Nostalgia Wonosobo, Melabuhkan Rindu di Kampung Halaman

Duabelas tahun tinggal di Yogyakarta tak lantas membuat saya lupa untuk tetap mencintai Wonosobo. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepat di kaki Gunung Sindoro – Sumbing, dan mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Jika di kalangan wisatawan asing Bali lebih dikenal dibandingkan Indonesia, Wonosobo pun bernasib sama. Dataran Tinggi Dieng jauh lebih dikenal oleh wisatawan dibanding Wonosobo. Kota ini hanya menjadi persinggahan para pejalan yang bepergian dari Purwokerto menuju Semarang, atau dilewati para pelancong yang hendak vakansi ke Dieng.

Tapi tidak bagi saya. Kota ini adalah tempat saya lahir dan dibesarkan, tempat saya pertama kali mengenal dunia, dan tempat menyerap dasar-dasar nilai kehidupan sehingga membentuk saya seperti sosok yang sekarang. Sejauh apa pun saya pergi, Wonosobo selalu menjadi tempat yang indah untuk kembali.

kampung-halaman-ransel-hitam
Pemandangan tiap pagi yang dijumpai di kampung halaman

Pada tahun-tahun pertama kuliah, kerinduan saya pada kampung halaman biasanya saya luruhkan tiap akhir pekan. Di sabtu pagi saya naik bus antar provinsi lewat jalur utara (Magelang – Temanggung), lantas minggu sore kembali ke Jogja nebeng kawan atau saudara sepupu naik motor lewat jalur selatan (Salaman – Borobudur). Semakin lama intensitas kepulangan pun semakin berkurang, apalagi setelah kerja, menikah, dan punya anak. Pulang kampung pun hanya bisa dilakukan pada momen-momen libur panjang seperti Lebaran dan akhir tahun.

Lebaran kali ini sempat ada niat untuk tidak pulang. Saya ingin melancong ke tempat jauh, mumpung suami libur panjang. Namun sejak berbulan-bulan sebelumnya ibu sudah rajin menelepon untuk menanyakan jadwal kepulangan dan meminta supaya saya berada di rumah agak lama. “Aku kangen ro putuku, gek ndang mulih! Neng omah sek suwi yo!” (aku rindu dengan cucuku, cepatlah pulang! Tinggal di rumah yang lama ya!) begitu katanya berulang-ulang. Mendengar permintaan itu hati saya pun luluh dan memutuskan untuk mudik saat Lebaran.

Akhirnya 2 hari jelang Lebaran kami sekeluarga pulang ke Wonosobo. Saya tiba di rumah ibu sekitar jam 7 malam dan disambut dengan pelukan hangat serta tawa bahagia yang tak berkesudahan. Barisan toples berisi penganan khas lebaran pun seolah-olah berdiri berderet ikut menyambut kedatangan saya. “Itu semua ibu siapkan untukmu,” kata ibu sambil tersenyum bangga. Saya hanya meringis geli.

Meskipun keluarga kami tidak merayakan Lebaran, namun kami tetap larut dalam sukacita lebaran. Seperti tradisi di kampung kami pada umumnya, seminggu sebelum lebaran tiba para ibu-ibu akan mulai memasak aneka kue dan penganan khas lebaran, mulai dari nastar, peyek kacang, kembang goyang, kacang telur, kacang bawang, kue satu, dan masih banyak lagi. Lantas kue-kue tersebut disimpan rapat-rapat dan baru dihidangkan saat lebaran. Berhubung ibu tidak pandai memasak, maka ibu membeli penganan tersebut. Selain itu ibu juga mendapatkan banyak kiriman dari tetangga-tetangga yang merayakan lebaran. Nanti biasanya saat Natal tiba gantian ibu yang akan mengirim kue untuk para tetangga.

Setelah tradisi membuat kue usai, dua hari jelang Lebaran akan ada pemotongan sapi. Sapi-sapi ini biasa dibeli oleh orang-orang yang tergabung dalam kelompok tani atau kelompok pekerja. Mereka membelinya saat masih anakan, setahun sebelum Lebaran. Lantas sapi itu dipelihara hingga besar. Ketika Lebaran tiba, sapi dipotong dan dibagi-bagikan ke anggota kelompok. Masing-masing orang akan mendapatkan bagian sesuai dengan uang yang mereka setorkan pada tahun sebelumnya. Jadi meski harga sapi melonjak tinggi, mereka tak perlu khawatir sebab sudah memiliki daging sapi yang melimpah. Ibu tak pernah ikut kelompok sapi ini, tapi lagi-lagi di tiap Lebaran pasti mendapatkan daging sapi mentah dari kerabat untuk diolah. Enak bener ya jadi ibu saya? Ahahahaha.

Jelang malam Lebaran, kembang api beraneka rupa menghiasi langit malam. Rumah ibu saya ini benar-benar di kampung yang dikelilingi hutan dan jauh dari hiruk pikuk kota. Jadi percikan indah warna-warni di angkasa kala malam tiba benar-benar menjadi hiburan yang sangat menyenangkan. Langit yang tadinya gulita untuk sesaat dipenuhi cahaya yang meletup-letup, lantas memudar. Tawa bahagia anak-anak dan orang dewasa yang turut menyaksikan dari beranda rumah masing-masing menghiasi malam yang biasanya hening. Setelah kembang api habis, giliran suara petasan yang bersahut-sahutan dengan kumandang takbir.

Hari pun berganti pagi. Kumandang takbir dari masjid menandakan bahwa Idul Fitri sudah tiba. Di saat seluruh warga muslim sholat Ied di masjid, satu persatu anggota keluarga kami bergegas mandi lantas berdandan rapi. Kami semua mengenakan pakaian terbaik. Sesudah itu saya dan seluruh warga kampung yang tidak merayakan Idul Fitri berduyun-duyun memadati jalanan di depan masjid. Tujuan kami hanya satu, yakni menyambut warga yang selesai sholat Ied untuk mengucapkan selamat Idul Fitri dan saling bermaaf-maafan.

Merayakan lebaran, merayakan keberagaman.

Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun dan terus dihidupi hingga kini. Jika di daerah-daerah lain kerap terjadi tindakan intoleransi antar umat beragama, di kampung saya toleransi benar-benar dijunjung tinggi. Kami tahu bahwa kami berbeda, namun itu bukan sebagai pembatas melainkan sebagai suatu kekayaan yang harus dirayakan. Warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan rukun dan saling membantu.

Setelah menunggu beberapa waktu, sholat ied pun usai. Kami yang tadinya berkerumun di jalanan pun berbaris rapi dari pintu gerbang masjid hingga mengular jauh di sepanjang jalan. Kami mengucapkan Lebaran kepada warga yang baru keluar dari masjid sekaligus saling bermaaf-maafan. Buat saya ini adalah momen yang paling saya rindukan saat Lebaran tiba. Inilah saatnya dimana saya bisa bersua dengan seluruh warga kampung, baik penduduk asli maupun mereka yang tinggal di kota-kota jauh dan mudik. Saat dimana saya bisa bertemu kawan-kawan semasa kecil. Saat dimana saya bisa menatap wajah sekaligus menjabat tangan orang sekampung satu persatu, tanpa terkecuali. Selain berurai air mata haru, momen indah ini juga akan penuh dengan tawa sukacita serta riuh pertanyaan semacam “kapan pulang?”, “ayo mampir rumah”, “kok kamu kurus?”, “kapan nikah?”, dan sederet pertanyaan-pertanyaan lain.

Usai momen salam-salaman, saya melanjutkan agenda Lebaran hari pertama dengan berkunjung ke sanak keluarga dari pihak mbah kakung yang sebagian besar Muslim. Pintu demi pintu kami ketuk, satu persatu rumah kami datangi. Bersalaman, ngobrol-ngobrol, makan-makan. Tak lupa juga amplop demi amplop terselip di saku Re, anak saya. Ahahahaha sangumu banyak, Nang. Hari pertama lebaran ini saya benar-benar kenyang. Entah berapa piring opor, soto, dan gule yang masuk ke perut saya. Lupakan diet, saatnya berpesta hihihihi.

Hingga hari kedua lebaran saya masih terus berkunjung ke sanak saudara dan kerabat. Rencana piknik ke Dieng pun akhirnya dibatalkan. Sebagai gantinya kami hanya jalan-jalan di seputaran kampung, mengenang masa kecil yang sudah terlampau jauh tertinggal di belakang. Setelah terlalu lama pergi, ternyata saya baru menyadari bahwa kampung saya sangatlah indah. Sawah bertingkat-tingkat membentuk terasering layaknya di Ubud, dua aliran sungai mengalir jernih di samping rumah dan bertemu pada satu kelokan, kabut tipis yang merayap pelan di sela pepohonan, semuanya menjadi pemadangan yang lazim dijumpai kala pagi.

Jalan-jalan pagi keliling kampung

Hal yang dulunya terlihat biasa-biasa saja sekarang terasa begitu istimewa. Ternyata benar, saat berjarak dengan sesuatu akan membuat kita lebih paham maknanya rindu. Sejati hal-hal sepele seperti inilah yang benar-benar saya rindukan dari rumah. Perjumpaan, keceriaan, kehangatan keluarga, alam yang indah, semuanya teramu menjadi satu. Sebelum kembali ke rutinitas di Jogja, saya bungkus rapat-rapat semua kenangan indah ini dalam ingatan.
Sampai jumpa lagi di lain waktu, kampung halaman tercinta.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

10 Comments

  1. Di tempatku, Minomartani Condongcatur juga ada tradisi salam-salaman setelah sholat Ied. Jadi nggak perlu ke rumah satu persatu, udah berkumpul di satu tempat 😀
    Aku belum pernah ke Wonosobo, pengen banget.

    • Aha ternyata tradisinya sama juga ya, mak. Jadi silaturahminya tinggal ke keluarga aja.
      Mainlah ke Wonosobo Makpuh, sekalian ke Dieng. Asyik lho. Dari Jogja juga deket, cuma 3 jam aja.

  2. Sekarang keluargaku juga lebih sering beli kue lebaran dibanding bikin, biasanya kami anak2 urunan aja utk dibawa pulang ke rumah ibu. Zaman kuliah dulu aku malah bisa pulang itu 2 atau 3 kali setahun.. Lumayan jauh soalnya , 8jam perjalanan.
    Toleransi memang indah ya mak… ^^

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *