Terpikat Senja Pantai Amahami

senja amahami

Saya tak memiliki ekspektasi apapun tentang Bima. Nyatanya, Kota Tepian Air ini justru menyajikan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan. Salah satunya adalah senja teduh di Pantai Amahami lengkap dengan pesona masjid apungnya.

Saat masih transit di Bandara Praya, Lombok, rombongan kami sudah kasak-kusuk hendak berwisata ke mana setibanya di Bima. Maklum, hari pertama ini kami masih memiliki waktu luang setengah hari untuk jalan-jalan sebelum kegiatan resmi keesokan harinya.

Dari berselancar di internet, kami tahu bahwa tak jauh dari pusat kota ada pantai bernama Amahami. Menariknya lagi, di pantai ini berdiri sebuah masjid apung nan megah dan baru saja selesai dibangun pada Desember 2017. Lantas kami pun bersepakat untuk berkunjung ke pantai ini guna menangkap senja.

Setibanya di Bandara Sultan Salahudin, Bima, kami memastikan sekali lagi kepada driver yang menjemput soal bisa tidak melihat sunset di Pantai Amahami. Tanpa keraguan dia menjawab bisa.

Baca: Bima Dalam Pandangan Pertama

Berjarak sekitar 10 menit dari Lapangan Merdeka, Pantai Amahami menjadi salah satu pantai yang dipenuhi pengunjung kala mentari turun ke peraduannya. Apalagi lokasinya yang berada persis di sisi jalur utama penghubung bandara dan pusat kota, menjadikan pantai tanpa pasir ini mudah di akses dari mana pun.

Kami tiba di Pantai Amahami sekitar pukul 16.30 WITA. Meskipun langit tidak biru sempurna, tapi cukup cerah untuk menangkap sunset. Jauh di ufuk barat terlihat sebaris awan yang tebal. Beberapa kawan menduga bahwa senja tidak akan muncul.

Saya berpikir sebaliknya. Sebelum benar-benar tergelincir ke tubir laut, matahari senja pasti akan terlihat. Sebab awan itu berjarak dengan horizon. Masih ada harapan, gumam saya dalam hati.

Dari pantai-pantai yang pernah saya datangi, kontur Pantai Amahami sangatlah berbeda. Jika biasanya saya berkunjung ke pantai yang memiliki hamparan pasir atau bukit karang yang menjorok ke laut, kali ini tidak ada pasir sama sekali.

Pinggiran Pantai Amahami berupa corcoran batu dan beton serta tanah hasil reklamasi. Jadi jangan bayangkan Anda bisa bermain air di pantai ini. Di sepanjang tanah reklamasi dan pinggiran beton tersebut difungsikan sebagai tempat nonkrong.

Ada taman yang dilengkapi dengan kursi beton. Tak lupa juga deretan penjaja makanan dan minuman yang menggelar dagangannya di atas tikar. Pusat perhatian dari pantai ini adalah keberadaan Masjid Amahami.

Masjid Amahami, Masjid Terapung dengan Arsitektur Cantik

Mayoritas warga Bima adalah penganut muslim, karena itu di kota ini banyak dijumpai masjid-masjid megah. Salah satu masjid yang megah tentu saja Masjid Amahami yang barus saja selesai dibangun pada tahun 2017.

Masjid Amahami mengusung konsep masjid terapung yang dibangun di atas laut. Konon katanya konsep masjid terapung ini terinspirasi dari masjid yang ada di Pantai Losari, Makasar. Selain sebagai tempat peribadatan, salah satu tujuan dibangunnya masjid apung ini adalah sebagai landmark yang mampu menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung ke Bima.

Meskipun pada proses pembangunannya sempat ada pro dan kontra, masjid (dan kawasan Amahami) yang didesain oleh tim Universitas Kristen Petra Surabaya ini berhasil dirampungkan. Desain masjid ini mengusung filosofi kepemimpinan yang dianut masyarakat Bima, yakni Nggusu Waru dan Uma lengge. Tak lupa juga dikombinasikan dengan desain bintang Al-Quds.

Baik dilihat dari dekat maupun dari jauh, Masjid Amahami ini terlihat megah. Sayangnya saya tidak memiliki kesempatan untuk melihat interiornya. Menurut teman yang sholat magrib di sana, dalamnya masjid sangat cantik.

Menikmati Senja Pantai Amahami dan Secangkir Coklat Hangat

Ketika menjejak di Amahami, yang saya lakukan pertama kali adalah berkeliling di kaki menara masjid. Berhubung saat itu laut sedang surut, maka konsep “masjid apung” tidak terlalu terlihat.

Saya pun memilih untuk meninggalkan masjid dan berjalan menuju sisi lain. Di bagian pantai yang baru saja selesai di reklamasi, terdapat para penjaja makanan yang mulai menggelar dagangannya. Seorang ibu ditemani dua anak balita terlihat menjerang air.

“Hai adik,” sapa saya mencoba ramah. Dua kakak beradik itu hanya tersenyum malu lantas bersembunyi di balik punggung ibunya. Saya melanjutkan perjalanan ke arah lain. Kali ini saya mendekati segerombolan remaja tanggung yang baru saya memarkirkan motornya.

Melihat saya berjalan sambil sesekali menggambil gambar langit jingga, mereka berteriak menggoda “foto kami kakak”. Sayangnya saat saya mendekat dan berniat memotret, mereka justru malu-malu. Justru saya yang meminta tolong mereka untuk mengambilkan gambar saya berlatar senja.

ranselhitam pantai amahami

Lelah berjalan kaki dan mengambil gambar, saya kembali ke lapak ibu dengan dua balita. Kali ini kedua anaknya sudah tidak ada, mungkin mereka sedang bermain di tempat lain. Sebelum merebahkan pantat di atas tikar, saya memesan secangkir susu coklat seharga 5 ribu rupiah. Tak ada susu kuda liar Sumbawa, susu indomilk jadi lah.

Sore itu kawasan Pantai Amahami terlihat begitu hidup. Seiring dengan sinar mentari yang ruyup, lampu-lampu rumah dan jalanan mulai dinyalakan. Saat adzan magrib berkumandang, warga bergegas mendatangi masjid. Ada yang berjalan kaki, naik motor, atau mengendarai mobil. Parkiran masjid terlihat sangat padat.

Saya menutup hari pertama di Bima dengan menyesap secangkir cokelat hangat. Sedangkan di ufuk barat, langit sedang berpesta menyambut pergantian hari. Semburat warna-warni senja mencuat sebelum berubah menjadi gelap. Hari itu, saya terpikat dengan senja di Pantai Amahami.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

47 Comments

  1. Saya jadi pingin main ke pantai Amahai. Dulu sempat nabung buat ke Lombok, tapi ternyata belum jadi kesana. Keren ceritanya kak!

    • Hehe, beruntung lah mbak jalan-jalan dibayarin, kalau bayar sendiri belum mesti sampai ke sini. Iya, senja dna masjidnya cakep. Aku tu bayangin sembahyang sambil lihat senja, mesti makin syahdu suasananya.

  2. Walau saat itu konsep masjid terapungnya tak terlihat jelas, tapi desainnya indah sekali. Oiya saya penasaran mengapa proses pembangunannya sempat ada pro dan kontra? Tidak dijelaskan atau saya yg tidak menangkap? Apa Karena didesain umat lain? Bukan bermaksud sara yaa

    • Ini kelihatan “kurang ngapung” karena airnya pas surut mbak hehe.
      Soal penyebab pro dna kontra itu memang nggak saya bahas disini sih, bukan kewenangan saya hehehe. Masalahnya juga bukan soal didesain UK Petra, tapi lebih ke masalah administrasi dan transparansi dana pemerintah kalau nggak salah. Juga soal reklamasi pantai, yang sampai saat ini menyisakan masalah.

  3. Jujur ya, aku baru tahu ada kota bernama Bima saat kerja lho, kudet peta dan daerah-daerah nusantara.
    Ku sudah 2 kali ke Pantai Losari dan lihat masjidnya, indah memang. Jadi terbayang bagaimana Masjid Amahami.

    • Kalau Bima yang bagian sya kunjungi kemarin suasananya kaya Gunungkidul mbak, kering dan meranggas hihihi karena hujan nggak turun-turun. Tapi sekarang sepertinya hujan sudah merata di sana, pasti jadi muncul savana cantik. Mainlah ke Bima, mbak.

  4. Duuuh, indah banget senjanya. Dan masjidnya, luar biasa, cakeeeep, arsitekturnya unik. Gak kayak masjid-masjid biasa ya. ini di Bima, ya? Tempat yang jarang terekspos.

    • Iya mbak, arsitekturnya khusus dan bagus. Yap di Bima, pinggiran kotanya. Meski menjadi gerbang utama menuju Pulau Sumbawa, Bima memang masih jarang diekspos, lebih populer Sumba-nya dibanding Sumbawa kayaknya.

  5. Masjid apuung :’))
    Mbak, di sana ombaknya nggak gitu liyud-liyud kan ya? Pas ngelewatin jembatan apung di deket Pantai Kuta Mandalika kan jembatannya bener-bener kaya menari gitu. Serem. Tiba-tiba aku ngebayangin pas berdiri salat terus mak liyud-liyud. Inget gempa Jogja. huhuhu
    Eh adiknya le motoin kece juga. Kalau aku yang motoin mungkin bisa jadi agak miring-miring. Payah kalau motoin horizon aku tuu… kaya lurus ternyata miring.

    • Disana ombaknya tenang, sama sekali nggak krasa kalau lagi di pantai. Kaya di pinggir danau aja gitu, wong rambut nggak kerasa kusut masai lengket kaya kalau kita di pantai2 bantul. Anginnya juga sepoi-sepoi, bukan angin yang kencang.

      Itu lurus karena sudah aku lurusin muahahahaha, aslinya menceng juga sih. Sama banget, aku kalau moto horizon suka miring, sesuai dengan otak yang kadang miring ahahahaha.

  6. Konsep seperti ini juga sama dengan Masjid terapung Al-Alam Kendari Mbak, kapan-kapan kalau ke Sultra coba singgah deh.

    Hanya sayangnya kalau ada bangunan seperti ini bikin pinggiran pantainya jadi gak bisa dinikmati pakai kaki ya. ?, padahal main kecipaknya itu yang bikin kita kangen pantai ya. ?

  7. Aaaakkk… Masjid terapung dan sunsetnya, paduan ciamik! Seneng ya mba, cara mensyukuri nikmatNya dari beperjalanan. Semoga kita dikasih kesempatan ke banyak tempat utk bersyukur ya.

  8. Saya terkesima dengan senjanya. Duh Gusti, saya dapat merasakan ketenangan suasana batin, apalagi ditemani kopi. Semoga akan ada tulisan tentang masyarakat Bima dan budayanya ya Mba Murni?

    Salam dari desa…

    • Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya, mas. Di postingan sebelumnya sempat menyingkung sedikit kondisi masyarakat Bima sih, tapi ini juga sedang berusaha menulis hal lain dari Bima 🙂

    • Jadi aku baru dapat fakta baru, kalau sultan bima dan sultan hasanudin makasar itu kakak beradik, makanya aku sempat berpikir apakah masjid ini berkonsep sister mosque gitu, halah ahahaha. Amaaaan Lid, ini tu dekat banget sama kota kok, dan emang dijadikan lokasi tongkrongan gitu. Rame tempatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *