Di Tepi Telaga Sarangan*

Tak lekang oleh waktu, kenangan bersamamu tak juga hilang dari kepala. Semua terlihat begitu jelas. Seperti proyektor yang menyorot layar. Lambat laun kenangan itu berubah menjadi rindu yang terasa begitu menyesakkan.

Telaga Sarangan
Di Tepi Telaga Sarangan

“Yoh,” begitu jawaban Faa atas ajakan saya untuk mengunjungi Telaga Sarangan. Sebuah ajakan impulsif yang diiyakan secara impulsif pula oleh seorang kawan pecandu plesiran.

Lantas dua hari kemudian kami sudah berada di gerbong kereta Pasundan menuju Magetan, di mana kawan lainnya telah menunggu dan akan mengantarkan kami berdua menuju Sarangan. Dan tentu saja perjalanan ini diawali dengan drama nyaris ketinggalan kereta. Untung saja semesta masih berbaik hati sehingga kami bisa berdiri di sambungan gerbong sembari melihat Merapi yang perlahan semakin kecil. Lamat-lamat lagu Payung Teduh mengiringi perjalanan kami.

Telaga Sarangan memang sudah sejak lama masuk dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi. Keinginan saya untuk berkunjung ke Sarangan berawal dari melihat sebuah foto di google image. Dalam foto itu terlihat suasana Telaga Sarangan di kala senja, lengkap dengan deretan penginapan berlatar hutan hijau dan bayangan lampu yang jatuh ke permukaan telaga. Foto yang biasa saja, namun entah mengapa membuat saya begitu bernafsu untuk mengunjungi telaga yang terletak di lereng Gunung Lawu ini.

Pada Minggu pagi yang cukup dingin, akhirnya saya pun menjejak di tepi telaga yang juga dikenal dengan nama Telaga Pasir. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah warna hijau segar yang menyejukkan mata. Permukaan telaga nan tenang, deretan pucuk pinus yang berselimut kabut tipis, penginapan yang berjajar hingga pinggang bukit, serta gunung gemunung nan gagah menjadi pemandangan yang menenteramkan.

“Ini tempat yang tepat untuk menghabiskan hari tua dan membesarkan anak-anak,” celetuk saya yang diamini oleh Faa.

Dari dulu saya membayangkan bisa tinggal di daerah yang dekat dengan telaga, hutan, serta gunung. Dan Sarangan memiliki ketiganya. Bahkan sebagai bonus, tak jauh dari Telaga Sarangan juga terdapat Air terjun Tirtosari. Aha, perfecto!

telaga sarangan
Telaga, hutan, gunung, perfecto!

Berhubung hari masih sangat pagi, kami pun memutuskan untuk berjalan mengitari telaga seluas 30 hektar ini. Udara pegunungan yang sejuk membuat acara trekking tidak begitu melelahkan. Di beberapa tempat kami disambut belasan ekor monyet yang melompat dari satu pohon ke pohon lain. Rupanya hutan di sekitar Telaga Sarangan menjadi habitat alami monyet-monyet tersebut.

Selain mengitari telaga dengan berjalan kaki, penggunjung juga bisa menyewa kuda. Namun bagi pelancong dengan kantong tipis macam kami, hal itu tentu saja bukan pilihan yang bijak. Daripada menghabiskan uang untuk menunggang kuda, kami memilih untuk naik speedboat. Sejak awal kami sudah minta kepada pengemudi speedboat untuk melaju dengan kecepatan tinggi.

“Pokoknya ngebut pak, biar seru,” kata Faa.

Benar saja, speedboat digeber dengan kecepatan penuh membelah permukaan telaga yang tenang. Tak cukup berhenti di situ, speedboat juga dibuat meliuk-liuk sehingga membuat kami berteriak kegirangan campur ngeri. Pada putaran terakhir, pengemudi menjalankan kapal dengan pelan supaya kami bisa mengambil gambar sepuasnya. Tak lupa beliau juga bercerita tentang legenda terjadinya telaga.

Konon, dahulu hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai dan Nyai Pasir. Suatu hari mereka menemukan sebutir telur di kebunnya. Usai memakan telur tersebut mereka berubah menjadi naga raksasa. Mereka pun lantas berguling-guling di pasir hingga membentuk cekungan yang besar. Dari cekungan tersebut munculah mata air hingga akhirnya menjadi Telaga Serangan. Untuk menghormati Kyai dan Nyai Pasir, setahun sekali dilangsungkan upacara larung saji di tengah telaga. Upacara tersebut biasanya berlangsung sangat meriah dan menyedot perhatian ribuan wisatawan.

Hari itu kami benar-benar bersenang-senang di Sarangan. Meluruhkan segala penat dan bosan dalam keheningan telaga. Ternyata perjalanan saya ke Sarangan dengan Faa adalah perjalanan terakhir kami berdua. Setahun setelah perjalanan itu Faa dipanggil menghadap Sang Pencipta. Faa bukanlah Kyai atau Nyai Pasir yang tiap tahun harus diberi sesaji untuk mengenangnya. Bagi saya, menuliskan catatan ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengenang dan menghormatinya. Mendadak puisi Nanang Suryadi terasa begitu tepat menggambarkan perasaan saya.

sarang kabut. putih menyapa pinus cemara. keheningan telaga. aku merindukanmu. andai engkau di sini. berdekap selalu, aku dalam hangat cintamu. cintaku

*) Judul diambil dari puisi milik Nanang Suryadi dengan judul yang sama. Jika ingin membaca versi lengkapnya bisa meluncur ke link berikut http://puisi.lecture.ub.ac.id/2006/02/di-tepi-telaga-sarangan/
**) Posting ini ditulis untuk mengenang perjalanan kami 4 tahun silam. Teman – teman juga bisa membaca catatan perjalanan ke Telaga Sarangan milik Faa disini.

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

6 Comments

  1. Yang paling menyenangkan saat ke Telaga Sarangan memang naik kapalnya. 😀
    Tapi sekarang semakin ramai penjual. rasanya semakin sesak saja. first visit….salam kenal mbak elisabeth murni…

  2. Waah, napa saya selalu baca lokasi tempat wisata yang lama banget gak jadi destinasi wisata kami ya. Ini jaman masih unyu kesana, bareng teman2 sekelas pas berstatus mahasiswa, hahaha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *