Napak Tilas Jejak Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua

Patung Yesus di Pulau Mansinam

Hari belum juga siang, tapi mentari sudah bersinar garang di Pulau Mansinam. Keringat membasahi anak rambut saya, mengalir turun hingga ke dagu dan leher. Di balik kaos yang saya pakai, badan terasa lengket dan basah. Saya jadi merasa sia-sia sudah menghabiskan 10 menit pertama menjejak di Manokwari dengan bersolek di toilet bandara.

“Masih jauhkah bang puncaknya?” tanya saya pada Bang Aldi, driver yang seharusnya hanya menjemput di bandara tapi saya todong untuk sekalian mengantarkan jalan-jalan.

“Sudah dekat, kakak,” jawabnya sambil tersenyum ramah. Nampaknya dia merasa kasihan sekaligus geli melihat tampang saya yang terlihat sangat berantakan.

Seharusnya perjalanan ini bukanlah sesuatu yang berat. Kami hanya berjalan sekitar 1,5 km menyusuri salah satu sisi Pulau Mansinam, lantas berbelok menaiki bukit supaya tiba di titik tertinggi pulau ini. Berjalan kaki pelan pun tak akan memakan waktu 30 menit.Masalahnya, saat itu saya baru saja tiba di Papua setelah menempuh perjalanan udara Jogja – Makasar dilanjutkan terbang dini hari menuju Manokwari. Tanpa istirahat mau pun sarapan lebih dulu, saya dan seorang kawan langsung menyeberang menuju Mansinam.

Tubuh yang lelah ditambah harus mendaki bukit membuat kaki saya terasa berat melangkah. Apalagi saya juga lupa membawa bekal minuman. Saya hanya membawa sebotol air mineral 300ml yang tersisa separuh dan harus diirit-irit hingga perjalanan pulang. Capek, gerah, lapar, haus, lengkap sudah penderitaan.

“Duh, mau berjumpa Yesus gini amat ya perjuangannya. Berat” kata saya sambil terengah-engah yang disambut senyum lebar Bang Aldi.

Pulau Mansinam, Tengara Sejarah Peradaban Modern di Papua

Sumur tua berusia ratusan tahun

Sejak pertama kali mendapatkan pemberitahuan bahwa saya harus ke Papua, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari tahu tempat menarik apa yang bisa saya kunjungi. Meski tujuan utama perjalanan kali ini bukanlah berwisata, tapi tak ada salahnya kan menyambangi destinasi-destinasi cantik di sela-sela waktu luang?

Saya pun mulai mencari informasi tentang wisata Manokwari di internet. Maklum, generasi milenial. Dibanding bertanya kepada kawan yang lahir di Manokwari, saya lebih memilih untuk mencari segala sesuatunya secara online. Lebih praktis dan datanya lengkap. Saat saya bingung, baru saya bertanya pada kawan.

Setelah mendapatkan data nama-nama destinasi wisata di mesin pencari, saya pun berpindah ke Instagram guna mengetahui lebih detil mengenai tempat wisata tersebut. Kenapa saya mencari di Instagram? Karena gambar-gambarnya valid dan biasanya ada caption yang berisikan pengalaman pengunjung. Saya jadi bisa mendapatkan gambaran tempat wisata secara utuh.

Saya menggunakan tagar #wisatamanokwari rupanya hasilnya tidak terlalu banyak. Lantas tagar saya kerucutkan menjadi #PulauMansinam kali ini ada ribuan entri foto. Saya pun membukanya satu persatu. Pulau yang cantik, gumam saya. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan saya pun meyakinkan rekan seperjalanan bahwa Mansinam harus menjadi destinasi pertama yang dikunjungi begitu menjejak di Papua.

Terletak di kawasan Teluk Doreri, Pulau Mansinam menjadi pulau yang memiliki peranan penting bagi peradaban modern masyarakat Papua saat ini. Pulau ini adalah saksi sejarah menjejaknya dua misionaris Kristen asal Jerman, Carl Wilhelm Ottouw dan Jogann Gottlom Geissler.

Lokasi yang diyakini sebagai tempat pendaratan dua misionaris Jerman di Mansinam

Pada 5 Februari 1855, dua misionaris tersebut tiba di Pulau Mansinam setelah sebelumnya mendapatkan “surat jalan” dari Sultan Tidore yang merupakan salah satu kerajaan Islam di nusantara. Tujuan utama mereka adalah untuk mengabarkan injil kepada penduduk asli.

Tentu saja jalan mereka tidaklah mudah. Suku Numfor yang merupakan penduduk asli bersikap sangat tertutup kepada orang asing. Tapi kedua orang yang dianggap sebagai rasul Papua itu tidak menyerah. Mereka melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui hubungan dagang. Selain itu mereka juga mengajarkan berbagai ketrampilan seperti cara membuat rumah, menenun, hingga membaca dan menulis.

Berawal dari merekalah injil dan peradaban modern masuk ke Papua. Dari Mansinam, injil dan ketrampilan baru yang dimiliki suku asli mulai menyebar ke Biak, Nabire, Wasior, dan daerah Papua lainnya. Guna mengenang sejarah tersebut, kini setiap tanggal 5 Februari dikenal sebagai Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua.

Pada tanggal tersebut, Pulau Mansinam akan ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai sudut Papua. Bahkan setiap 5 tahun sekali akan diadakan perayaan besar-besaran guna memperingati hari tersebut. Tak hanya itu, di Mansinam juga sudah dibangun situs pekabaran injil berupa patung Yesus setinggi 30 m serta sebuah gereja yang sangat besar.

Patung Yesus ini cukup mencolok, ia terlihat dari pesawat maupun dari daratan, khususnya dari kawasan Pasir Putih. Dan situs pekabaran injil inilah yang akan menjadi tujuan utama saya ke Mansiman. Ngomong-omong, semua informasi ini sudah saya dapatkan sebelum saya menjejak di Mansinam. Semua gara-gara informasi di internet yang melimpah.

Berjumpa Yesus dan Bapak Camat di Pulau Mansinam

Kapal yang selalu berjaga di dermaga untuk mengantar jemput penumpang

Untuk mencapai ke Pulau Mansinam sangatlah mudah. Terdapat taksi laut alias kapal yang selalu standby di dermaga daratan utama. Kapal ini akan berangkat saat penumpangnya sudah banyak. Namun jika terburu-buru dan tidak sabar menunggu, kita bisa menyewanya.

Hari itu saya sedang beruntung. Rupanya ada rombongan pemerintah Distrik Manokwari Timur yang hendak mengadakan kunjungan kerja alias “blusukan” ke Mansinam. Awalnya saya pikir mereka adalah penumpang biasa atau wisatawan seperti saya. Setelah ngobrol ngalor ngidul saya baru tahu bahwa di dalam rombongan ada juga Bapak Kepala Distrik alias Bapak Camat. Tanpa malu saya pun memohon ijin untuk bergabung dengan rombongan mereka.

Dalam penyeberangan yang tidak sampai 15 menit itu saya banyak bercakap dengan Bapa Yohanes yang baru saja ditugaskan menjadi Kepala Distrik pada pertengahan Desember lalu. Beliau mengungkapkan bahwa Distrik Manokwari Timur memiliki potensi wisata yang banyak. Mulai dari Pulau Mansinam, Pulau Lemon, Pantai pasir Putih, Pantai Bakaro, dan masih banyak lagi.

Saat pun menyarankan Bapa Yohanes untuk mempromosikan potensi wisata yang dimiliki oleh daerahnya. Tentu saja promosi secara digital. Hal ini mengingat generasi sekarang adalah generasi digital yang mencari informasi apa pun melalui genggaman. Bagaimana tempat wisata bisa terkenal jika tidak ada yang mengetahuinya? Jika tidak ada yang mempromosikannya melalui internet.

Bapa Yohanes pun menjawab bahwa selama ini akses internet di Manokwari memang belum terlalu bagus. Internet sudah ada, hanya saja kecepatannya sangat lambat alias lola (loading lambat). Hal itulah yang menjadi penghambat pengembangan wisata di daerahnya.

Saya kemudian bercerita kepada Bapa Yohanes tentang Proyek Palapa Ring Paket Timur yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Bahwa saat ini pemerintah melalui BAKTI (Badan Aksesibiltas Telekomunikasi dan Informasi) sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan akses telekomunikasi dan informasi guna mewujudkan akselerasi telekomunikasi di seluruh pelosok negeri.

“Kelak jika proyek Palapa Ring Timur sudah 100 persen selesai pasti akses internet akan lebih lancar dan mudah, Bapa. Nanti Bapa bisa promosikan wisata yang bagus-bagus ini” kata saya.

P81220-102029(1)-01
Pertemuan Warga Pulau Mansinam dan Kepala Distrik Manokwari Timur

Baca: Cerita #BAKTI Palapa Ring Timur Manokwari

Sesampainya di Pulau Mansinam, kami pun berpisah jalan. Bapa Yohanes dan rombongan mengadakan audiensi dengan masyarakat, sedangkan saya, Babe, dan Bang Aldi menyusuri jalan menuju puncak bukit. Sebelumnya, kami berfoto dulu sebagai kenang-kenangan.

Sesudah berpisah dengan rombongan mereka, kami bertiga pun melanjutkan langkah menuju sumur bersejarah yang dibangun sejak kedatangan 2 misionaris Jerman. Sumur tua yang sudah berusia ratusan tahun itu masih bisa ditimba. Airnya terasa sangat digin dan segar di tengah cuaca Papua yang terik.

Dari sumur, kami lantas menyeberangi pekarangan berumput hijau menuju jalan berundak. Hari itu suasana tampak semarak dengan bunga-bunga liar yang bermekaran serta kupu-kupu berterbangan. Sayangnya bunga dan rumput liar itu tumbuh tidak di tempat yang tepat. Mereka mengepung nyaris separuh badan jalan menuju puncak.

Saat saya singgah ke gereja besar yang diresmikan oleh Presiden SBY pada tahun 2014 lalu, halaman gereja juga nampak ditumbuhi ilalang. Sayang sekali gereja yang besar dan bagus serta situs sejarah sepenting ini tidak terawat dengan baik.

Sambil berteduh di bawah pohon kersen, saya melayangkan padang ke bawah. Terlihat lautan biru jernih dan kota Manokwari di kejauhan. Pemandangan yang sungguh menenteramkan hati dan jarang dijumpai oleh anak gunung seperti saya.

Pemandangan dari Gereja baru di Pulau Mansinam. Bangunan biru merupakan gereja lama.
Pemandangan dari Gereja baru di Pulau Mansinam. Bangunan biru merupakan gereja lama.
Gereja yang kurang terawat
Patung Yesus sudah terlihat

Merasa cukup beristirahat, kaki kembali kami langkahkan melewati jalan yang kotor dan berlumut. Di sisi kanan dan kiri pohon-pohon tumbuh besar. Rasanya seperti berada di hutan lebat. Dengan bodohnya saya bertanya “Di sini masih ada hewan buas nggak ya? Macan gitu?”. Sontak dua teman seperjalanan saya terbahak. Saya baru ingat bahwa ini Papua, bukan Sumatra. Tidak ada macan di Papua.

“Kakak, itu patungnya sudah terlihat,” seru Bang Aldi tiba-tiba.

Saya pun langsung mendongak dan tersenyum lebar. Patung Yesus setinggi 30 meter ini berdiri dengan gagah di atas 4 buah pilar. Kedua tangannya terentang menyambut siapa pun yang datang. Mendadak saya jadi teringat 1 ayat dalam alkitab.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Matius 11:28

Setelah melewati jalan mendaki, akhirnya ku menemukanmu, Yesus. Saya gegas mengeluarkan ponsel dan selfie di bawah patung dan langsung mengunggah ke akun sosial media. Tak sampai lima menit, puluhan like dan komen mampir di akun saya. Whatsapp saya pun mendapat banyak kiriman pesan “Aku iriiii, kok kamu sudah sampai Papua?”

Sampai Jumpa Lagi, Mansinam

Sampai jumpa lagi, Masinam

Hanya 30 menit saya berada di bawah kaki Yesus. 30 menit yang saya habiskan dengan selfie, update foto, selonjoran dan menikmati semilir angin. Sebab memang tidak ada hal lain yang bisa dilakukan di sini. Tak ada papan informasi yang bisa di baca atau hal menarik lainnya. Hanya rumput tinggi yang menemani. Sayang sekali, padahal tempat ini sangat potensial untuk dikembangkan asal dirawat dengan baik.

Sesudahnya kami memutuskan untuk kembali ke bawah. Berbeda dengan perjalanan naik yang ngesot seperti keong, perjalanan turun kami lakukan dengan cepat dan langkah lebar. Selain patung Yesus, sebenarnya masih ada beberapa titik menarik yang bisa disinggahi, yakni gereja Lahai Roi yang masih digunakan hingga saat ini, museum, serta monumen. Tapi tenggorokan yang kering memaksa saya untuk gegas mencari kios dan melupakan situs-situs tersebut.

Tepat di tepi pantai di mana orang-orang sedang menunggu kapal datang, terdapat kios-kios sederhana. Saya pun menghampiri salah satu mama dan membeli seplastik es sirup seharga 2 ribu rupiah. Harga yang murah untuk mengobati rasa dahaga. Padahal tadinya saya sudah berpikir harga-harga di Papua pasti mahal. Eh ternyata masih ada minuman seharga 2 ribu.

Es sirop 2 ribuan
Pulau mansinam
Terima kasih, Mansinam

Tak berapa lama kapal yang ditunggu datang. Kami pun antri naik satu-persatu. Sebelum kapal bertolak saya pandangi Pulau Mansinam lekat-lekat. Sampai jumpa lagi, Mansinam. Semoga kelak saya bisa mampir sini lagi bersama Renjana dan ayahnya. Dan semoga kelak Pulau Mansinam sudah makin bersolek untuk menyambut wisatawan milenial yang bertandang, karena pulau ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan.

Catatan Pejalan

  • Pulau Mansinam terletak di Provinsi Papua Barat. Saat ini ada banyak maskapai yang melayani penerbangan ke Papua Barat. Anda bisa mencarinya di situs-situs perjalanan. Untuk penginapan juga tidak usah khawatir. Di Manokwari terdapat banyak penginapan yang bisa dipesan secara online melalui situs pemesanan hotel.
  • Untuk menuju Pulau Mansinam, Anda bisa naik kapal dari dermaga kecil di Jalan Pasir Putih. Tarif kapal sekali jalan Rp 5.000 per orang.
  • Anda ingin ke Mansinam namun tak tertarik dengan situs pekabaran injil? tenang saja, Anda tetap bisa bersenang-senang di sini. Pulau Mansinam memiliki pantai berpasir putih dan berair jernih. Sangat cantik khas lanskap Indonesia Timur. Jadi Anda bisa bermain-main di pantai ini.
  • Jika tidak membawa kendaraan sendiri, Anda bisa naik ojek (orang dengan helm kuning adalah tukang ojek) dari pusat kota Manokwari. Jaraknya tidak terlalu jauh.
  • Jika ingin mendapatkan suasana perayaan yang ramai di Pulau Mansinam, datanglah pada bulan Februari, tepatnya tanggal 5 Februari. Karena pada tanggal tersebut ada perayaan Hari Pekabaran Injil yang terpusat di Pulau Mansinam.
  • Jangan lupa untuk membawa makanan dan minuman supaya tidak kelaparan. Berhubung udara di Mansinam cukup panas, bawalah air minum yang banyak.
  • Kalau tak ingin kulitmu gosong terpanggang matahari Papua yang garang, bawalah payung, topi, dan penutup kepala lainnya. Memakai sunblock sangat disarankan.
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

49 Comments

    • Itu aku beruntung Alan. Seperginya aku dari Mansinam langit langsung berubah kelabu hehehe. Airnya jernih banget. Sayang sih lokasi bagus tapi kurang terawat. Semoga suatu saat Alan bisa ke sini, ya.

      Betewe nggak sengaja banget itu ketemu Pak Camat ahahaha. Malah jadi bisa ngobrol-ngobrol.

  1. Kayaknya suasananya jadi sangat religius ya, Mbak begitu bisa “bersimpuh” di kaki Yesus? Sempat memikirkan tentang bahwa kita ini sangat kecil di mata Tuhan nggak, Mbak? Hahaha.
    Kadang akupun begitu kalo di masjid, berasa kecil banget nggak ada apa-apanya. Sayangnya baru sebatas “kadang” belum konsisten 🙁

    Sejauh yang pernah aku baca-baca, lanskap Papua banyak yang berbukit terus dari bukit itu bisa melihat laut. Hahaha.

    Lho iya juga ya? Setelah garis wallace itu nggak ada lagi harimau ya. Apalagi di garis weber ke timur itu khas hewan berkantung sih. Berarti harusnya tanya: di sini ada kanguru atau koala gitu nggak ya? Hahaha.
    Eh kalau spesies ular ada nggak ya? Hahaha

    • Sebenarnya aku bersimpuh itu karena kelelahan sih, Gal. Muahahahahaha. Nggak ada niatan ziarah, jadi ya gitu deh. Cuma ya sejak menjejak di Papua cuma wow wow aja sih, “hasil karya tanganMu keren banget Gusti” gitu aja. Dan ya, merasa aku bukan siapa-siapa di bentangan semesta ini. Buatku salah satu esensi dari travelin itu sih. Semakin menyadari keajaiban karya Tuhan dan disadarkan bahwa manusia tu bukan pusat semesta, jadi nggak usah sombong dan songong. Kita cuma seuprit di jagat raya ini. Tak terlihat malah.

      Manokwari ini kota di tepi pantai, tapi belakangnya langsung bukit. Kalau malam vienya bagus banget. Kaki bukit yang berbatasan laut penuh cahaya warna-warni.

      Dibilangin aku lagi keluar lemot-nya, gak kepikiran apa itu garis webber n walacae ahahahaha. Makanya begitu nyadar pertanyaanku aneh aku ngakak sendiri. Kata temanku disini banyak Paniki. kalau ular mah mestinya ada ya. Kayaknya dia ada di mana-mana deh.

  2. Aku ikut menelan ludah pas baca air mineral 300ml tinggal setengahnya ahaha. Kekuranganku mbak, kalau keadaannya laper (sedari tadi pagi belum makan), haus, panas dan jalan jauh, bakal timbul rasa nggak mood. Lama-lama suami paham, kui mung kelaperan po haus, *ditandai semakin irit berbicara untuk menghemat energi 😀
    E tapi bersyukur ketemu es sirup dua ribuan… syurgaa.

    Berharap banget ya intrenet Papua bisa segera lancar, biar orang-orang semakin banyak informasi mengenai pulau-pulau potensial seperti Mansinam.

    • Itu beneran perjuangan banget mbak. Mana aku kan peminum kelas berat. Jadi sepanjang jalan naik agak males-malesan juga. Nggak mood, sama kayak dirimu hihi. Oya dudulnya lagi aku tu lupa kalau bawa payung cobaaaaaak. Begitu mau jalan balik masukin kamera ke tas baru ingat kalau bawa payuuuung. Duuuh, tau gitu kan ya dipakai dari tadi. Kzl akutuuu.

      Yap bener banget. Karena informasi tentang tempat-tempat potensial seperti ini masih sangat jarang. Semoga setelah internet lancar ada perubahan ya.

  3. Itu gerejanya walaupun kurang terawat tp masih dipakai kan mba? atau semua kegiatan peribadatan di gereja lahai roi? kok sayang bgt kalau engga.

    aku kok ikut merasa lega liat seplastik es sirup stelah baca jalan nanjak kepanasan. wkwkwk

    • Kayaknya cuma dipakai kalau pas acara besar aja deh, semacam pas peringatan hari Pekabaran Injil tanggal 5 November itu. Karena gede bangeeet. Aku nggak sempat nanya-nanya sih, tapi sepertinya kalau ibadah mingguan di Lahai Roi itu. Eman-eman ya. Udah gitu pemerintah sana ada wacana mau bikin gereja gede satu lagi cobak, ckckckckck, aku geleng-geleng. Mayoritas kadang emang ngeselin ahahahaha.

      Awalnya aku sedih pas mama-nya bilang nggak jual air mineral. Tapi begitu melihat bongkahan es dan sirup mataku berbinar-binar hihi.

  4. Waaaaa…lautnyaaaa…langsung ngingetin aku pas kamu pertama kali ke Belitung itu. Yg ada kapalnya itu tnjng kelayang, yg ada phon2 kelapa itu pulo kepayang. Mirip ga sih? Hahahaha

    • Padahal Manokwari itu ibukota provinsi Papua Barat lho, tapi kalah pamor sama Sorong memang namanya. Nggak jauh dari Pulau Mansinam ini juga ada pulau kecil, Pulau Lemon namanya. Sepertinya asyik juga dikunjungi. lautnya jerniiiih.

  5. Mbaak, andai tahu mau ke Papua, kukenalkan sama teman – blogger seniornya Makassar yang sering bolak-balik Papua – Makassar untuk bekerja. Dia sering menulis tentang Papua juga. Di Manokwari pun ada adiknya suami saya.

    Untungnya ketemu ya tempat-tempatnya. Memang di sana lelet sinyalnya. Semoga nanti akan menjadi lebih bagus jika infrastruktur selesai dibangun.

    • Hihi, perjalanan mendadak ini mbak. Untung di sana ketemu adik tingkatnya suami di kampus yang juga kakak kelas saya jaman SMA. Jadinya bisa minta tolong dia buat nganterin kemana-mana saat ada waktu luang. Wah adih ipar mbak di Manokwari juga tho.

      Lelet banget. Hotel sekelas SwissBell aja wifinya parah hihi.

  6. ternyata sejarah penyebaran injil ini yang membuat ada patung yesus besar sekali itu yaa, awalnya aku penasaran kenapa dibangunnya di pulau mansinam, kenapa bukan di Jayapura. Dan sultan tidore punya toleransi tinggi yaa, keren 🙂

  7. Luar biasa, Mbak. Menempuh perjalanan yang jauh, terus dilanjutkan mendaki bukit dengan bekal air mineral yg sedikit. Kalau saya mungkin sudah melambaikan tangan. 🙁

    Pulau Mansinam ini, selain sebagai tempat bersejarah penyebaran injil, pantainya cakep abiiisss…

    Air lautnya masih jernih begitu. Jadi pengen ke sana..

  8. Gerejanya bagus ya arsitektur nya, sayang kalo nggak terawat. Bener juga mbak, mestinya ada penjelasan agar yang datang bisa mengetahui sejarah kehadiran penyebar Injil di Papua.

    Dan aku salfok dengan foto2 pantai di Pulau Mansinam. Laut dan langit sama birunya, dengan air yang jernih, surga di negeri kita

    • Seru mbak, menyenangkan hati dan jiwa.
      Ahahaha, enggak perang kok Mbak. Media saja yang framingnya kadang terlalu berlebihan. Yang sedang bermasalah itu kabupaten Nduga, dan itu hanya sebagian kecil Papua. Masih sangat banyak daerah yang aman untuk dikunjungi.

  9. Berasa lihat lukisan! Cantik sekali ya Masinam. Duh belum pernah menjejak pulau-pulau yang memiliki keelokan alam asri seperti Masinam ini. Suatu saat berjanji pada diri sendiri untuk bisa berpetualang keliling Indonesia dan menyaksikan indahnya dengan mata kepala sendiri.

    • Saat pertyama tiba di dermaga saya juga cuma bisa diam. Baguuuusss banget pemandangannya. Dan itu adalah pemandangan sehari-hari untuk mereka. Amiiin, semoga suatu saat mewujud ya. Saya pun ingin berkelana menyusuri lekuk Indonesia.

  10. Mansinan, pulau yang indah. Lautannya indah, biru banget.
    Ooo jd begitu sejarah Pekabaran Injil di sana.
    Kebayang kalau ada akses internet lancar di sana, pasti tambah maju. Moga2 juga diiringi dengan transportasi yg mudah (tiket murah ke sana xixixi).

  11. MasyaAllah pula Mansinam yang indah di Papua ini ya Mba. Indonesia emang kaya banget akan keppulauannya.
    Gerejanya juga bagus, semoga dirawat dengan baik dan mulai ada semacam guide buat mengenalkan sejarahnya.

  12. Aku baru pertama kali liat gereja bentuknya unik gitu. Tapi iya sayang gak terawat. Dan aku mupeng banget mau main ke sana. Latihan sebelum main ke Christ the Redeemer haha amiiin

  13. Duh, kedua kalinya mampir ke blog mu mbak dan fix aku akan sering rajin mampir ke sini karena bahasa yang digunakan simple banget.

    ahaha. pas baca “duh, mau ikut Yesus kok gini amat ya perjuangannya. Berat”, saya langusng ingat lagu Saya mau ikut Yesus yang potongan liriknya “… meskipun saya susah, menderita dalam dunia. Saya mau ikut Yesus sampai selama-lamanya”

    Terima kasih ya mba untuk ceritanya di Pulau Mansinam.

  14. Sejarah penyebaran agama Kristen di Papua erat kaitannya dengan Kesultanan Tidore. Aku agak lupa sejak masa sultan siapa. Saat itu ada sejumlah misionaris bertandang ke Tidore untuk meminta izin mengabarkan Injil. Oleh Sultan, diberi daerah yang masih dalam wilayah kekuasaan kesultanan, yaitu Papua.

    Membaca sejarah ini, dan valid, merupakan pelajaran bagaimana keberagaman itu sangat dihormati.

    • Iya Rifqy, sepintas yang aku baca begitu. jadi dua misionaris ini sowan ke Sultan Tidore kala itu. Bahkan mereka belajar bahasa juga di sana supaya bisa berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Mereka sempat tinggal di Tidore berbulan-bulan sebelum berangkat ke Mansinam ini.

      Itulah pentingnya belajar sejarah, biar orang-orang tau bagaimana dan apa yang terjadi di masa lampau. Lantas belajar dari sana. Yang salah jangan ditiru, yang baik tetap dilestarikan. Sayang banyak yang alpa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *