Menyusuri Shiva Plateau , Jejak Lampau yang Terus Memukau

Roda-roda jeep berputar dengan lincah melewati jalan yang berkelok. Awalnya terasa lambat, lama-lama gerakannya berubah cepat seirama dengan pedal gas. Dengung mesin terdengar bising, beradu dengan teriakan penumpang yang tergoncang di kursi belakang. Kami pun terus melesat ke atas, menyusuri hutan di kawasan Shiva Plateau, menembus jalanan yang terasa lengang.

Kami berkendara menyusuri punggungan bukit dengan ketinggian sekitar 410m di atas permukaan laut. Angin bertiup kencang, memainkan anak rambut hingga kusut masai. Sesekali serasah ikut berterbangan akibat libasan roda jeep, membuat mata sedikit perih. Namun saya tak ingin memejam barang sekejap. Pemandangan yang tersaji  ini terlalu sayang untuk diabaikan.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya menyusuri kawasan perbukitan di sisi timur Prambanan. Sekitar 6 atau 7 tahun yang lalu, nyaris tiap minggu saya dan kawan-kawan Komunitas Canting melajukan motor ke perbukitan ini. Tujuan kami adalah satu, Sanggar Belajar Studio Biru yang terletak di daerah Ripungan, tak jauh dari kompleks rumah dome atau yang lebih dikenal dengan nama rumah teletubies.

Kala itu jalanan masih belum semulus sekarang. Kami harus berjibaku melewati jalan makadam maupun aspal yang bopeng di sana-sini sebelum tiba di gubug kayu yang nyaris ambruk, tempat Studio Biru berdiri. Namun semua perjuangan itu akan terbayar lunas saat melihat senyum dan tawa bocah-bocah yang selalu menyambut kedatangan kami dengan riang. Apalagi pemandangan yang terlihat dari depan sanggar saat malam hari terasa begitu megah. Menantap ke atas ada langit luas bertabur bintang, sedangkan jauh di bawah ada kota yang bertaburkan gemerlap cahaya.

Nostalgia. Mungkin kata itulah yang mendorong saya mengiyakan undangan famtrip Dinas Pariwisata yang dilaksanakan pada Kamis, 19 Oktober lalu. Saat mengetahui bahwa trip setengah hari itu akan menjelajah kawasan perbukitan Bokoharjo, saya langsung bersemangat. Saya ingin memungut keping kenangan yang terserak di sudut jalan. Sekaligus melihat sejauh apa perubahan yang terjadi setelah sektor wisata mulai dijadikan andalan.

Shiva Plateau dan Sejarah Awal Terbentuknya Pulau Jawa

Saat laju jeep hijau army yang saya tumpangi sedikit melambat, saya membaca stiker yang menempel di dashboard “Komunitas Jeep Shiva Plateau Adventure”. Dengan rasa penasaran saya pun bertanya kepada sang pengemudi, “Pak, kok namanya Shiva Plateau?”

“Iya mbak, karena kawasan ini memang namanya Shiva Plateau,” jawabnya sambil terus melajukan kendaraannya.

Mendengar jawabnya, ada banyak pertanyaan yang muncul di benak dan ingin saya tanyakan, namun pada akhirnya hanya saya simpan dalam-dalam. Jujur ini baru kali pertama saya mendengar istilah atau nama Shiva Plateau. Selama ini saya menyebut kawasan ini dengan nama Perbukitan Bokoharjo, kadang juga Bukit Hijau karena keberadaan Candi Ijo di salah satu puncaknya.

Candi Ijo terlihat dari jalan

Penasaran, saya pun mencoba mencari informasi tentang Shiva Plateau. Meski tidak terlalu banyak jejak digital akhirnya saya sampai pada informasi bahwa istilah Shiva Plateau atau daratan tinggi Siwa pertama kali dicetuskan oleh seorang ahli purbakala N.J. Krom. Shiva Plateau digunakan untuk menyebut kompleks dataran tinggi yang terletak di sebelah tenggara kompleks Candi Prambanan, tepatnya di sisi selatan Bukit Ratu Boko.

Penamaan Shiva Plateau sendiri didasarkan pada banyaknya penemuan tinggalan budaya Hindu, khususnya yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa di kawasan tersebut. Hal ini ditandai dengan keberadaan candi yang ada di kawasan ini mulai dari Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, Candi Banyunibo, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga candi-candi Budha dan bangunan profan seperti Istana Ratu Boko. Beragam tinggalan budaya yang ada di kawasan Shiva Plateau ini dibangun pada masa peradaban Mataram Kuno yang pernah berjaya pada abad 8 – 10 Masehi.

Hingga saat ini, candi-candi indah yang tersebar dari kaki hingga puncak Shiva Plateau masih bisa ditemui. Sayangnya trip kali ini bukanlah untuk menyusuri sejarah candi-candi tersebut, melainkan untuk menilik pesona lain yang ditawarkan di Dataran Tinggi Siwa, juga menyingkap sejarah awal pembentukan Pulau Jawa.

Sekitar 50 hingga 40 juta tahun yang lalu, Yogyakarta bukanlah dataran dengan Gunung Merapi yang berdiri megah di sisi utara seperti saat ini. Yogyakarta dan pegunungan selatan adalah kawasan laut dengan air yang tenang jernih. Saat itu kondisi Yogyakarta diperkiraan menyerupai The Great Barrier Reef di Australia pada masa sekarang. Ini bukanlah dongeng geologi semata, sebab sisa-sisa kumpulan fosil binatang laut masih bisa dilihat pada berbagai singkapan batu gamping yang tersebar di pegunungan Selatang Gunungkidul.

Kemudian beranjak pada 36 hingga 20 juta tahun yang lalu, gunung api bermunculan dari dalam zona laut selatan akibat pergerakan lempeng bumi. Pulau-pulau gunung api pun mulai terbentuk dan menjadi tulang punggung Pulau Jawa. Aktivitas dahsyat gunung api purba pada masa itu menyisakan singkapan batuan piroklastik (hasil erupsi gunungapi) dan batu pasir vulkanik yang sangat tebal. Shiva Plateau (khususnya Tebing Breksi) merupakan hasil endapan abu vulkanik letusan gunung api purba yang sekarang dikenal sebagai Gunung Api Purba Nglanggeran.

(baca: Di Balik Selimut Kabut Puncak Gede, Nglanggeran)

Pesona Arunika Hingga Swastamitha

“Nanti kita akan berkunjung ke tiga tempat. Watu Payung, Bukit Teletubbies, dan Watu Klumprit. Berhubung kita berangkat sudah siang, jadinya hanya bisa lihat sunset,” terang Bapak Camat Prambanan, Eko Suhargono. Ya, perjalanan kali ini memang sedikit beda. Kami ditemani oleh Pak Camat juga Pak Bupati Sleman yang semuanya memakai busana Jawa lengkap. Ah, tau gitu saya harusnya memakai jarik andalan biar menyaru rupa menjadi Putri Pramodawardhani.

Setelah ditetapkan menjadi geoheritage, Tebing Breksi yang dulunya adalah lokasi penambangan batu gamping berubah rupa menjadi tempat wisata yang cukup ramai. Hal itu juga berimbas pada kawasan di sekitaran Breksi yang mulai mempercantik diri dan mempertontonkan pesonanya pada khayalak.

Salah satunya adalah situs Watu Payung atau yang juga dikenal dengan nama Selo Langit. Beberapa tahun lalu, siapa sih yang mau dengan sengaja datang kesini guna melihat sebongkah batu besar yang menjadi landmark tempat ini. Namun kini Watu Payung telah berbenah. Menghadap ke timur, tempat ini menjadi salah satu lokasi terbaik menyaksikan arunika, pesona matahari terbit di kala fajar.

Landmark situs Watu Payung
View dari Watu Payung Selo Langit

Dari tebing ini saya bisa melayangkan pandang ke hingga jauh ke Rowo Jombor, Klaten. Lukisan semesta berupa petak-petak sawah yang berselang-seling dengan perumahan serta areal perladangan menjadi sajian yang menyejukkan mata, juga jiwa. Di sisi kanan saya berdiri, Karst Perbukitan Sewu nampak gagah dalam semadinya.

Berhubung perjalanan masih cukup panjang, kami hanya sebentar di Watu Payung. Jujugan selanjutnya adalah Bukit Teletubbies. Untuk mencapai tempat itu kendaraan kami melewati jalan yang berkelak-kelok dengan pemandangan yang memukau di sisi kanan dan kiri jalan. Perhatian saya sempat tercuri saat melintasi ladang yang ditumbuhi pohon yang sepertinya baru pertama saya lihat. Kulit putih, tinggi tegak menjulang tanpa cabang, dan berpayungkan daun serupa daun jati di pucuknya.

“Ini pohon jatibon, mbak,” terang pak sopir menjawab pertanyaan saya.

“Bagus ya pohonnya. Kayak model. Putih, tinggi, kurus,”

Kontan saja pak sopir tertawa mendengar pertanyaan saya yang begitu absurd juga menggeneralisir.

Setelah melewati medan yang terjal juga berliku, akhirnya kami tiba di pemberhentian kedua, Bukit Teletubbies. Menurut saya tak ada yang terlalu istimewa dari tempat ini. Sebuah taman berumput hijau lengkap dengan gardu pandang. Dari ketinggian ini saya bisa melihat kompleks rumah dome yang dulunya berwarna putih pucat namun kini menjadi warna-warni.

(baca: Yang Mblenduk di New Nglepen Village)

Seorang kawan sempat bertanya “Kenapa namanya Bukit Teletubbies?”

Ya tentu saja karena dari ketinggian bukit ini wisatawan bisa melihat rumah-rumah dome yang menyerupai rumah Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo yang ada dalam serial film anak Teletubbies. Rumah dengan arsitektur yang unik ini tahan gempa juga tahan api. Bahkan struktur bangunan rumah dome ini mampu menahan terpaan angin dengan kecepatan 450 km/jam. Kompleks perumahan ini sendiri dibangun sebagai rumah percontohan selepas gempa besar yang meluluhlantakkan Jateng-DIY pada tahun 2006.

bukit teletubbies
pic taken by Aya
pic taken by Aya

Konon jika kita datang jelang senja, wisatawan bisa menyaksikan sunset dari Bukit Teletubbies ini. Sayangnya kami datang tatkala kecupan mentari masih terasa begitu panas di ubun-ubun. Tak ada aktivitas yang bisa saya lakukan disini selain duduk di atas rerumputan sembari menikmati bekal snack yang saya dapatkan dari Tebing Breksi. Mungkin jika di taman ini dibangun arena permainan sederhana semisal ayunan atau jungkat-jungkit bakalan lebih menarik.

Sebagai pamungkas dari famtrip kali ini adalah kunjungan ke Bukit Klumprit yang masuk dalam wilayah Wukirharjo. Berbeda dengan dua destinasi lainnya yang bisa diakses menggunakan jeep hingga ke lokasi, untuk sampai ke spot Bukit Klumprit saya dan teman-teman harus trekking singkat melewati jalan makadam, jalan setapak, dan berjalan di antara ladang warga.

menyusuri setapak menuju bukit klumprit

Beberapa orang terdengar memberikan peringatan untuk saya supaya berhati-hati, bahkan sebisa mungkin tidak usah membawa bocah lelaki saya, Renjana, berjalan terlalu jauh ke depan. Mendengar teriakan mereka saya hanya tersenyum dan menjawab santai “Nggak apa-apa buk, bRe sudah biasa trekking, bahkan sudah naik ke Gunung Gambar, Gunung Lanang,  juga Gunung Nglanggeran ,”.

(Baca: Pendar Cahaya di Gunung Gambar)

Menurut saya, Bukit Klumprit adalah highlight dari perjalanan kali ini. Lokasinya yang masih perawan (belum ada pembangunan apapun, bahkan akses juga tergolong susah), justru menjadikan tempat ini sangat natural dan menarik.

Saat pertama menjejak di Bukit Klumprit dan melihat batuan yang diduduki orang-orang, saya justru teringat pada film The Lion King. Batuan dari masa lalu serasa seperti singgasana Simba sang raja hutan, The Pride Rock. Keberadaan pohon besar yang tak jauh di depan semakin menegaskan suasana.

menanti senja

Berada di tempat ini ditemani cahaya jingga mentari sore sungguh hal yang menenteramkan jiwa. Satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah duduk sesantai mungkin dan melihat semesta hingga batas cakrawala serta menanti langit senja yang berubah warna. Meski senja kali ini tak sesempurna yang diharapkan, tetap saja Bukit Klumprit akan menjadi tempat yang tak terlupakan. Disinilah saya bisa menyaksikan swastamita dengan begitu tenteram.

Kalau kapan-kapan kalian berkunjung ke Sleman, cobalah untuk mengeksplorasi Shiva Plateau. Saya jamin, kalian tak akan menyesal. Karena di tempat ini jejak peradaban masa lalu bersanding mesra dengan kejayaan masa kini dan mencipta harmoni baru.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

18 Comments

  1. Menarik sekali Mbak menelisik sejarah mengenai terbentuknya Pulau Jawa..

    Dan menurut saya banyaknya candi-candi di Shiva Plateau yang dibangun pada masa Mataram Kuno pasti mempunyai kisah sejarah yang menarik jika ditelusuri…

  2. Apakah penamaan Shiva Plateau karena penyebutan tinggalan-tinggalan yang berhubungan dengan “Dewa Siwa” agak mirip akhiran vokalnya wkwk *ilmu cocokologi
    Berarti famtripnya malah ga mampir-mampir di candinya ya mbak? Aku belum pernah ke Banyunibo. Penasaran 😮

    Memang iya kok. Dataran tinggi bagian Sleman utara agak ke timur ini bisa jadi spot menyaksikan sunset yang epic, meskipun aku juga belum pernah. *Andalanku Pantai Parangtritis saja yang deket* wkwk

  3. wah namanya keren jadinya, dataran tinggi siwa.
    dulu pernah sama beberapa kawan berniat nyunrise di candi ijo, tapi malah sengaja nyasar nyasar buat nyari jejak jejak purbakala di sekitar candi ijo. waktu itu sama mas Joyo. kayaknya sih di sekitar candi ijo masih buanyak situs.

    kalo yang rumah teletubbies itu juga pernah ke sana. tapi pas di sana nggak tau harus ngapain akhirnya cuma numpang solat dhuhur terus balik lagi wkwkwkw.

  4. Baru ngeh aku Mbak… Ternyata penyedia jasa jeep-nya ngambil dari nama dataran tinggi di situ to… Ah jadi pengen “bertualang” lagi sama temen-temen blogger. Terus terang kemaren tambah semangat karena nggak mau kalah sama anak lelakimu yang tangguh dan dewasa dini itu Mbak HAHAHAHAHA

  5. Aku baru denger Shiva Plateau hems. Sampai gugling gak nemu juga, duh gemezzz.
    Yogyakarta gak pernah kurang akal ya bikin wisata baru yang kekinian. Tapi aku paling iritasi lihat tempat wisata dengan tulisan-tulisan gede gitu macam BUKIT TELETUBBIES, merusak pemandangan menurutku -_-

  6. Aku baru tahu Shiva Plateu ini mbak, jadi pengen kapan-kapan mampir, ah kayaknya ga ada habisnya tempat-tempat di Jogja ini untuk dikunjungi. Yuk mbak ajak aku kalo mau jalan lagi hahaha jangan lupa ajak Bre ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *