusus. Tiket masuk ke kawasan ini Rp 3.000 per orang.
  • Selain bagus untuk melihat sunrise, dari pendopo Gunung Gambar wisatawan juga bisa melihat sunset dengan latar Gunung Sindoro Sumbing.
  • Sebelum berkunjung ke tempat ini pastikan kendaraanmu dalam kondisi prima karena jalannya naik turun dan berkelok.
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

24 Comments

  1. wah. Bre akhirnya naik gunung. Meski cuma puncak Gambar. Aku malah belum pernah ke sini Mba. Penasaran sama plang-nya setiap lewat wonosari.
    Nama Bre keren ya. Renjana Suluh.
    Mungkin kalau aku yang gendong Bre, dia bakal nangis ky tempo lalu. haha
    Coba main ke Gunung Gentong Mba. di sana ada bnyk tersebar puncak2 gunung yang tak ekstrim. Tapi kondisi kendaraan harus benar2 fit. Di sana ada Gunung Gentong, Gunung Tunggak, Gunung Bantal, dan tempat pesanggrahan Prabu Brawijaya. Menarik sejarah dan budayanya. Di Gedangsari tepatnya.

    • Aha iya, udah tahun lalu sih. Penasarannya juga dari dulu dan akhirnya kesampaian. Tempatnya masih suepi banget karena emang belum digarap maksimal. Katanya rencana pengembangan baru tahun ini. Banyak kisah menarik di Gunung Gambar.

      Nama lengkapnya Renjana Suluh Arcapada om Hanif 🙂

      Gedangsari itu emang kece yak. Green Village yang disana juga lagi dikembangin sama mas Cahyo Alkantana buat wisata minat khusus. Jadi pengen kesana deh.

      • namanya apik Mba. hehe.
        Iya, baru akhir tahun lalu diresmkian sama mas Bro Cahyo terkait flying fox terpanjang di asia-nya. Aku sempat kesana pas belum ada begituan. Dan sudah menjadi spot menikmati sunset yang syahdu.

  2. Gunung Gambar sekarang banyak dipakai teman-teman pesepeda buat kemping. Seru juga bisa melihat sunrise dari sana. Walau relatif dekat, tapi belum sepenuhnya ramai. Malaha syik sih kalau tidak ramai, jadi bisa menikmati suasana nyaman di sana.

    • Daku malah seneng Gunung Gambar yg enggak rame, mas. Jadi syahdu hehe. Mungkin efek aksesnya yang agak susah kali ya. Saya juga pengen sih camping disini. Tapi rame-rame, agak spooky kalo cuma sedikit orang hehe.

  3. Cantik jg ternyata pemandangan yg dijanjikan Gunung Gambar. Bahkan sindoro sumbing terlihat jg dr sini ya mba. Isssh kece! Bre keren diajakin nyunrise subuh2 gak rewel :*

    • Cantik sih. Dan katanya lebih cantik lagi kalo pas kabut tebel nutupin lembahnya. Ini kemarin masih biasa aja kata mas penjaganya.

      Bre mah kalo diajakin dolan anteng2 aja. Rusuhnya cuma kalo udah minta es krim ahahaha.

  4. Walau susah payah senang ya kalau sudah sampai. Hebat mba Elizabeth bawa balita. Nggak kebayang rempongnya…tapi salut, anak-anak memang perlu diperkenalkan kepada keindahan alam sejak dini supaya belajar mencintai…salam kenal..

  5. Hmmmm, menyentuh sekali filosofi nama Suluh yang disematkan. Semoga doa Ibu tercapai ya Bre 🙂

    Ah, sebuah nilai lebih ketika di satu titik kita bisa melihat sunrise dan sunset. Kita bisa leluasa menggambar-gambar lukisan alam sesuai nama yang disematkan 🙂

  6. Salut si bre juga diajak mba.. Aku kalo udh berhubungan ama mendaki gunung atopun hanya bukit, duuh nyerah lah kalo si kecil dibawa :D. Akunya sendiri kdg ga kuat :p.

  7. Aku belum pernah naik gunung. kalah sama bRe 😀

    tapi lucu yah si kecil udah di kenalin sama alam. Nanti pas gede pasti suka jalan jalan.

    Btw itu murah banger cuma 3 ribuuu. Kereen.

  8. Jadi inget dulu naek Gunung Merapi pas masih jadi mahasiswa di Jogja. Itu yang pertama dan terakhir sampe sekarang…
    Fotonya keren.
    Moga nama yang “terselip” itu jadi kenyataan…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *