Mengenang Sore di Telaga Pengilon Dieng

Seorang gadis cilik melenggang riang di tepian Telaga Pengilon. Sesekali kaki mungilnya melompat menggapai kupu-kupu yang terbang menggoda di atas kepalanya. Mulutnya terus saja berdendang melagukan nyanyian yang dia karang sendiri.

Di belakangnya, dua orang perempuan sedang bercakap sambil sesekali berteriak mengingatkannya “jangan terlalu jauh, nanti tersesat” atau berganti “jangan melompat-lompat, jalanan licin, nanti kamu jatuh”.

Namun dia tak peduli. Gadis cilik berpipi bulat dengan rambut dikuncir dua itu terus saja melangkah pada setapak yang dinaungi pohon-pohon besar dan rumput tinggi. Ia mengejar kupu-kupu, mencium bunga liar, atau memetik berry hutan yang tumbuh berserakan. Tawanya memecahkan keheningan sore.

***

“Ibuk kita mau ke mana?” tanya Renjana saat saya menyodotkan tiket masuk pada penjaga gerbang.

“Jalan-jalan lihat telaga dan cari buah berry liar,” jawab saya. Setelah karcis disobek, kami bertiga pun memasuki pintu dan mulai melangkah di jalan paving dengan tegakan pohon di sisi kanan dan kirinya. Cericit burung serta dersik pucuk pinus yang bergesekan akibat angin seolah menjadi sambutan selamat datang.

Di persimpangan pertama kami bimbang. Kiri mengitari Telaga Warna atau lurus menuju Telaga Pengilon?

“Lurus saja. Nanti pulangnya kalau ada waktu baru ke sebelah sana,” saran Mas Chandra. Saya sepakat. Renjana pun saya arahkan untuk berjalan menyusuri setapak yang lumayan lebar. Di sepanjang jalan dia mengoceh tanpa henti.

“Ibuk itu bunga apa? Ibuk kenapa airnya hijau? Ibuk itu pohon apa? Ibuk aku mau susu!”

Sore itu Telaga Warna terlihat tenang. Permukaannya beriak pelan saat ada angin yang berembus. Suasana juga kondusif, jauh dari ingar bingar tempat wisata pada umumnya. Wajar saja, mengingat kami datang pada hari terakhir puasa, hari di mana orang-orang sibuk mempersiapkan Lebaran dibanding berwisata.

Baca: Mengantarkan Kijang Kecil Melompat Riang di Kawah Sikidang

Saat sedang berjalan, kami berpapasan dengan rombongan wisatawan ibu kota. Saya curi dengar pertanyaan salah satu anggota rombongan “Kok warna airnya cuma hijau saja ya?” pertanyaan yang sama yang sering saya dengar dari kawan-kawan lain.

Kalau berkunjung ke Telaga Warna saat ini, hamparan air yang terlihat memang hanya berwarna hijau. Tapi percayalah, bertahun-tahun lalu telaga ini airnya berwarna-warni. Saya termasuk orang yang beruntung pernah menyaksikan rona telaga yang beraneka warna.

Lebih dari 20 tahun yang lalu, saat pertama kali menginjakkan kaki di kompleks Telaga Warna, saya masih melihat warna hijau, toska, biru, ungu, juga merah. Konon warna-warna tersebut berasal dari ganggang yang hidup di dasar danau. Seiring berjalannya waktu, warna-warna itu memudar dan hanya tersisa hijau.

Namun, jika kita menyaksikan dari atas, kita akan melihat gradasi warna hijau yang berbeda dan tidak sama. Kisah ini pun saya ceritakan kepada Renjana dan Mas Chandra.

Baca: Cerita Pagi dari Telaga Warna

***

“Dulu, saat pertama kali ke sini aku tu takut lho,” kata saya sambil merebahkan pantat di rumput hijau.

“Kenapa” jawab Mas Chandra sambil mengekor gerakan saya. Sesekali sudut matanya mengamati Renjana yang asyik melompat mengejar kupu-kupu.

“Ya serem aja. Dulu tempat ini tu masih kaya hutan belantara. Jalannya setapak dan licin. Banyak pohon tua yang tumbang dan dibiarkan berserakan di jalan. Buat anak kecil kan itu menakutkan, sekaligus seru.”

“Sekarang asyik ya. Apalagi kalau kita bisa bikin tenda di sini, pasang hammock, bikin minuman hangat, sambil lihat senja. Syahdu.”

Tentu saja saya mengiyakan ucapan Mas Chandra. Ditambah pemandangan Telaga Pengilon lengkap dengan hutan yang mengelilinginya, ilalang yang tumbuh tinggi, udara yang dingin, rasanya sungguh nge-folk, kalau kata anak-anak instagram.

“Apalagi kalau bisa mancing, makin seru” tambahnya.

“Yakali mancing, nggak ada ikan yang hidup di sini keleeeeus” sanggah saya. Tapi sejujurnya saya sendiri ragu. Sebenarnya ada ikan yang hidup di Telaga Warna dan Telaga Pengilon nggak sih?

“Tapi kalau tempat ini dibikin camping ground kayaknya emang seru ya. Atau bikin konser kecil-kecilan disini macam acaranya Float 2 Nature di Telaga Cebong, Sembungan, bertahun-tahun lalu. Terus wisatawan yang berkunjung ke sini nggak cuma poto-poto aja terus pulang” lanjut saya.

Perbincangan kami pun semakin random. Mulai dari mengomentari wisatawan lain yang memandang kami dengan aneh sebab asyik gelesotan di rumput di tepi telaga (anehnya di mana coba?), cita-cita saya untuk punya rumah di dekat gunung dan telaga, obsesi menjadi petani dandelion dan peternak kunang-kunang serta memiliki usaha rental sepeda di Dieng, buah berry liar yang makin jarang dijumpai, selera musik saya yang sering dibilang Mas Chandra aneh, rencana masa depan untuk Renjana, juga berbincang tentang gosip-gosip terhangat di keluarga.

Baca: Untukmu yang Selalu Bertualang Cepatlah Pulang

Rasanya sungguh menyenangkan. Duduk bersama orang terkasih dan berbincang tentang banyak hal di tengah alam yang asri. Membiarkan pikiran melayang kemana-mana. Satu-satunya distraksi adalah saya yang terkadang sibuk membuat instastory ahahahaha (halo generasi milenial?).

Kami tak tahu berapa lama kami menghabiskan waktu di Telaga Pengilon yang sudah sulit digukanan untuk “ngilo”. Yang jelas matahari sudah condong ke barat dan udara terasa makin gigil. Oya, meyoal “ngilo” alias berkaca. Konon telaga ini dinamakan Pengilon karena dulu airnya bisa digunakan untuk berkaca. Sayang, sekarang sepertinya sudah sulit mengingat permukaan telaga yang terus susut dan surut.

Sebelum pulang, saya sempatkan untuk mengajak Renjana memetik beberapa berry liar atau yang saya kenal dengan nama ucen-ucen. Lagi-lagi saya diperhatikan beberapa pasang mata. Entah kenapa wisatawan lain sepertinya melihat aktivitas kami ini aneh. Kalian nggak tahu sih kalau dulu di tempat ini ada banyak sekali buah ucen, termasuk ucen kebo yang berwarna ungu dan berukuran besar. Rasanya enak sekali. Sayang sekarang saya tidak pernah menjumpainya lagi.

***

Seorang lelaki cilik melenggang riang. Tangannya menggenggam bunga kecubung erat-erat. Di belakangnya ada sepasang lelaki dan perempuan yang mengamatinya sambil berbincang. Sesekali terdengar teriakan sang ibu “Hati-hati jalannya dek. Jangan lari, nanti kepleset, ada banyak pasir!”

Namun, bocah kecil berpipi bulat dengan rambut berponi itu hanya menoleh singkat sambil tertawa dan berteriak “ayo kejar aku kalau bisa”.

Ah, mendadak saya merasa de javu dengan fragmen ini. Kelak, akankah Renjana merasakan hal yang sama?

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

31 Comments

  1. Ceritanya asyik sekali. Saya dibawa flashback lewat deskripsi mbak Sha. Beruntumgnya, bre, punya oeang tua yang dekat dengan alam. Saya yakin kelak dia punya cerita yang sama, bahkan bisa jauh luar biasa ?

  2. Aku baper bacanyaaaaaa….. ???
    (Trs dijawab : halaaaah! Mestiiiii kowe jiii)
    Wkwkwkwkwk duh, emg klean tu keluarga idolak bgt! Syahdu bgt bacanya sumpah mba… Hiks… Jd pengin cpt2 diaminkan. Ahahahaa

  3. Sudah lama nggak menyapa Telaga Dieng, semoga nanti bisa ke sana (nunggu pas cuaca agak berteman).
    Dari awal dulu sampai sekarang, beberapa kali mbak Sha motret buat kecil itu. Aku seperti ingat pernah makan tapi di mana gitu. Dan sekarang baru ingat, ternyata buah itu ada di depan musola kampungku. Kami waktu kecil sering ambil dan makan 🙂

  4. Waduh camping di telaga warna? Aku sih gamau ?
    Kalau malem suasananya beda banget, kata temen asli sana. Tapi buat motret milky way sebenarnya juga cocok. Asal ga digangguin sama yang di sana?

  5. ah dieng ini aku kunjungi berkali2 modal nekat motoran dari jogja terus. asik ya kalo pas sepi sepi gitu.
    baca ini aku jadi berasa kaya dibawa suasana syahdu dan sejuk nya.

  6. Mbak, Ucen-ucennya itu pol menthog warnanya merah gitu apa bisa kehitaman? bRe doyankah? pingin aku klethusin, nostalgia waktu kecil :p

    Aku belum pernah lho ke telaga-telaga di penjuru Dieng. Pernahnya Sikunir sama Sikidang thok. Kayanya boleh nih ngode-ngode dikit ke suami terus pan kapan motoran 😀

    • Singatku merah pekat si, kalau yang ungu kehitam jenis lainnya. Bisa dibilang Ucen Kebo, ukurannya lebih besar. Bre cuma bantuin metik aja, nggak mau dia, susah makan buah.

      Iyaaa, motoran ke Dieng dan eksplore telaga, candi, sama curug2 yang ada. Seru lho!

  7. Paling pas dibangun rumah atau penginapan dengan desain natural di samping telaga. Tenang, bisa menikmati telaga tanpa beranjak dari kasur (gini nih pemikiran anak mager)

    Aku nggak suka konser atau kegiatan masif lainnya di alam 🙁

    • Ahahaha, glamping aja deh, masyuk itu. Tapi suasana Telaga Warna n Pengilon kalo malam ngeri euy.

      Bukan konser masif lah, yang private aja macam float to nature pas di Telaga Cebongan dulu. Akustikan.

  8. alur ceritanya kaya baca dongeng hihi.. keren…

    mungkin pembentuk warna di telaga warna ini sama kali ya dengan di danau kelimutu, flores.. bedanya, di flores masih keliatan banget perbedaan warnanya..

    -Traveler Paruh Waktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *