Nona Cahaya

Bagi banyak orang mungkin perjalanan adalah pelajaran untuk menemukan. Namun bagi saya, perjalanan adalah saat dimana saya harus belajar melepaskan.

Perjalanan mengajarkan saya tentang ketidakabadian. Bahwa segala sesuatu ada batasnya, ada masanya. Kita harus belajar untuk bisa bergaul dengan cepat, berkawan erat, lantas melepas tanpa harus terjerat.

Dan kisah ini bukan tentang saya, namun tentang orang asing yang saya jumpai di salah satu pemberhentian, menjadi kawan satu gerbong, berjalan bersama, hingga akhirnya terpisah di pemberhentian berikutnya karena tujuan yang kami tempuh berbeda. Orang asing itu adalah adik saya, sahabat saya, Nona Cahaya.

Saya melihatnya pertama kali pada medio 2011, pada suatu sore yang biasa. Dia, anak baru di kos-kosan yang terlihat pendiam dan malu-malu. Tak ada yang istimewa selain rambutnya yang awut-awutan seperti singa. Saya yang kala itu masih memburuh di pabrik kata-kata tak lantas berkawan erat. Maklum, pertemuan kami hanya terjadi kala pagi maupun malam, itu pun tidak intens. Hanya menyapa seadanya, bertukar kisah seperlunya.

Namun semesta berkata lain. Lambat laun saya menyadari bahwa kami memiliki frekuensi yang sama. Tanpa ada usaha untuk mendekatkan diri, kedekatan itu tercipta dengan sendirinya. Ternyata dalam begitu hal kami memiliki banyak kesamaan. Mulai dari karakter, pemikiran, cara pandang terhadap sesuatu, cara menyikapi masalah, hingga urusan hati. Yeah, selera pria yang nyaris sama dan betapa mudahnya kami jatuh hati pada mereka. Ditambah lagi kami juga memiliki kadar “bego” di atas rata-rata sehingga kerap tidak sadar jika ada pria yang mencoba tebar pesona.

Melihatnya, saya seperti berkaca. Nona Cahaya adalah saya versi 5 tahun lebih muda. Dan berkali-kali saya katakana hal itu kepadanya “Melihatmu itu seperti berkaca,”. Dan dia mengaminkan hal tersebut.

Meski hubungan kami dekat bukan berarti kami baik-baik saja. Pernah ada masanya dimana kami melakukan gencatan senjata. Tinggal satu kamar namun tak saling bertegur sapa. Kami bertingkah menyebalkan satu sama lainnya. Saya marah, mungkin dia juga. Namun kami sama-sama gengsi untuk mengakui dan memulai percakapan lebih dulu. Saya ingat, itu adalah hari-hari menyiksa dalam hidup saya. Tapi sejujurnya saya senang, ini berarti tingkat kedekatan kami sudah naik satu level. Ya, saya hanya bisa marah dan merajuk kepada orang yang benar-benar dekat dengan saya.

Hingga akhirnya tiba di satu momen dimana saya merasa bahwa kondisi ini sudah tidak sehat. Lantas saat dia sedang kembali ke Jakarta saya pun berinisiatif untuk menyelesaikan semuanya lewat SMS. Yeah, saya memang tidak berani untuk berbincang langsung. Ternyata dia pun merasakan hal yang sama, tidak berani untuk memulai. Begitu kran perbincangan dibuka, semua amarah sekaligus permintaan maaf mengalir dengan derasnya. Saya lega. Kami lega.

Lantas hari-hari di Karangmalang berputar seperti biasa. Kami disibukkan dengan aktivitas yang biasa. Dia kuliah saya kerja. Di sela-selanya kami habiskan dengan menonton konser, menonton pameran, menyusuri perut gua hingga puncak gunung, perjalanan berkereta ke kota tetangga, curhat bertabur air mata, dan tentu saja malam-malam galau tiap dengar Swaragama FM.

Kemudian saya menikah dan mau tidak mau harus pindah rumah. Saya pun terpisah dengannya. Meski begitu dia kerap berkunjung, menjumpai saya maupun Renjana. Dan saat BESKRE terpaksa dibubarkan, dia memilih untuk tinggal serumah dengan saya di kaki Merapi.

Tentu saja saya girang, akhirnya saya kembali punya sahabat yang bisa diajak berbincang. Hari-hari saya tak lagi sepi. Renjana pun punya kawan. Bahkan kadang saya sedikit iri. Re lebih nurut sama tante dibanding sama emaknya. Kalau tante yang ngajari apa-apa dia mau, begitu emaknya yang ngajarin dia ngeyel. Kalau Re bisa salim, bisa jadi cicak, bisa pura-pura pingsan, itu semua kerjaan tantenya.

Tapi seperti yang saya bilang diawal, bahwa segala sesuatu ada batasnya. Selepas masa studinya di Jogja, dia lantas memutuskan kembali ke Jakarta, kota asalnya. Bujuk rayu saya untuk menahannya supaya tetap tinggal di Jogja rupanya tak mempan. “Aku cuma 3 tahun di Jakarta mbak. Cari modal. Abis itu balik ke Jogja,” selalu begitu katanya.

Saya mengiyakan. Lantas pada suatu sore yang mendung saya terpaksa merelakannya pergi. Melihatnya berkemas untuk terakhir kali, melambaikan tangan dari depan pintu, lantas melihat punggungnya yang beranjak pergi dan perlahan menghilang.

Sesaat setelah kepergiannya saya masuk ke kamar yang selama ini dia tempati. Kosong. Seperti hati saya. Kini tak akan lagi celetukan di pagi hari, celotehan di kala siang, maupun curhatan-curhatan random hingga obrolan yang membuncahkan tawa. Sepi.

Untuk kesekian kalinya saya merasa sendiri. Saya ditinggalkan. Satu persatu sahabat-sahabat terbaik meninggalkan Jogja guna mengejar mimpinya masing-masing. Entah ini sudah perpisahan keberapa, namun saya belum juga kebal. Selalu saja ada butiran bening yang menggumpal di pelupuk mata. Selalu ada sedih yang mengiringi. Melihat punggung-punggung sahabat terbaik itu pergi selalu saja menimbulkan duka. Perpisahan memang selalu menyedihkan.

Nona Cahaya, jika suatu saat kamu membaca ini saya hanya ingin berucap terimakasih. Terimakasih telah hadir dalam paruh hidup saya dan membersamai langkah saya selama ini. Terimakasih telah menjadi sahabat seperjalanan yang begitu luar biasa. Terimakasih telah menempa karakter saya melalui hadirmu. Terimakasih telah bertumbuh bersama dalam iman dan pengharapan. Semoga Tuhan selalu menuntun tiap langkahmu selanjutnya. Diberkatilah apa yang menjadi pekerjaan tanganmu dan mimpi-mimpimu. Saya menunggu Kalahayu dan Lighteringme membesar.

Terimakasih telah ada dan akan selalu ada.

Jogja, medio oktober 2016
harusnya dipublish 2 minggu lalu, namun saya terlanjur baper nonton DOTS jadinya galau berkepanjangan

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

8 Comments

  1. Huhuhuhu aku ikutan terharu bacanya mbak. Tapi memang setiap pertemuan akan ada perpisahan. Nyebelin si tapi begitulah hidup~ hikssss *lah aku malah baper*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *